Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Jejak yang Hilang
Suka
Favorit
Bagikan
12. Bab 12. Cerita Sang Penulis

Nasib kurang baik memang beriringan dengan nasib cukup baik. Ketika malam itu aku bercerita dengan Ayah dan Mama tentang liputan kami, ternyata Ayah memiliki nomor Sang Penulis Sjafei Abdullah.

“Kau memanggil beliau Atuk nanti,” ujar Ayah mengingatkanku. Aku benar-benar bersyukur. Sejak SMP aku sudah merantau, dan ketika kembali lagi ke sini langsung bekerja. Jangan heran jika aku kurang kenal dengan relasi orang tua.

Ternyata Atuk Sjafei ini satu desa dengan Ayah di salah satu Kabupaten di Riau. Dia pula yang dulu memberi semangat agar Ayah pindah ke Pekanbaru, bersekolah dan bekerja di sini. Ayah juga mendapat bonus bertemu jodohnya di sini. Mamaku.

Ketika Sang Penulis ditelepon Ayah, dia langsung tertarik bertemu kami berdua. Jadilah, kami berdua menemui Sang Penulis, Sjafei Abdullah, setelah aku menjemput Jordan di hotelnya. Rumah Sang Penulis ternyata dekat sekali dengan hotel tempatJordan menginap. Tidak membutuhkan waktu lama kami sudah sampai di sana.

Atuk Sjafei duduk di ruang tamunya yang memiliki cukup banyak koleksi buku. Tersusun rapi dalam lemari kaca. Dia ternyata juga menguasai bahasa Jepang sedikit. Sering dia memberi komentar dalam bahasa tersebut di sela-sela ceritanya. Berteman pisang goreng kipas, pisang yang di goreng dan dibentuk seperti kipas, kami duduk dan memulai merekam serta mencatat ceritanya. Sebenarnya cerita tersebut sudah dirangkum dalam buku yang ditulis olehnya. Namun mendengarkan sendiri cerita dari sang penulis membuat buku itu semakin hidup.

Kami duduk dan mendengarkan orang tua itu berbicara. Meski sudah cukup sepuh dia bercerita dengan lancar tanpa terjeda, dan kami mendengar dengan tenang.

“Pemuda-pemuda yang hendak dijadikan kuli romusha itu dijanjikan hal-hal yang muluk,” ujarnya memulai cerita. Cerita yang sama yang pernah kami dengar. “Oleh Jepang, mereka dijanjikan pekerjaan menjadi keamanan desa, diberi seragam dan gaji. Tentu saja itu membuat pemuda-pemuda desa menjadi senang, karena sulitnya kehidupan waktu itu.”

Berbagai cara dilakukan untuk menarik pemuda-pemuda Indonesia menjadi romusha. Ketika cara halus tidak berhasil, mereka menggunakan cara paksa. Salah satunya adalah dengan memberikan tontonan gratis pada bioskop di Pekanbaru (Riau), Bukittinggi dan Padang (Sumatera Barat) tahun 1943. Film tersebut berisi kehebatan dan keberanian tentara kerajaan Dai Nippon.

Para serdadu Jepang sudah bersiap di pintu keluar, sehingga para pemuda yang hendak keluar langsung ditangkap dan diboyong ke lokasi kerja paksa.

Di Pulau Jawa, serdadu Jepang mengerahkan puluhan truk masuk ke desa-desa. Ada juga yang dipaksa ke kantor Kelurahan, dengan alasan administrasi dan setelah menulis nama dan alamatnya dikumpulkan pada ibukota kabupaten untuk diberangkatkan. Mereak dibohongi dengan pelatihan yang akan diadakan di Jakarta.

Pertengahan tahun 1944, hampir seluruh stasiun kereta api di Jawa begitu padat, diisi oleh pemuda-pemuda yang akan diberangkatkan ke Jakarta. Di sana mereka menunggu keberangkatan dengan kapal laut menuju Teluk Bayur, Padang.

Sebagian dari mereka di berangkatkan ke Padang, dan ada pula yang diberangkatkan ke Singapura. Pada saat itu kondisi Singapura sangat memprihatinkan efek dari Perang Dunia Kedua. Rencana awalnya pemuda yang diberangkatkan ke Singapura akan dipekerjakan di perbatasan Thailand-Burma, tetapi rencana tersebut kemudian berubah. Kapal yang mengangkut pemuda-pemuda dari Pulau Jawa itu pun menjadi korban serangan torpedo sekutu, menewaskan 15.000 orang. Hampir seluruh pemuda yang diangkut.

Sampai di sana Atuk Sjafei terdiam sejenak. Dia meminum air putihnya memandang Jordan, seakan-akan bertanya apakah Wartawan Belanda itu mengerti dengan ceritanya barusan. Jordan tersenyum, menampilkan deretan giginya yang putih cemerlang. Dia menganggung. “Saya mengerti, Sir.”

Atuk berbasa basi sejenak menanyakan latar Jordan. Dan aku pun tidak lupa menyampaikan salam dari kedua orang tuaku kepadanya. Dalam masa rehat itu, fikiran melayang kepada film-film Hollywood yang banyak memproduksi film-film perang masa Perang Dunia Kedua. Film yang biasanya selalu menjadi box office, karena pesan moralnya yang sangat kuat.

Namun dunia, bukanlah hitam putih. Aku tahu bahwa diantara serdadu-serdadu Belanda atau pun Jepang itu ada orang Indonesia yang  berkhianat, menjual diri, Negara dan bangsanya demi tahta dan secuil harta. Aku jadi teringat buku Max Havelaar atau Multatuli karya Eduard Douwes Dekker. Novel yang menceritakan penentangan tanam paksa di Lebak, Banten itu pun menyisakan perdebatan.

Siapa Havelaar, apakah dia seorang pahlawan? Yang jelas dia adalah whistle blower, seseorang yang ingin didengar. Havelaar dianggap tidak menentang kolonialisme tersebut hanya terjebak dalam keinginan humanisme yang terdalam. Apa pun itu, buku itu di dengar, dan menjadi catatan bagi yang ingin mempelajari sejarah, meski dianggap hanya sebuah satire. 

Kami bertiga sudah menyelesaikan masing-masing satu buah pisang goreng yang ternyata sangat enak di atas meja. Aku melihatkepada Jordan dan kembali kagum dengan manusia ini. Semua dilahapnya tanpa perasaan was-was, dan dia menikmatinya. Kembali meminum air putih di gelasnya yang berukuran besar, Atuk Sjafei kembali bertutur.

Meski pembangunan rel kereta api tersebut loasinya di Riau dan Sumatera Barat, namun kebanyakan pekerjanya justru dari Jawa. Ini karena pemuda-pemuda lain di wilayah terdekat tidak mau bergabung dengan kerja paksa tersebut. Pemuda-pemuda yang berasal dari daerah setempat dan berhasil melarikan diri memberikan cerita-cerita kekejaman Jepang untuk mengingatkan mereka yang belum terjeblos dalam kerja paksa.

Pada umumnya yang diambil bekerja dari setempat, bisa melarikan diri karena mereka sangat mengenal lokasi setempat. Sedang mereka yang berasal dari Jawa sulit melarikan diri, karena hutan yang sangat lebat, dan tidak mempunyai tujuan, yang dapat memberangkatkan mereka kembali ke Jawa. Terlebih pekerja-pekerja tersebut banyak yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga percakapan terbatas kalangan mereka sendiri.

“Ini lah pentingnya bahasa persatuan. Membuat kita bisa saling memahami dan berbicara dalam bahasa yang sama. Sedangkan buta huruf adalah hasil dari penjajahan Belanda yang sangat lama,” tegas Atuk Sjafei. Aku melirik warga Negara Belanda yang berada di sebelahku. Tak ada ekspresi protes pada wajahnya, hanya anggukan pelan, tanda dia mengerti.

Namun, lanjut Atuk Sjafei, di antara yang berhasil melarikan diri, ada pula yang diangkat sebagai saudara oleh penduduk setempat, dan dinikahkan dengan saudara atau putri mereka.

Justru kekejaman bertambah naik ketika akhirnya pembangunan jalan kereta api dijalankan oleh perusahaan-perusahaan Jepang. Mereka dipimpin oleh gunzoku, wajib militer semasa perang . Berarti mereka bukanlah militer. Gunzoku ini yang kemudian mempekerjakan polis, orang-orang Indonesia yang menjadi bodyguard mereka. Mereka bahka lebih kejam dari serdadu Jepang. Padahal yang mereka siksa adalah pemuda-pemuda sebangsa.

Atuk Sjafei menceritakan kekejaman yang dialami oleh Romusha baik oleh Jepang, maupun oleh orang Indonesia yang bekerja dengan mereka. Bulan Maret 1944, Atuk Sjafei diajak tiga serdadu Jepang dari bagian kesehatan ke tiga bedeng yang terletak di antara Desa Kebun Lado dan Muara Lembu, Kuantan Singingi, Riau. Romusha yang ada di sini berasal dari Jawa Tengah.

Lebih dari separuh mereka dalam kondisi sakit, berselimutkan goni yang sudah koyak-koyak, menderita busung lapar, disentri, malaria dan tukak yang membusuk. Satu-satunya obat yang diberi adalah pil kina, sedang air saja tidak dapat lagi masuk ke dalam kerongkongan mereka. Mereka di sini hanya menunggu ajal menjelang, atau dibunuh oleh Jepang dan antek-anteknya.

Tahun yang sangat kelam, 1944-1945 para Romusha yang sakit parah berdatangan ke Pekanbaru untuk mendapat santunan dan pengobatan. Banyak diantara mereka yang akhirnya meninggal di jalan atau semak-semak sebelum mendapat pertolongan.

Banyak dari mereka berasal dari Jawa. Melihat hal tersebut, guru-guru di Pekanbaru, mengerahkan murid-murid mereka untuk menguburkan mayat-mayat tersebut.  Karena jumlah mereka yang cukup banyak terpaksa menguburkan mereka secara massal. Kuburan-kuburan massal ini tersebar juga di berbagai lokasi kerja paksa antara Riau dan Sumatera Barat.

***

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar