Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku teringat mengapa aku memilih menjadi seorang jurnalis daripada bekerja di kantor Lembaga Hukum misalnya. Masa kecilku diwarnai oleh pemberitaan Tenaga Kerja Indonesia illegal yang keluar dan masuk lewat beberapa pintu Provinsi Riau. Paling banyak dari pelabuhan Dumai dan dari Batam. Berita itu begitu sedih, sering aku mendengar dari Atuk (kakek, pen), cerita penderitaan TKI yang dibacanya sewaktu aku masih kecil. Ada cerita TKI yang bekerja secara illegal dan tidak dibayar bertahun-tahun, meninggalkan keluarga yang terus berharap kepulangan sang ayah atau ibu ke tanah air dengan membawa uang yang banyak.
Sedih. Tak terbayang olehku apabila kedua orang tuaku menjadi TKI saat itu. Kesulitan hidup membuat orang terkadang tidak bisa berfikir jernih dan menggunakan cara-cara yang sebenarnya tidak sesuai dengan hukum. Aku mengerti kepahitan itu. Pertama kali aku ke Malaysia, umurku kira-kira 8 tahun.
Kami mengunjungi keluarga jauh di sana, keturunan Indonesia yang berada di Negeri Sembilan. Aku hanya pergi berdua sama mama. Jalan dari Pekanbaru ke dumai dengan menggunakan travel dan menginap semalam di Dumai, karena kapal ke Malaka hanya berangkat satu kali sehari, jam 9 pagi. Memakan waktu lebih kurang empat jam, kalau kapal lancar. Sedang Pekanbaru-Dumai waktu itu ditempuh lebih kurang 6 jam.
Waktu itu kehidupan kami serba pas-pasan, tidak seperti sekarang. Keesokan harinya kami sudah sampai di pelabuhan jam 7.30 pagi dan bersiap untuk imigrasi. Jam 9 semua penumpang sudah masuk kapal yang memuat lebih kurang 200 penumpang saat itu mengarungi lautan lepas, ke arah selat Malaka, dan masuk ke wilayah Malaysia. Pelabuhan yang rapi, berbeda dengan pelabuhan Dumai yang baru kami tinggalkan. Antri lagi untuk imigrasi.
Rasanya badan kecilku begitu lelah, padahal mama hanya membebaniku dengan tas ransel kecil berisi minum dan snack untuk di perjalanan. Serta topi. Sedari kecil mama memang sudah mengajariku mandiri. Lapar, ambil makan sendiri. “Kamu anak laki-laki, harus mandiri.” Begitulah kata mama selalu.
Jadi berdirilah aku mengantri di pelabuhan, di dalam antrian yang dibatasi oleh tali pengaman, menunggu orang di depan di cap pasportnya dan ditanya satu dua pertanyaan oleh pegawai imigrasi Malaysia, yang semuanya mirip orang India. Mama pernah mengajakku satu dua kali menonton film India di televisi kami, dan aku yakin mereka memang orang India karena mirip bintang film yang membuat mama menangis karena filmnya sedih.
Meski yang lain maju satu persatu, tetapi aku dan mama mendapat dispensasi maju berdua. Mungkin mereka menganggapku anak kecil. Paspor kami sudah selesai di cap, jadi kata mama kami sudah resmi berada di Malaysia. Banyak orang India di sini, yang mana jarang kutemui di kampung halaman. Mereka rata-rata berbahasa Inggris, meski ada juga yang berbahasa Melayu. Kami dijemput Atuk Josam, adik Atuk, Paman mamaku paling bungsu. Mama memanggil Atuk Josam, Pakcik, menyalami beliau dengan takzim dan Atuk memelukku erat.
Kami ke Negeri Sembilan dengan menggunakan mobil Atuk yang mungil, kata Atuk Josam itu buatan negaranya, Malaysia. Kanan kiri kami sangat asri, dengan pohon-pohon besar di kanan-kiri jalan. Sampai kami melewati Port Dickson yang indah, pantai dan terhempar luas di kanan kami. Aku sangat kagum dengan pemandangan ini. Mataku membulat, hampir tak berkedip. Atuk dan mama terus bercerita sepanjang waktu, tetapi aku lebih tertarik melihat pemandangan ke kiri dan ke kanan.
Entah sudah berapa jam kami berjalan, karena setelah melewati Port Dickson aku tertidur, sampai ke Seremban, Negeri Sembilan. Waktu itu Seremban masih sepi, hampir mirip dengan Pekanbaru, kota kami. Berbeda sekali ketika kemudian aku datang lagi ke sana sekitar 17 tahun kemudian.
Keluarga Mama di sini sudah menjadi warga Malaysia. Bahkan ada yang sudah menjadi pegawai Kerajaan. Atuk Josam sendiri pensiunan polisi padahal tubuhnya kurus dan pendek. Apabila Atukku tingginya 180 cm, maka Atuk Josam jauh di bawah Atuk, mungkin hanya 165 cm tingginya. Karena itu cerita sedih TKI memang tidak tercatat dalam sejarah keluarga kami.
Kami hanya semalam di Seremban, melanjutkan perjalanan ke Singapura untuk terus menyeberang ke Batam, tempat Makcik, adik perempuan Ayah. Dari sanalah awalnya aku berminat untuk sekolah menengah atas di Batam, tinggal bersama Makcik dan keluarganya.
*
Tujuan Mama ke sini sebenarnya hendak mendapatkan salinan silsilah keluarga Atuk yang sudah dibuat oleh Atuk Josam dan keluarga lain di Seremban. Menurut cerita Atuk buyutku adalah seorang pendekar, yang merantau dari Riau sampai Seremban. Beliau adalah guru silat yang cukup sakti, bahkan dapat menangkal serangan harimau jadi-jadian dari pegunungan yang berada di kawasan Negeri Sembilan. Jangan berfikir pada saat itu orang dengan mudah mengirim email atau wa, line atau medsos lainnya.
Mama akan membawa catatan tersebut untuk Atuk di rumah, karena Atuk tidak bisa lagi bepergian jauh.
Dari Malaysia, kami naik kereta api cepat ke Singapura. Enak sekali naik kereta api, yang baru pertama kali aku rasakan. Pemeriksaan imigrasi pun dilaksanakan di atas kereta, sehingga aku tidak perlu berdiri lama-lama hanya demi cap di passport.
Kami menyeberang dari Singapura ke Batam melalu pelabuhan Harbour Front yang ramai. Berbagai barang banyak dijual di sana. Aku melihat, sama sperti di Dumai, orang Indonesia pun sangat ramai di Sinagpura, bahkan lebih ramai. Ini tercermin dari antrian imigrasi yang mengular lebih panjang. Aku menguatkan diri berdiri tegap, tidak ingin mengeluh atau bersikap lemah pada Mama, terutama petugas imigrasi di depan. Di sini petugas imigrasinya rata-rata orang Tionghoa, dan mereka lebih banyak berbahasa Inggris dari petugas imigrasi Malaysia.
Lega sekali rasanya ketika aku sudah masuk ke dalam kapal yang akan memberangkatkan kami dari Singapura ke Batam. Kurang dari dua jam kata Mama, kami akan sampai ke Batam. Aku mengangguk, melihat laut luas sebagai satu-satunya pemandangan dari kapal. Mama memang selalu mendudukkanku di sebelah kaca, sehingga dapat melihat keluar. Tetapi karena kelelahan sehabis antri di imigrasi, mataku tak lama kemudian sudah rapat, dan terbang ke alam mimpi.
*
Drrt, getaran gawai mengejutkanku yang sedang melamun di depan komputer di ruangan redaktur. Tak satu kata pun bertambah dari outline yang sempat terketik kemarin. Fahmi. Akhirnya anak ini membalas teleponku yang tidak diresponnya dari kemarin malam.
“Sorry,” ujarnya setelah telepon kuangkat, tanpa menjawab salam.
“Kau nelepon malam-malam yah jelas aku dah tidur. Tadi kau nelpon aku lagi ada pemotretan, nih baru selesai,” jawabnya panjang.
“Padahal aku mau menawarkan kau kenalan dengan seorang gadis cantik,” jawabku tanpa basa basi.
“Oh ya, alhamdulillah, tumben kau baik? Kau dah bosan?”
“Lola marah.”
“Jelaslah.”
“Mau ngga kenalan dulu?” aku mengulang tawaranku.
“Kalau kenalan siapa takut.”
“Ok, besok di tempat futsal ya.”
“Kenapa tak di tempat yang lebih enjoy sih Iz, kan ngga enak ngerayu cewek keringatan.”
“Alia agak unik, dia suka sama keringat,” jawabku asal, sambil menutup telepon. Padahal aku hanya ingin mengirit waktu saja. Olahraga sekaligus mengenalkan Alia dan Fahmi. Mudah-mudahan keduanya saling menyukai. Aamiin.
***