Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Keesokan harinya aku bangun dengan kepala yang berat. Setelah salat subuh, aku mengecek gawaiku yang sempat diabaikan dari tadi malam. Aku menerima pesan dari Jordan yang saat ini berada di Jakarta. Tidak ada pesan dari orang kantor. Aku merasa heran mengapa tidak seorang pun yang merasa perlu menghubungiku. Apakah manusia-manusia di kantor itu masih ada?
Pagi itu aku membuat laporan tentang Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api Sumbar-Riau, dengan data yang kuambil dari perjalananku dan Jordan, kuku panduan kami dan hasil menjelajah dunia maya. Setelah kubaca ulang, rasanya tulisan ini cukup bagus dan bisa diikutsertakan dalam lomba penulisan jika ada perlombaan untukpenulisan tentang kepahlawanan atau sejarah.
Aku tenggelam dalam tulisanku selama 4 jam, menulis lebih dari 2.500 kata. Cukup untuk di layout satu halaman surat kabar, jika ditambah foto-foto yang telah kami ambil selama 4 hari perjalanan. Sedang bahan-bahan lainnya nanti akan diserahkan asisten-asistenku di kantor. Hari ini hari Jumat, dan aku hanya minum kopi susu dan makan beberapa potong kue sisa acara tadi malam.
Mama pasti sedang beristirahat total karena kelelahan menyiapkan acara kemarin. Tidak terdengar ketukan di pintu kamar atau suara melengking yang menyuruh aku makan, berarti Mama sedang pulas di kamar tidurnya.
Aku melihat jam. Pukul 11 lewat 5 menit, masih ada waktu satu jam untuk bersiap salat Jumat. Dan perutku sangat lapar. Aku keluar kamar dan mencari nasi dan lauk pauk di dapur. Masih banyak sisa kemarin malam. Dengan lahap aku makan siang yang kepagian, atau makan pagi yang kesiangan. Biarlah sekali ini aku akan mendengarkan ceramah ustad dengan mata terpejam, karena perut kekenyangan.
*
Kantor masih sepi ketika aku sampai di ruang redaksi. Tetapi asisten redaktur Minggu sudah lengkap. Melihat aku datang, mereka langsung menempelkan post it, kertas berwarna kuning cerah dan hijau cerah di dekat komputerku. Alhamdulillah, sepertinya laporan minggu ini akan cepat selesai.
Pas pukul 15, dengan semangat 45 aku memasuki ruang rapat redaksi. Belum ada satu pun redaktur yang ada di ruangan tersebut. Aku heran. Biasanya, minimal Dhira sudah berada di dalam ruangan. Dan kalau Dhira sudah duduk, pasti ada satu dua jomblowan menemani.
Cukup lama aku duduk termenung dalam heran, sampai akhirnya Bang Husni masuk bersama segerombolan redaktur yang datang bagaikan kawanan bison saking riuhnya. Banyak yang ditanyakan Bang Husni kepadaku sepanjang rapat kali ini. Tetapi lebih banyak pertanyaan dalam hatiku karena Dhira tidak ikut rapat redaksi.
Setelah rapat aku tak tahan untuktidak bertanya. Aku mengekori Bang Husni ke kantin untuk mengopi seperti biasa. Setelah puas mendengar pertanyaan Bang Husni dan menjawab pertanyaan tersebut, akhirnya aku mendapat giliran bertanya. “Dhira kok ngga ikut rapat Bang?”
Aku mengira akan mendapat jawaban berupa ledekan, atau tuduhan tidak mendasar tetapi benar. Namun berbeda dengan dugaanku Bang Husni malah menjawab dengan serius.
“Itulah.. milih jadi dosen juga dia. Sudah capek Abang merayu dia supaya tidak pindah kerja. Pusing kepala abang jadinya. Susah dapat sekretaris yang kompeten seperti Dhira.”
Jantungku serasa copot dan menggelinding entah kemana. Dhira sudah tidak bekerja di sini lagi? Omegat. Baru empat hari aku tidak ke kantor dan Dhira sudah pergi. Rasa kehilangan membuat aku tidak mendengar lagi celotehan Bang Husni yang penuh semangat menceritakan hari-hari di mana dia mencari sekretaris redaksi yang baru.
“Ada yang cantik dan seksi Iz, tapi abang takut pula. Nanti kakak kau ikut pula kerja di sini.” Dia terkekeh. Aku hanya dapat tersenyum kecut.
Sungguh mati, aku tidak dapat berkonsentrasi lagi bekerja. Bahkan pesan dari Jordan bahwa dia sudah boarding dan siap menempuh 14 jam penerbangan untuk sampai di Belanda, hanya kujawab singkat saja.
Apakah ini yang namanya suka? Sungguh baru kali ini aku luluh lantak karena seorang perempuan yang belum pula aku “tembak”. Bahkan ada rasa sungkan untuk “menembak” perempuan itu. Apakah rasa suka sejatinya seperti ini? Ini benar-benar membuat kepribadianku berubah 180 derajat. Aku menggelengkan kepala pelan.
*
Sudah tiga bulan berlalu semenjak Dhira tidak berkerja lagi di sini. Saat ini aku sedang mencari Bang Husni dengan membawa amplop pengunduran diriku sebagai redaktur. Ketika aku mengetuk pintunya, Yang membuka pintu tersenyum tipis mempersilakan aku masuk.
Sekretaris redaksi kami sudah diganti dengan Kak Sri yang biasa bekerja di Bagian Umum. Wanita yang berusia di pertengahan 30-an tersebut, akhirnya dipilih Bang Husni, karena isterinya “yakin”dengan kemampuan Kak Sri. Mereka berteman, karena rumah Kak Sri satu komplek dengan rumah Bang Husni.
Tepat dua bulan yang lalu, Lola menginformasikan di medsosnya bahwa dia bertunangan dengan teman sekantornya bernama Andri. Akhirnya Andri juga yang mendapatkan Lola, setelah bertahun-tahun menunggu Lola putus dariku. Aku tahu dan kenal Andri. Dia memang mengejar Lola sejak pertama kali Lola bekerja di bank tersebut. Sesama newbie.
Aku hanya mendoakan agar hubungan Lola dan Andri jauh lebih baik daripada hubunganku dengan Lola pada saat kami berpacaran dulu. Tidak ada rasa cemburu. Sedikit iri memang iya, karena aku belum mendapatkan wanita pujaanku.
Sehari sesudah mendapatkan berita pertunangan Lola, aku diterima bekerja pada sebuah instansi pemerintahan di bidang hukum dan HAM. Padahal aku hanya iseng-iseng mendaftar dan mengikuti ujian masuknya. Aku yakin ini berkat doa Mama, yang igin aku bekerja diinstansi pemerintahan seperti Kak Jihan dan calon iparku. Karena itulah hari ini aku membawa surat pengunduran diri, karena dua minggu lagi aku akan mengikuti pembekalan.
Sesuai dugaanku, Bang Husni sangat terkejut saat kusampaikan surat pengunduran diriku.
“Padahal awak akan dipromosikan Big Boss menjadi Redaktur Pelaksana, Iz,” ujarnya dengan nada kecewa.
“Iya Bang, maaf Bang.” Aku kehabisan kata-kata. Apa pun yang kusampaikan, aku jelas sudah mengkhianati cita-cita idealis menjadi jurnalis yang jujur dan memegang tinggi etika jurnalisme. Godaan menjadi pegawai negeri, karena tidak mengenal PHK karena resesi ekonomi, ternyata lebih menarik daripada jurnalisme kemanusiaan yang selalu kami tonjolkan dalam tulisan panjang di hari Minggu.
Sesuai dengan perkembangan zaman yang melaksanakan penerimaan pegawai negeri yang lebih terbuka, serta kecerdasan ditambah pengalaman sebagai jurnalis membuatku lebih percaya diri dalam menjawab soal-soal tes masuk yang diberikan. Dan tentunya doa Mama yang membuka pintu langit, adalah peluru yang paling tajam dari semuanya.
Banyak petuah dan nasehat yang diberikan oleh Bang Husni kepadaku. Aku mendengar dengan baik, dan mengakui kebesaran hati seorang abang dari Wapimredku ini. Aku berjabat tangan dengan kaku sampai akhirnya Bang Husni merangkulku cukup erat.
Tanpa kusangka-sangka saat aku hendak keluar dari pintu ruangannya, ia berkata, “tinggal kejar lagi gadis tu Iz, kan dah cocok tu, dosen dan pegawai negeri.”
Aku terpana.
***