Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
SYZYGY
Suka
Favorit
Bagikan
13. SYZYGY #13

46. INT. LIMBO — SIANG/MALAM

Semuanya putih. Tidak ada pembatas ruang, dinding, ataupun langit-langit. Luna berjongkok sendirian di tengah-tengahnya, memeluk lutut dan membenamkan wajah pada lengannya. Luna mengenakan baju terusan selutut berwarna putih juga. Dia menangis, hingga INDAH, ibu Luna, menghampirinya dan berhenti di depannya. Pakaian Indah sama seperti Luna.

 

INDAH
Luna, kenapa? 
LUNA
(tidak mendongak, masih terisak) Aku capek... Aku nggak mau denger apa-apa lagi. Aku takut.

 

Indah berjongkok di depan Luna, membelai sayang kepala Luna.

 

INDAH
Luna sayang, jangan takut.

 

Luna mendongak perlahan, terisak makin keras saat melihat ibunya.

 

LUNA
Mama... (memeluk Indah) Mama, Luna nggak mau kayak gini lagi. 

 

Indah balas memeluk Luna, menepuk-nepuk punggungnya dan membelai kepalanya. Setelah beberapa saat, Indah mengurai pelukannya, lalu menangkupkan kedua tangannya pada pipi Luna.

 

INDAH
Luna, beberapa hal di dunia ini memang nggak bisa kita ubah, tapi kita bisa mengubah cara kita memandangnya. Kalau satu hal bisa jadi anugerah atau kutukan, kenapa nggak kita jadikan anugerah aja? 
LUNA
Tapi cuma Luna yang kayak gini. Luna takut. 
INDAH
(menggeleng) Nggak, sayang, nggak cuma Luna yang kayak gini. Dan ada banyak banget orang yang sayang sama Luna. Jadi Luna nggak perlu takut. Luna nggak sendirian. Ya?

 

Indah tersenyum, membelai kepala Luna sekali lagi, lalu berdiri. Indah melangkah mundur, tapi Luna memegangi kedua tangannya erat-erat sambil menggeleng.

 

INDAH (cont’d)
(suaranya menggema) Nggak apa-apa, sayang. Luna nggak sendirian. 
LUNA
Nggak. (menggeleng) Mama... 
EDEN (o.s.)
Luna.

 

Indah sudah menghilang dari hadapan Luna. Luna perlahan menoleh ke belakang.

 

EDEN (o.s. cont’d)
Ikut aku sebentar, yuk.



47. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — SUBUH

Luna terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dia mengenakan gaun pasien rumah sakit, infus terpasang pada tangan kirinya. Kedua matanya terpejam, lalu membuka perlahan. Luna mengerjapkan matanya beberapa kali dengan lambat, lalu menoleh ke kanan. Eden duduk di kursi di sisi ranjang dengan tangan memegangi tangan kanan Luna dan wajah terbenam di tepi ranjang.

 

Luna mencoba menggerakkan tangan kanannya, tapi sulit karena dipegangi Eden. Luna pun menggerakkan tangan kirinya, menyentuh puncak kepala Eden. Eden tersentak bangun, lalu nyaris terjatuh dari kursi saking kagetnya.

 

EDEN
(mengerjap beberapa kali) Luna?

 

Luna tampak seperti ingin menangis, lalu berusaha bangun. Eden buru-buru berdiri, maju untuk membantu Luna duduk di atas ranjang.

 

EDEN (cont’d)
Eh, jangan bangun dulu...

 

Luna menarik lengan kiri Eden, menyandarkan dahinya ke bahu Eden dan mulai menangis. Eden tertegun sesaat, lalu merangkul Luna, mengusap lembut dan sesekali menepuk punggung Luna untuk menenangkan.

 

EDEN (cont’d)
Nggak apa-apa. Nangis aja. Aku nggak akan ke mana-mana.

 

Selama beberapa saat, Eden membiarkan Luna menangis dalam pelukannya.



48. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — PAGI

Matahari hampir terbit. Sinarnya menembus celah tirai jendela di sisi ranjang tempat Luna duduk. Eden duduk di bagian kaki ranjang, menghadap ke arah Luna. Luna sudah berhenti menangis.

 

EDEN
Jadi karena itu Pak Baskara masukin kamu ke komitenya?

 

Luna mengangguk pelan, membuat Eden mendengkus dan mengepalkan tangannya jengkel. Luna menatap Eden, tampak meragu sejenak.

 

LUNA
Kamu percaya?

 

Eden menoleh, menatap Luna dengan pandangan bertanya.

 

LUNA (cont’d)
Kalau aku bisa... kayak gitu. Kamu percaya?

 

Eden terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. Luna bingung.

 

EDEN
Sebenernya dari pertama kita ketemu, aku udah ngerasa kalau kamu tuh kayaknya ada sesuatu. Pas kamu bilang kamu mau semua orang diem, terus kamu tanya apa aku juga bisa denger. 
LUNA
Ah...

 

Eden mengangguk.

 

EDEN
Lagian, (jeda sejenak) aku juga bisa denger kayak kamu, Luna.

 

Luna menatap Eden tak percaya.

 

EDEN (cont’d)
Tapi bukan pikirannya orang. Yang aku denger tuh pikirannya hewan, pohon, rumput gitu.

 

Luna melongo sejenak, mencerna ucapan Eden.

 

LUNA
Jadi kalau sama Tabo, kamu dengernya Tabo ngomong kayak kita gini? 
EDEN
Yah, nggak dalam bahasa kayak kita gini, sih. Daripada denger, aku mungkin lebih kayak... ngerti? Ya paham aja, gitu.

 

Luna terdiam lagi, mencerna penjelasan Eden.

 

LUNA
Makanya waktu itu kamu bilang dikasih tahu pohon.

 

Eden mengangguk.

 

LUNA (cont’d)
Dan dulu waktu kecil kamu ngobrol sama kelinci sama anggrek di sekolah.

 

Eden mengangguk lagi.

 

EDEN
Ternyata kita sama aja, ya?

 

Luna tertegun, lalu tertawa kecil. Eden tertawa juga.

 

LUNA
Tapi, (senyum memudar) kemampuan kamu nggak nakutin kayak punyaku. 
EDEN
(menggeleng) Kemampuan kamu bisa jadi nakutin kalau disalahgunakan, Luna. Tapi kamu juga bisa pakai kemampuan kamu untuk nolongin orang. Semuanya tergantung kamu.

 

Luna terdiam lagi, tampak merenungi ucapan Eden. Sesaat kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Luna dan Eden menoleh ke arah pintu, melihat Enggar masuk dengan wajah kusut. Namun saat melihat Luna sudah sadar, kedua mata Enggar yang sayu seketika berbinar.

 

ENGGAR
Luna!

 

Enggar berlari menghampiri Luna dan memeluknya erat. Luna sedikit kewalahan, tapi dengan canggung balas memeluk Enggar. Setelah mengurai pelukannya, Enggar tampak mengusap kedua matanya dengan punggung tangan.

 

LUNA
Om... nangis? 
ENGGAR
(menyedot ingus) Om takut, Luna. Kamu mimisan dan pucat banget kayak mayat waktu dibawa ke sini. Om beneran takut kehilangan kamu.

 

Luna tertegun, sementara Eden berdiri di sisi Enggar, menepuk punggungnya untuk menenangkan. Luna kemudian teringat ucapan ibunya di dalam mimpi singkatnya sebelum sadar.

 

INDAH (o.s.)
Nggak apa-apa, sayang. Luna nggak sendirian.

 

Enggar lalu mengusap hidungnya dan mengeluarkan ponsel, hendak menghubungi Widya untuk memberitahu Luna sudah sadar.

 

LUNA
Om Enggar.

 

Enggar mendongak dari ponselnya, menatap Luna.

 

LUNA
(tersenyum) Makasih, ya.

 

Eden tersenyum bangga pada Luna, sementara Enggar makin terharu. Enggar memeluk Luna sekali lagi, dan ketiganya tertawa bersama.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar