Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sambil merutuki kebodohan diri dalam hati, sampai-sampai tidak menyadari dan ingat bahwa Dhira sang Sekretaris Redaksi adalah anak Umi Ustadzah sekaligus teman mengaji masa kecil, aku mendengar celotehan kakakku Jihan.
“Kamu katanya anak ayah paling pintar, tapi kok daya ingatmu rendah betul, ngga bisa kenal sama Dhira, hehe..” Kakakku itu kembali mengulang kata-kata yang sudah diucapkannya dua kali.
“Kak, kalau ada toko pecah belah berhenti bentar ya,” tukasku jengkel.
“Kenapa?”
“Mau belikan kakak gelas. Sudah tiga kali mengucapkan hal yang itu-itu saja.”
“Hehe..abis keterlaluan kali sih, masa ngga ingat?”
Aku hanya diam, malas melayani ocehan kakak yang membahas itu-itu saja. Terbayang olehku masa kecil kami yang biasa-biasa saja. Seperti anak-anak yang lain dari pagi sampai siang kami sekolah di SD yang berada kira-kira satu kilometer dari rumah. Siangnya kami sekolah madrasah di masjid dekat rumah, dan malamnya sehabis Maghrib kami mengaji dengan Umi Ustadzah di masjid. Dengan rutinitas yang begitu monoton, terbayang bagaimana anak-anak kecil yang sedang tumbuh dan ingin bermain, menjadi sangat nakal saat mengaji? Karena itulah diperlukan ustadzah yang ditakuti seperti Umi Ustadzah untuk mengajari segerombolan anak-anak yang bosan itu.
Lahir di ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru, sebuah kota kecil yang dulunya merupakan salah satu ibukota Provinsi yang menurutku tertinggal di Sumatera. Baru beberapa tahun belakangan ini Kota Pekanbaru, berubah menjadi kota metropolitan, bersolek habis karena menjadi tuan rumah salah satu even nasional terbesar. Sebelumnya, apabila orang mengingat Riau, yang terbayang hanya Kota Batam saja, pintu masuk dari Singapura ke Indonesia.
Tahun 2004, Provinsi Riau dipisah menjadi dua, Riau dan Kepulauan Riau. Secara administratif pemisahan ini sangat layak dilakukan karena luas wilayah yangterlampau besar dan jauh. Awalnya wilayah ini disatukan karena Gerakan Ganyang Malaysia, untuk mempermudah hubungan dari wilayah kepulauan ke wilayah daratan Sumatera. Belum lagi akar budaya Melayu yang erat di kedua daerah.
Aku lahir di rumah yang sekarang masih dihuni kedua orang tua kami, ayah dan mama. Rumah dari ukuran 45 meter persegi itu, lambat laun menjadi dua kali lipatnya. Sedang jumlah rumah dan penduduk di sekitarnya bertambah setidaknya tiga kali lipatnya. Daerah pinggiran kota yang sepi menjadi daerah ramai di tengah kota, karena perubahan batas daerah. Dari jalanan berbatu saat aku kecil, sekarang sudah diaspal mulus. Tanah yang dulunya tempat kerbau berkubang, sekarang sudah menjadi rumah toko atau ruko.
Di sepanjang Jalan Sudirman, yang membelah Kota Pekanbaru dari ujung selatan ke utara, dulunya hanya ada toko-toko kecil yang kumuh dan tidak menarik. Sekarang menjadi semarak, cantik karena taman-taman bunga, bangunan-bangunan baru yang megah. Sungguh, salah satu alasanku untuk ikut Makcik, adik perempuan Ayah yang terkecil ke Batam untuk bersekolah, hanya karena kota tempatku lahir ini sangat tidak menarik. Kumuh. Bahkan toko buku yang cukup besar pun tidak ada.
Di ujung kota bagian utara, terdapat perusahaan minyak multinasional, yangmana orang biasa seperti kami tidak akan bisa masuk dan mengagumi perumahan di dalam kompleks yang konon bergaya Eropa. Pekerja-pekerja ekspatriat di bidang perminyakan tinggal di sana. Minyak bumi adalah kekayaan alam kebanggaan Riau. Dari hasil minyaklah sebagian besar Negara ini terbangun.
Jangan tanya ketimpangan sosial di Riau. Parah. Sepanjang jalan menuju Duri, di mana kita akan menemukan sebuah Tugu Dua Milyar Barel produksi minyak Duri. Lapangan minyak Duri ditemukan pada tahun 1941, dan baru berproduksi 17 tahun kemudian di tahun 1958. Setelah dimulai pilot project injeksi uap pada tahun 1975, sepuluh tahun kemudian setelah teknologi ini diterapkan skala besar, produksi minyak mencapai 300 ribu barel per hari. Saat itu adalah puncak Indonesia sebagai Negara eksportir minyak.
Namun, kondisi di sekelilingnya sangat memprihatinkan. Kita akan menemukan suku asli di pinggir-pinggir jalan, tak berbaju, tak beralas kaki, rumah dari kayu seadanya. Itu dulu, sekarang, walaupun mungkin masih ada mereka sudah tidak berada di pinggir jalan lagi. Tetapi sisa-sisa pemandangan itu masih terpantul jelas dari kaca mobil ketika aku melintasi jalan dari Pekanbaru ke Duri untuk menemui Pakcik Yunus, keluarga ibu yang tinggal di Duri, bekerja sebagai Sekretaris Kecamatan.
*
Berjalan dengan gerakan macan tutul yang lentur, cepat tetapi tidak meninggalkan suara, aku memasuki ruangan redaktur yang saat itu masih sepi. Gara-gara masalah Dhira, aku bolos satu hari untuk menghilangkan rasa malu dan mempersiapkan mental baru. Alhasil draft outline yang diminta Wapimred untuk tulisan Minggu belum selesai. Aku duduk tenang dan mulai mengetik outline-outline yang sudah terpetakan di otakku yang encer.
Melewatkan jam rapat redaksi, agar tidak bertemu dengan Wapimred dan Sekretaris Redaksi. Biarlah, baru dua kali absen bulan ini. Belum ada pemotongan gaji. Paling nanti menerima Surat Peringatan dari Bang Husni. Dua jam setengah aku berkutat di depan PC dan jreng.. outline itu selesai. Hanya perlu dua jam setengah. Aku memang hebat.
Terdengar ribut-ribut manusia-manusia yang baru keluar dari ruang rapat Redaksi, sebagian besar manusia-manusia malam tersebut masuk dan menggoda makhluk tampan yang sedang tersenyum riang karena sudah menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah diserahkan kemarin sore.
“Iz, kok ngga ikut rapat redaksi? Bang Husni nyari-nyari,” kata Bang Anuar yang memang mejanya di sebelah mejaku
“Nyelesaikan outline liputan Minggu Bang,” jawabku riang.
“Ish, dah telatlah tu.”
“Belum terlalu.. tim akan langsung rapat redaksi malam ini,” tambahku setelah mengirim undangan rapat ke wag tim Minggu.
“Malam ini? Bukannya sekretaris redaksi pulangnya sore? Kamu sogok apa biar mau ikutan rapat malam-malam? Jangan bilang kalian sudah jadian… hehe…”
“Ngga lah Bang, takut aku sama uminya…Sekre biar terima email hasilnya aja, ada babang Faiz yang tampan membantu kerjaan dek Dhira.” Ups, Dhira pasti muntah dengar ucapanku barusan.
Bang Anuar tertawa ngakak. Dengan cepat dia duduk di kursinya dan memulai tugasnya mengawal tulisan reporter ekonomi bisnis. Tak lama dia sudah terpaku dan menampilkan wajah serius tidak bisa diganggu.
*
Tidak ada asisten redaktur Minggu yang terlambat malam ini. Semua menyimak outline dari redakturnya yang tampak agak kurang tampan karena belum mandi sore. Dari kemarin mereka sudah heboh karena rapat tim Minggu harusnya dilaksanakan sore tadi. Tapi tanpa alasan yang jelas redaktur minta dimundurkan jadi malam hari.
Outline ini khusus untuk edisi Kemerdekaan RI. Kali ini jika membaca outline yang sudah terpampang jelas di layar akan mengambil tema pahlawan kemerdekaan di era milenial. Cukup banyak pemuda pemudi yang dijadikan referensi oleh Faiz, redaktur mereka. Ada aktivis lingkungan, aktivis sosial, motivator, penulis, dokter-dokter muda, guru-guru yang mengabdi di daerah remote area dan banyak lagi.
Malam ini sepertinya mereka akan pulang larut, karena harus membahas siapa yang benar-benar layak jadi panutan generasi muda, siapa yang cukup layak jadi pahlawan di era millennium. Mereka akan mengadakan pemilihan kelayakan tokoh, tentu saja semua bersiap mempertahankan pendapat dan argumentasi masing-masing.
***