Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tepat jam 14 aku sudah sampai di kantor dan masuk ke ruangan redaktur, mulai mengetik plot tulisan panjang minggu ini. Akhirnya aku memilih tema tentang kehidupan masyarakat Riau yang ada di Malaysia, baik sebagai pekerja (professional) maupun sebagai mahasiswa. Aku tidak menulis tentang tenaga kerja yang bekerja di perkebunan, karena akan sulit mendapatkan data yang akurat di sana. Kalau ini terjadi terlalu sulit untuk dilakukan, paling nanti aku hanya akan membahas data mahasiswa, serta jumlah wisatawan dari pintu keluar Dumai ke Malaysia atau dari Batam. Tujuan dan lama mereka tinggal di Malaysia.
Baru menulis dua outline, pintu ruangan redaktur sudah diketuk oleh bidadari kami, sekretaris redaksi kesayangan, Dhira. Dua temanku redaktur yang sebaya denganku langsung terbang ke arah sekretaris, ketika dia memanggil para redaktur untuk segera masuk ke ruangan rapat untuk memulai rapat redaksi. Aku berjalan gontai, pertemuan dengan Lola nanti sepulang dari kantor penyebab kedua hilangnya semangatku. Penyebab pertamanya adalah Dhira, sejak mengetahui Dhira adalah teman masa kecil sekaligus anak Umi Ustadzah, dirinya malah bukan alasanku lagi untuk bersemangat mengikuti rapat redaksi. Aku terlalu malu bertemu dengan Dhira.
Aneh memang kok aku bisa malu. Aku adalah lelaki penuh percaya diri dan berotak encer, badan atletis dan juga jago gitar. Hehe.. Aku berdoa semoga rapat tidak berlangsung lama. Tetapi harapanku jelas jauh dari kenyataan. Rapat membahas acara 17-an di kantor. Tak ada balap karung atau panjat pinang. Kantor akan mengadakan musikalisasi puisi, tentang makna kemerdekaan. Baru kali ini kami melaksanakannya di akhir bulan. Tetapi kemajuan juga karena akan ada kompetisi baca puisi dengan tema kemerdekaan, kepahlawan dan hal-hal yang berbau seperti itu.
Aku permisi sebentar keluar ruangan untuk melaksanakan salat ashar. Ada beberapa redaktur yang sudah keluar untuk melaksanakan salat di musala kantor. Aku menunggu-nunggu bidadari redaksi keluar untuk salat, seperti biasanya. Anak gadis Umi Ustadzah itu tidak pernah telat melaksanakan salat. Tetapi Dhira tidak keluar. Teman-teman yang lain melirik bingung kenapa aku melewatkan salat Ashar berjamaah dengan mereka. Akhirnya aku salat berjamaah bersama termin jamaah kedua.
Pada saat masuk kembali ke ruangan rapat, seluruh anggota rapat melihat ke arahku, bahkan ada yang bertepuk tangan. Bingung karena tidak mengetahui pembicaraan rapat, aku hanya bisa menggaruk kepala yang tidak gatal sambil tersenyum tidak jelas.
“Iz, bisa ya?” tanya Bang Husni kepadaku.
“Bisa apa Bang?” tanyaku bingung.
“Main gitar, saat musikalisasi puisi bos,” tambahnya.
“Oooh, insyaAllah Bang.”
Lah, aku mau menjawab apa, rasa malu karena menjadi pusat perhatian Dhira membuat aku takut, muka ini akan berubah warna menjadi merah. Kan lucu kalau ketahuan. Semua pasti bertanya-tanya kenapa mukaku bisa memerah. Bisa-bisa aku dikira demam. Akhirnya Bang Husni mengakhiri rapat, karena dia belum salat Ashar. Kami semua bubar dan kali ini aku tidak ingin ke kantin, tetapi dengan pelan memasuki ruang redaktur bersama rekan-rekan yang lain.
*
Aku salat maghrib di kantor, baru berangkat ke café yang ditentukan Lola tadi pagi. Café yang terletak cukup jauh dari kantorku tersebut sudah mulai ramai. Aku melihat Lola duduk sendiri di salah satu pojok café. Tangannya sibuk memainkan hp yang berada di tangannya. Wajah Lola tetap full make up seperti biasa, tetapi ada kekhawatiran dan kelelahan terlihat pada wajah tersebut.
Aku memilih duduk persis di depan Lola, memberikan senyuman paling manis yang bisa kutampilkan malam ini. Lola menghembuskan nafas panjang sebelum memulai pembicaraan.
“Aku lelah,” katanya.
“Iya, mau makan apa? Pesan dulu yuk,” jawabku tenang.
“Iz, kamu mengulang lagi ya? Kamu pacaran dengan anak kuliahan ya?” Tanpa basa-basi Lola bertanya, nada Lola pun mulai tinggi. “Ini sudah yang kesekian kali, dulu di Medan kamu juga begini, sekarang di Pekanbaru kamu ulangi lagi, tega kamu Iz.” Lola sudah nyaris berteriak kali ini.
Aku diam dan menatap wajah marah di depanku. Tak diragukan lagi perempuan di depanku ini mencintaiku. Sudah lebih dari satu kali aku mendua, tanpa melepaskan dia, tetapi kata maafku selalu berhasil meluluhkan hati Lola. Entah apa yang dilihatnya dariku. Lelaki tampan kulihat banyak di kantornya sekarang. Tetapi dia memilih tetap bertanya dan mengklarifikasi semua ketidaksetiaanku.
“Maaf, aku kan mencarikannya pacar baru,” jawabku singkat dengan muka serius.
“What?” Lola bingung dengan jawabanku dan memandangku tidak percaya.
“Putuskan dia sekarang!” jeritnya. Beberapa pengunjung tidak bisa lagi pura-pura mengacuhkan kami. Pandangan mereka lekat pada kami berdua.
“Lol, aku dah berkali-kali bilang sama anak itu, Alia, tetapi selama dia belum punya pacar baru, dia akan tetap lengket sama aku. Ada temanmu di kantor ngga yang bisa kita jodohin sama dia?” jawabku pelan.
Lola terdiam. Dialog absurd yang sedang berlangsung ini jauh dari skenario yang dipersiapkannya. Akhirnya dia memanggil pelanggan dan bersikap tak acuh. Dia memesan makanan untuk dirinya sendiri tanpa bertanya kepadaku. Aku terpaksa memanggil pelayan itu kembali dan memesan makanan sendiri.
Kami makan dalam diam. Bagiku perut kenyang sangat membantu berfikir. Kalau lapar, ehm, minta ampun bukan hanya kepalaku, tanganku saja bisa gemetar. Jadi aku menganggap Lola pasti sama. Karena itu lebih baik kami makan dalam tenang, dan kalau Lola langsung pulang setelah makan pun tidak apa-apa, aku siap membayar semua makanan Lola, daripada membahas masalah Alia lagi. Aku perlu berfikir dan menyusun strategi.
Lola makan dengan cepat. Padahal biasanya dia makan sangat lama, sampai aku kadang berfikir untuk memesan makanan lagi. Ini pertanda buruk. Pasti dia akan marah lagi. Aku malu jika harus membahas hal sensitive seperti ini di tempat ramai. Kami jadi sasaran empuk pandangan orang-orang yang mau tahu.
“Ini yang terakhir kali, kamu dan masalahmu selesaikan sendiri. Kalau ngga bisa nyelesaikan, aku ulang, ini terakhir kali kita bertemu.”
Lola bergegas berdiri, mengambil tas dan berjalan ke arah mobilnya. Syukurlah doaku dijawab sama yang Maha Kuasa. Aku bersyukur hanya harus membayar makanan Lola. Sumpah, aku merasa sedih kalau Lola menangis di depanku seperti waktu kami masih LDR-an dulu, sewaktu dia tahu tentang teman spesialku di kampus.
Sekarang aku akan menelpon temanku Fahmi yang keren, fotographer yang punya studio foto di jalan protokol kedua di kota ini. Fahmi ini playboy yang charming, persis seperti diriku. Tutur katanya lembut dan kamera mahal yang nyaris tidak pernah lepas dari pelukannya pasti akan menambah nilai handsome pria berambut ikal ini beberapa tingkat. Apalagi bagi perempuan-perempuan seperti Alia yang belum berfikir tentang hubungan serius dan pelaminan. Alia hanya perlu teman cowok keren untuk dipamerkan dengan teman ceweknya, tentu harus lebih keren dari segi penampilan dibanding cowok-cowok teman-temannya itu.
***