Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak bisa tidur lagi setelah salat Subuh. Kejadian kemarin malam masih terbayang-bayang di mataku. Betapa gampangnya Alia berubah suasana hati. Dasar bunglon. Aku tidak mengerti perasaanku saat ini, entah sedih, atau lega. Setelah hampir menangis mendengar permintaanku, eh selanjutnya Alia malah tertawa-tawa lepas mendengar lelucon Fahmi. Dan mereka pulang bersama dengan mesra bagaikan sepasang kekasih yang sudah jadian.
Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke aplikasi taksi online dan siap ngojek pagi ini. Panggilan kerja pertama masuk. Sipp. Aku siap meluncur ke TKP. Hanya dua trayek yang aku antar pagi ini. Pertama, ibu muda yang akan mengambil mobilnya di bengkel. Done. Kedua anak-anak sekolah yang masih menggunakan seragam olahraga dan hendak ke mall. Dalam hati aku ingin sekali menasehati mereka. Tetapi pandangan genit anak baru gede yang duduk himpit-himpitan di row kedua itu, malah membuatku takut dan waspada. Resiko punya wajah ganteng, hehe.
Setelah keluar mall, aku merasa sangat mengantuk. Jadi aku pulang dan bersiap. Aku sudah mengirim pesan ke Lola hendak bertemu siang ini sehabis dia pulang kantor. Sabtu ini karena akhir bulan dia masuk setengah hari. Dan hari ini, karena kondisi yang luar biasa, aku tidak masuk kerja, karena kerjaan sudah kami selesaikan malam tadi. Paling nanti aku melakukan pengecekan sore hari di kantor.
Sampai di rumah aku memeriksa pesan wa yang masuk. Lola tidak membalas pesanku untuk bertemu. Sudah tiga hari sejak kami bertemu terakhir dalam suasana yang panas. Maksudnya Lola yang panas. Sedang aku panas dingin. Ya sudah, aku beristirahat saja dulu, mungkin dia sedang sibuk bekerja.
Tak terasa sudah satu setengah jam aku tertidur. Adzan Dhuhur berkumandang, membuat Ayah menggedor pintu mengajakku berjamaah ke Masjid. Selepas salat, kami berdua pun bersama-sama makan siang dengan lauk pauk yang sudah disiapkan mama. Siap sudah, batere terisi penuh sampai saat makan malam gratis nanti. Aku bersiap ke kantor dan mengecek pesan dari Lola. Belum ada balasan. Aku akhirnya mengganti pesan.
[Ok, kalau ngga bisa siang ini, ntar malam liat aku di acara musikalisasi puisi ya. Di halaman parkir tengah kantor, selepas Isya. Thanks.] Send.
Setelah menyiapkan gitarku, Aku berangkat kantor dengan perasaan kurang nyaman. Lola biasanya sangat dewasa dan jarang merajuk sampai berhari-hari. Itu salah satu daya tarik dia bagiku. Akhirnya aku fokus pada jalanan yang lumayan padat di depan, sambil mendengar kicauan penyiar FM yang sedang menggoda rekan penyiarnya.
*
Sampai di kantor suasana sudah ramai. Panggung kecil tempat pembacaan puisi sudah disiapkan. Aku membawa gitar ke dalam ruangan redaksi. Melirik sekilas ke ruangan wapimred dan sekretaris redaksi.Kosong. Hatiku tambah ompong. Asisten redaktur melihat kedatanganku dengan gairah melimpah. Cengengesan, karena kerjaan mereka sudah 90 persen selesai. Padahal biasanya, jam segini hanya wajah-wajah pucat berkutat dengan komputer yang kulihat.
“Mau ngamen, Bang,” goda mereka serempak. Aku langsung pasang aksi, berlagak bagaikan gitaris rock n roll jaman Nabi Ibrahim As. Suasana cerah dan jauh dari tegang, seperti Sabtu siang kami yang biasa. Sejenak aku melupakan Lola. Fokus pada kerjaan yang tersisa.
*
Big Boss memasuki ruangan redaksi yang hanya diisi redaktur Koran Minggu. Aku dan semua yang berada di ruangan memandangnya dengan hormat. Sebagai pengusaha, Big Boss juga tokoh masyarakat, penulis dan pembaca puisi yang terkenal di Indonesia. Karya tulisnya bukan hanya kelas Riau lagi, tetapi juga terkenal sampai Malaysia. Suaranya lantang, sehingga jikalau microphone tiba-tiba mati karena sesuatu hal, pembacaan puisinya kan tetap terdengar oleh massa. Lantang.
“Iz,” katanya dengan nada bariton yang tinggi.
“Ya, pak,” jawabku dengan nada separuh tingkat ketinggian nada Big Boss.
“Nanti malam habis Isya kau langsung siap-siap ya, aku pembuka.”
“Siap, pak.”
Bis Boss keluar dari ruangan sambil bersenandung ceria. Mudah-mudahan keceriaan itu akan membawa berkah bagi kami, bonus karyawan dapat segera dicairkan sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan kurang lebih sebulan yang lalu. Sudah sebulan, belum ada tanda-tanda juga. Karyawan yang berharap bonus untuk membeli buku dan seragam anak-anaknya mulai gelisah. Sedang orang-orang keuangan selalu kompak dengan aksi tutup mulut.
Tepat sehabis maghrib, kami semua mendapat jatah makan gratis. Prasmanan yang mewah. Bagaikan kuli, piring kami isi sepenuh dan setingginya. Aku makan sambil melirik handphone, menanti jawaban Lola. Nihil. Aku bersiap dengan gitar ke panggung. Di panggung aku melihat bidadari redaksi, Dhira sedang melakukan pengecekan microphone. Dia memakai baju gamis berwarna biru terang, tampil sangat cantik, berbeda dari penampilannya di pagi hari. Kapan datangnya si bidadari? Aku berjalan mendekati Dhira seakan-akan melakukan hal yang sama untuk mic yang akan kugunakan.
“Hai Dhira, kapan sampai ke kantor lagi?” sapaku sambil memegang-megang mic.
“Baru saja,” jawab Dhira singkat.
“Diantar?” Tidak mungkinkan Umi Ustadzah membiarkan anak gadisnya secantik ini datang ke kantor malam-malam sendiri.
“Sama teman.”
“Ooo.”
Aku sudah selesai berpura-pura, tepat pada saat Dhira sudah turun panggung. Entah kenapa tiba-tiba tanganku dingin. Aku melihat baju biru terang itu berjalan. Benar, bajunya yang kulihat, terlalu malu untuk menatap pemilik gamis biru terang itu. Dhira berjalan menuju tempat duduk, dan duduk berdampingan dengan seorang lelaki yang tampan, berambut ikal tebal, kulit putih dan berkacamata.
Deg. Aku berusaha mengalihkan pandangan. Itu ya teman Dhira? Pantas gerombolan jomblowan tidak ada yang berani mendekat dan menggoda gadis itu. Aku memandang Dhira Fans Club sudah terdepak ke pinggir lapangan. Menatap idola mereka duduk rapat dengan seorang lelaki menawan. Nasib.
Tamu-tamu kehormatan sudah datang. Big Boss tampak sibuk mengobrol dengan beberapa rekan bisnis dan sesama penulis. Aku standby di pinggir panggung sambil sesekali menatap Dhira dan “teman” nanar. Tepuk tangan membahana ketika pembawa acara memanggil Big Boss ke depan. Aku mengikuti beliau naik ke atas panggung. Mengambil tempat duduk di pojok kiri panggung, membiarkan beliau membaca judul puisi pilihannya mala mini dan mulai memetik gitar. Sudah tiga kali aku mengiringi beliau membaca puisi. Tetapi mala mini rasanya begitu dingin, tanganku kaku karena menahan dingin. Ya ampun, ternyata aku, Muhammad Faiz Ardiansyah bisa grogi karena kehadiran seorang gadis. Catat.
Meski tidak tenang dan sedih, aku terus mengkuti acara musikalisasi puisi sampai selesai. Bergabung dengan para jombowan di pinggir lapangan. Kami kaum pinggiran, memang hobi duduk di pinggir. Aku melihat Dhira pulang bersama “teman”nya tak lama setelah pembacaan puisi Big Boss. Masih terlalu cepat untuk pulang, bukankah besok hari Minggu? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Walau hatiku tidak tenang, aku terus mengikuti acara sampai habis. Sesama jomblo harus bersatu, tidak boleh ada yang mendahului. Kami pulang bersama, terpisah karena arah parkiran masing-masing kendaraan. Di mobil aku melirik kembali handphoneku dan membaca pesan Lola, yang masuk 24 menit yang lalu.
[Faiz, aku perlu waktu berfikir ulang tentang hubungan kita. Selama itu aku mohon kita dapat menjaga jarak. Terima kasih Faiz, atas semua kenangan indah dan kenangan pahit yang sama-sama sudah kita jalani.]
Aku tidak menjawab pesan itu.
***