Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Jejak yang Hilang
Suka
Favorit
Bagikan
8. Bab 8. Menang

Hari ini aku tidak akan bertemu bidadari redaksi. Jumat sore, kami berkumpul di lapangan futsal yang sudah sesak oleh peserta lomba futsal dari berbagai klub. Aku tidak perlu meminta ijin Bang Husni untuk ini, karena bertanding atas nama kantor. Aku melihat Fahmi datang dengan wajah lebih tampan dari biasa, melihat ke kiri ke kanan, mungkin mencari-cari yang namanya Alia. Aku tersenyum sinis, bukannya menyapa dan basa basi dulu dengan juragan, Fahmi malah sibuk sendiri. Dasar.

“Hei, anaknya belum datang. Mending pemanasan dulu, udah mau mulai nih.” Ujarku agak kencang karena kesal melihat gaya Fahmi. Dia mengangkat kedua bahunya penuh gaya, dan membuka baju luarnya di depan para gadis yang dibawa untuk memanaskan pertandingan dan mata pemain. Beberapa orang gadis mulai melempar senyum konyol ke Fahmi. Aku berdoa dalam hati playboy jengkol itu tidak tertarik, karena targetku sore ini Fahmi dan Alia harus jadian. Setidaknya sudah mulai tertarik satu sama lain.

Aku merasa kemungkinan besar Lola adalah jodohku. Dia mencintaiku dengan kadar cukup besar, terbukti dengan kelapangan hatinya memaafkan kesalahanku dari waktu ke waktu. Aku rasa aku juga cukup mencintai Lola. Terbukti aku selalu menuruti kemauan Lola. Kemarin dia memposting gambar yang cukup sedih di IGnya dengan gambar hati yang sebagian bergradasi warna yang mulai memudar. Aku tercekat melihat IG Lola tersebut. Sepertinya kali ini dia sungguh-sungguh kecewa.    

Lola jarang mengeluarkan kegelisahan hatinya di medsos. Orang yang melihat medsosnya pasti akan menilai Lola adalah gadis yang sangat bahagia. Terakhir, sebelum gambar hati itu, dia masih memposting foto kami berdua sedang jalan pagi. Waktu itu Lola memaksaku untuk menemaninya jalan pagi di car free day. Sungguh berat bagiku untuk bangun, pagi itu. Tetapi karena dia memohon, setelah lama kami tidak pernah week end berdua, akhirnya aku mengalah. Baru tidur jam dua dini hari, dibangunkan untuk salat subuh ke masjid oleh Ayah, dan terakhir mendengar bunyi telepon dari Lola, tanda alarm untuk bersiap CFD. Total jam istirahatku pagi itu cuma 3,5 jam.

Lola mengunggah foto cantik dia dan foto berantakanku dengan caption “Doakan ya..” Otomatis banyak teman-temanku dan Lola semua menanyakan kapan kami menghalalkan hubungan yang menurut mereka sudah terlalu lama. Lola tetap menjawab doakan saja. Sedang aku jelas tidak akan memberi komentar apapun bila terkait medsos.

*

Ketika pertandingan sudah dimulai, seseorang meneriakkan namaku. ”Bang Faiz.. semangat yaa!”

Konsentrasi ku dan Fahmi mendadak buyar, melihat kepada seorang gadis yang tampil menonjol dan keren melambai-lambai penuh semangat ke arahku. Fahmi melirik penuh tanya. Aku mengangguk. Jadilah kami pemenang sore itu karena semangat Fahmi yang membara untuk mencetak gol.

Keringat yang bercucuran di sekujur tubuhku tidak membuat Alia duduk menjauh, bahkan malah merapat. Risih, aku mengusir dia agar duduk agak jauh.

“Sanaan Lia, panas dan bau nih tahu.”

 “Ih Bang Faiz jutek amat.”

“Eh Lia kenalin nih teman abang, Bang Fahmi,” ujarku sambil memundurkan tubuh supaya Fahmi dan Lia bisa bersalaman. Fahmi duduk di sebelah kananku dan Lia duduk di sebelah kiriku. Keduanya saling melempar senyum manis. Aku mendadak berdiri, pura-pura hendak ke toilet, supaya tidak menjadi penghalang mereka berdua.

“Eh, mau kemana Bang?” tanya Alia curiga.

“Toilet.”

“Jangan lama-lama ya.”

Aku tidak menjawab. Hanya mendengus pelan.

Setelah cukup berlama-lama di toilet sambil bergosip dengan beberapa pemain futsal lain, aku kembali ke tempat duduk. Alhamdulillah, sepertinya rencanaku berjalan lancar. Fahmi dan Alia mulai tertawa-tawa berdua. Fahmi memang penuh pesona. Untunglah dalam kondisi kritis begini akhirnya aku punya solusi untuk menjauh dari Alia.

“Ehm, Lia, abang duluan ya. Mau balik ke kantor untuk liputan minggu.”

“Eh, biasanya Sabtu pagi?”

“Malam minggu ada acara di kantor, musikalisasi puisi. Abang terpaksa ikutan, disuruh bos. Takut ngga selesai tulisannya. Udah ya.”

“Eh abang, ntar Lia anter makan malam ke kantor ya?”

“Ngga usah Lia, jauh banget dari rumahmu ke kantor abang.”

“Eh ini untuk perayaan kemenangan tim abang dan Bang Fahmi, hehe.”

Deg, tiba-tiba aku mendapat ide lain.

“Bagaimana Fahmi, kau ok?”

Fahmi mengangguk. “Tapi agak maleman yah aku datang sekitar jam 8. Mau istirahat dulu, capek.”

“Ngga masalah. Asal jangan lewat aja, kasihan Lia ntar pulang sendiri.” Aku menatap Alia. Dia mengangguk.

“Eh, Lia ntar aku antar pulang aja. Kan bisa perginya naik taksi online. Ngga baik nyetir sendiri, kantor Faiz jauh gitu,” usul Fahri.

  Aku tersenyum. Fahmi memang gerak cepat. Kami menatap Alia lagi. Dia sejenak bingung, walau akhirnya mengangguk.

*

Para asisten redaktur bergerak cepat untuk liputan ini. Liputan yang sebanarnya sudah beberapa kali dibuat. Lagi pula mencari lulusan Malaysia di kota ini bukan hal yang sulit. Daripada sekolah di Jawa, anak-anak Riau lebih memilih di Malaysia. Uang sekolah dan biaya transportasi jauh lebih murah daripada di Jawa. Banyak diantara mereka yang sudah menjadi pengusaha. Dari liputan ini kami membuat perbandingan uang sekolah, agar orang tua dapat membandingkan untung dan ruginya.

Aku benar-benar kerja senang pada edisi minggu ini. Tulisan sudah selesai dengan rapi bahkan sudah dilayout. Aku tinggal mengedit-edit sedikit. Para asisten tahu, bahwa besok mereka tidak akan bisa bekerja. Ada acara besar Sabtu malam di kantor, musikalisasi puisi menyambut Kemerdekaan RI. Jadi tulisan ini sudah harus fiks Sabtu siang.

Setelah selesai finishing, aku salat Isya di musala. Hampir seluruh redaktur harian telah selesai salat berjamaah dan kembali ke kantor bersama. Aku telat. Setelah selesai salat, aku masih berdoa cukup panjang. Badan dan hatiku lelah. Aku keluar dari musala dan duduk di dekat tempat sepatu memasang sepatu kets abu-abu kesayangan dengan tanda checklist di sisinya. Kaget melihat seorang gadis menatapku sambil tersenyum lebar.

“Alia, kapan sampai?” tanyaku. Gadis ini memang selalu membuat jantungku berdetak cepat.

“Baru aja. Bang Faiz doanya lama amat.”

“Yah, harus dong. Namanya juga banyak maunya,” sahutku asal.

Tidak enak dengan pandangan karyawan lain yang memandang kami berdua penuh tanya, aku segera mengajak Alia ke seberang jalan, menuju sebuah café di depan kantor. Aku menghenyakkan badanku ke atas sofa di pojok kafe.

“Capek ya Bang?” tanya Alia penuh perhatian.

“Dikit. Eh Lia, kamu suka ngga liat Bang Fahmi?”

“Emang kenapa nanya-nanya kayak gitu Bang. Kalau suka, Bang Faiz ga cemburu?”

“Ngga. Kita ini kan bukan pasangan beneran, pasangan jadi-jadian. Bang Fahmi jomblo loh Lia.”

“Ish, emangnya gampang pindah-pindah hati kayak gitu.”

“Ya harus diupayakanlah. Lagi pula sebelum kamu terikat dalam pernikahan, kamu harus banyak belajar sikap cowok. Jadi harus survey pasar yang kencang.”

“Tapi Lia senangnya sama Bang Faiz..”

“Bang Faiz ngga punya kamera mahal.”

“Kalau itu Lia bisa beli sendiri.” Dia mencebikkan bibirnya.

“Kak Lola sudah marah nih Lia dengan abang. Udah ngancam mau mutusin.”

“Bagus dong. Berarti Lia satu-satunya di hati abang.”

“Tapi abang maunya sama Kak Lola, gimana tuh?” Tega. Aku sudah tidak bisa lagi menahan perasaan. Kalau kasihan, aku yang habis.

Mata Alia mulai berkaca-kaca. Aku terdiam. Berdoa agar Fahmi cepat datang menyelamatkan suasana. Dan, akhirnya makhluk yang kutunggu itu memasuki café dengan wajah bersinar ceria.

***

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar