Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Ssssstt!" desis Ata saat merasakan telinganya mendengung keras. Ia masih ingat betul bagaimana bom itu meledak dengan kerasnya. Ia tak tahu apa-apa, bahkan Kevin pun tak menjelaskan mengapa telepon genggamnya dibongkar dengan acak. Belum terpecahkan tentang ketidaktahuannya sudah dilanjutkan dengan Kevin membawa motornya dengan laju yang kencang. Setelah itu masih harus menyaksikan bom yang meletus dibawah ranjau.
Ata bangkit dan mulai mengamati sekitar. Ini bukan villa Fando, batin Ata. Ata mulai melangkah keluar dari kamar asing itu. Terus melangkah menuju ruang depan. Udara dingin langsung menyambut kala Ata keluar dari rumah asing itu.
Yang dilihatnya saat ini adalah hamparan perkebunan teh yang sejuk dan dingin. Sekilas Ata melihat seorang lelaki di perkebunan itu. Ata yakin jika itu Kevin. Ia ingin menghampiri Kevin dan meminta penjelasan tentang kejadian tadi malam.
Semalam, Kevin seolah membisu dan menutup rapat mulutnya yang seharusnya tahu akan hal yang tidak diketahui oleh Ata. Ata berharap jawabannya nanti akan membantunya dalam memecahkan ini semua. Ia berhak tahu.
Sembari melihat sekitar, ia berpikir bagaimana cara menghentikan ibunya yang semakin merajalela. Ia sepenuhnya tak yakin jika ibunya bertindak seperti itu. Ia sungguh tak yakin. Semakin ia jauh dari daerah rumahnya semakin banyak orang yang terkena amarah ibunya.
Hawa dingin segera saja memenuhi sekeliling Ata dan Kevin. Embun yang selalu menutupi langkah pandangan untuk melihat bagaimana realita yang seharusnya. Dan, Ata akan segera membuktikannya.
"Nyenyak?" tanya Kevin.
Ata hanya mengangguk sebagai jawabannya. Kevin masih sibuk memandang kebun teh yang luas. Sedangkan Ata bingung harus memulai darimana."Ada apa?" tanya Kevin membuyarkan lamunan Ata yang masih bingung ingin memulai darimana.
"Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Ata. Yang ditanya malah membalikkan badan dan melangkah menjauh dari Ata. Ata yang melihat hal itu langsung mengejar Kevin dan mencekal tangan Kevin hingga berhenti.
"Tak ada yang perlu dirahasiakan, Kevin. Kamu cukup tahu bagaimana aku hidup ditengah banyak orang yang menginginkan harta ayah. Aku butuh penjelasan mengenai apa yang terjadi tadi malam. Aku juga ingin mengerti mengapa kau membongkar telepon genggamku. Aku tak tahu menahu tentang semua yang terjadi tadi malam" Ata terisak, tak bisa menahan tangis. Ia hanya ingin tahu.
"Baiklah" jawab Kevin.
"Tadi malam ada seorang yang meleponmu dengan nomor 5232. Dan itu adalah kode kriminal yang berasal dari golongan intel bahkan psikopat. Kita diintai menggunakan sinyal getaran. Kau juga mendengar bom yang meledak tadi malam. Jika kita tak segera pergi dari hutan pinus itu, kita akan ikut terkena ledakan bom itu. Untung kau tak kena ranjaunya. Untuk alasan mengapa aku membongkar telepon genggammu, aku tak mau sinyal getaran itu menangkap lebih banyak sinyal. Hingga akhirnya telepon genggammu akan menyalurkan energi yang bisa membuatnya meledak. Ada lagi?".
Penjelasan Kevin membuat Ata semakin tak mengerti. Ia bahkan tak merasa begitu. "Lalu, untuk apa aku berada dirumah ini?. Bukankah ini juga bukan rumahmu?" tanya Ata.
"Sengaja aku bawa kesini. Villa Fando sudah tak lagi aman untukmu. Aku hanya ingin... ah sudahlah. Lupakan saja. Kau cukup pikirkan bagaimana cara mengambil semua berkas ayahmu". Jawaban Kevin membuat Ata mengerutkan kening, ada yang disembunyikan dari Kevin. Dan Ata tahu itu. Hanya saja ketika akan bertanya kembali, Kevin sudah berjalan meninggalkannya.
________________________________________________________________________
"Cepat katakan dimana Zeky?!" tanya Nyonya Bian dengan tangan kiri mengacungkan pisau ke arah Hengki. Yang ditanya masih berusaha diam seribu bahasa, ingin melindungi dimana keberadaan Zeky saat ini. Hengki tahu benar jika nyonya-nya itu menginginkan Zeky mati ditangannya, agar ia bisa menikmati warisan dari perusahaan ayahnya yang sekarang dipegang oleh Dr. Ali Hendra.
"Selama kau bekerja dikeluarga Zeth, kau tentu banyak tahu tentang keluarga ini, bukan?. Kau juga tahu jika aku sangat bahkan ingin memiliki rumah dan seisinya ini sepenuhnya tanpa ada dua anak kembar itu. Dan sekarang adalah saatnya aku ingin memulai. Dan kau malah mengacaukan semuanya?!" katanya dengan muka merah padam tersulut amarah yang sudah cukup besar.
"Tapi tindakan anda tidak baik, Nyonya" jawab Hengki dengan bibir gemetar.
"Tahu apa kau tentang baik?!" bentak Nyonya Bian. Hengki yang mendengar hanya menunduk dan diam. Seolah menelan saliva yang penuh dengan nanah.
"Bawa dia keruang bawah tanah bilik nomor tujuh. Aku ingin dia bernasib sama dengan Mbak Sari!"
Perintah Nyonya Bian seolah sabda bagi seluruh bodyguard yang ada dirumah saat itu. Mereka hanya mengiyakan dan menjalankan perintah. Hengki berjalan dengan pasrah dan menunduk. Mengingat bagaimana Mbak Sari yang ketika itu tewas dibilik nomor tujuh. Mengingat bagaimana ia membawa jasad Mbak Sari yang sudah penuh dengan lumuran darah. Dan sekali lagi, mengingat bagaimana keluarga Mbak Sari yang selalu diberi kabar palsu oleh Nyonya Bian. Padahal Mbak Sari sudah tidak ada dan tidak akan pernah ada.
Lagi.