Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Jejak yang Hilang
Suka
Favorit
Bagikan
4. Bab 4. Bendera

Seperti biasa menjelang tanggal 17 Agustus, sepanjang jalan protokol ramai oleh penjual bendera merah putih. Aku turun dari buskota di halte dekat salah satu penjual bendera itu. Targetku menawar sebuah bendera merah putih, menggantikan bendera pusaka di rumah yang sudah berubah warna menjadi bendera oranye-putih tulang karena saking tuanya. Aku curiga mungkin bendera pusaka di rumah hampir seumurku sekarang, 23 tahun hehe.. Ketika mama ditanya tahun berapa dia membeli bendera itu, dia selalu menjawab mungkin sepuluh tahun yang lalu. Jawaban yang sama sejak aku kelas 3 SMP.

Waktuku agak senggang karena kami sudah menyelesaikan liputan 17 Agustus, soal pahlawan milenial malam tadi. Mobil baru masih terparkir di garasi rumah, belum bisa digunakan karena belum ada plat kendaraan bermotor. Niat yang kuat mengganti bendera di rumah, membuatku berjalan sekitar 250 meter dari rumah ke halte, menunggu bus sekitar 20 menit, masuk ke bus dan memutar sampai ujung Jalan Sudirman, berbalik ke arah bandara Sultan Syarif Qasim II dan turun di halte di seberang karaoke besar di jalan protokol. Total waktu yang diperlukan untuk membeli sebuah bendera baru 1 jam 42 menit. Aku sudah merasa seperti warga Negara teladan sekarang. Ini belum dihitung waktu pulang nanti.

Sebenarnya semangat ini bukan hanya karena mengganti bendera. Pagi-pagi aku sudah mendapat pesan wa dari Wapimred, memuji liputan Kemerdekaan yang terbit di surat kabar pagi ini. Jadilah aku bangun dengan semangat 45, dan hati berbunga.

Setelah menanyakan harga bendera dengan ibu penjual dan melakukan tawar menawar, akhirnya tercapailah kesepakatan harga. Tiba-tiba dari balik jendela, terlihat seorang nak laki-laki dan anak perempuan yang masih kecil keluar dan meminta makan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Jiwa wartawanku tiba-tiba muncul, “ kok baru makan siang jam segini Bu, anak-anak?”

Si ibu penjual tersenyum, “tadi mereka tertidur, cuaca panas, jadi saya buat tenda tidur dari spanduk, baliho dan bendera-bendera ini. Ini baru bangun.”

“Mereka ikut terus jualan?”

“Iya kami dari luar kota, tak ada yang  jaga anak-anak. Modal kami untuk beli bendera inilah, biasanya cukup banyak keuntungan yang diraup, tapi tahun ini sepi. Kehidupan tambah susah sepertinya.”

Aku mengangguk pelan. Uang yang kuberi sebenarnya masih menyisakan kembalian. Tetapi ketika ibu itu memberikan kembalian aku menolaknya. Sudahlah, tak perlu menawar lagi untuk sebuah bendera, bayangkan bagaimana para pejuang, mempertaruhkan nyawa untuk sang merah putih. Belum lagi melihat dua anak dari balik bendera. Hatiku tercekat.

Sungguh aku kesal dan marah apabila ada yang masih enggan mengibarkan sang merah putih di depan rumahnya saat Hari Kemerdekaan. Kalaulah aku seorang pejabat tinggi, akan ku data mereka, dan ku beri sangsi finansial, yang nantinya akan disalurkan kepada keluarga pahlawan.  

Aku kembali ke halte dengan bendera di tangan dan senyum riang. Tiba-tiba terdengar klakson mobil di samping ku, dan berhenti di dekat halte yang sedang ku tuju. Alia, batinku, pacar keduaku yang masih kuliah, menurunkan kaca mobil dan memanggil, “Bang Faiz.”

Aku segera menghampiri gadis itu. Tersenyum manis dan masuk ke dalam mobil tanpa diundang. 

“Alia, untung kamu lewat, antarin pulang yah,” mulut dan senyumku merayu dengan manis. Gadis itu mengangguk. “Ya lah, masak pacarnya dibiarin..” Dia tertawa renyah.

Aku tidak pernah menembak atau memberikan komitmen kepada Alia. Dia sendiri yang mengajukan diri sebagai pacar. Alia anak seorang pejabat berseragam. Sifatnya nekad, dan acuh terhadap lingkungan sekitarnya. Dia sebenarnya tidak terlalu cantik, tetapi gayanya yang berkelas, membuat dia menjadi perhatian lawan jenis.

Apakah aku suka dengan Alia? Pastilah. Kalau cinta, tidak, atau setidaknya belum. Perasaanku lebih condong kepada Lola yang sudah ku kenal dari SMP. Kami menjalani hubungan LDR sejak aku kuliah di tahun kedua. Sebenarnya aku punya pacar juga di kota tempat aku kuliah. Malah sudah berganti tiga kali

Kakakku Jihan sangan kesal dengan sifatku yang selalu mendua dan meniga, mengutip istilah dia. Sering kali dia sewot dan menasehatiku.

“Kamu tuh nyakitin hati perempuan Faiz, kakak-kakakmu dua-duanya perempuan. Bisa-bisa gara-gara kamu kami berdua yang kena karma.”

Aku selalu mengelak dan menjawab apa yang dikhawatirkan dirinya tidak mungkin terjadi. Kakak-kakakku terlalu cerdas dan terlalu cantik untuk diduakan. Lagipula aku sama sekali tidak berniat menduakan siapa pun. Pacaran kan hanya niat mengenal lebih dekat. Kalau cocok dan jodoh akan dinikahi. Kan lebih baik daripada setelah menikah baru bilang menyesal karena tidak mengenal lebih jauh. Kak Jihan akan melotot padaku dan pergi setelah mendengus kesal.

Sebagai catatan, aku ngga pernah ngapa-ngapain dengan pacar-pacarku. Hanya Lola yang pernah kucium pipinya dua kali karena dia sedang marah dan cemburu. Selebihnya sebatas pegangan tangan saja. Dengan Alia aku agak lebih hati-hati. Anak ini agresif dan pernah hampir nyosor bibirku. Aku mengelak dengan pura-pura mendengar seseorang memanggil. Jangan pernah berduaan dengan Alia lama-lama. Bisa-bisa terjadi hal-hal yang mengenakkan tetapi akan kami sesali sepanjang hidup. Gini-gini imanku masih kuat, meski tidak tercermin dalam sikapku sehari-hari.

Tak terasa mobil Alia sudah parkir di depan rumah.

“Eh Bang Faiz, aku turun yah?” ujar gadis itu agak memaksa.

“Ga usah dek, di rumah lagi ada Ayah dan Mama, ntar kita disuruh nikah lagi..”

“Ish, aku mau aja sih Bang..”

“Mana sanggup abang ngasih kamu jajan dek, gaji abang masih kecil, hehe..”

“Aku kan bisa minta jajan sama papi..”

“Ish kamu belum apa-apa sudah niat buat calon suamimu nanti malu..”

“Calon suami? Beneran nih Bang. Kamu putusin Kak Lola ya.. yaa..”

“Ngga, kasihan, dia umurnya sudah layak nikah, kamu aja ya yang Abang putusin, kan kamu masih kuliah, muda, cantik lagi..”

“Ngga mau!” Alia menggeleng marah, dan mendorongku keluar mobil dengan muka sebal. Ini sudah kesekian kalinya aku bicara begitu kepada Alia. Alia sangat tahu dengan hubungan spesialku dengan Lola. Aku terus terang bahwa sudah punya pacar bernama Lola dengannya, sebelum dia mengikatkan dirinya sendiri kepadaku. Bahkan dia pernah melihat kami makan berdua di sebuah café, dan memposisikan diri di belakang Lola tapi menatapku tajam dari balik punggung Lola. Kalau difikir-fikir gadis ini agak-agak psikopat juga, tetapi selama aku bisa menjaga diri, biar sajalah semua berjalan seiring waktu.

Aku langsung menurunkan bendera pusaka dari tiang bendera kami yang berdiri jangkung dekat pohon mangga. Dengan diiringi tatapan kedua orangtuaku, bendera pusaka kulipat dan kuberi pada mama. “Mungkin Mama bisa memasukkan bendera ini dalam daftar warisan Faiz,” kataku tersenyum.

Ayah tertawa tertahan. Sedang Mama mencubit lenganku kuat. Aku meringis.

Bendera baru sudah kunaikkan dan berkibar. Hormatku padamu sang merah putih. Ku kirim Al Fatihah bagi pahlawan bangsa, serta doa bagi bangsa dan negara. Dalam hati aku mulai bernyanyi, “padamu Negeri.. jiwa raga kami…”

***

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar