19. INT. RUANG MAKAN RUMAH LUNA — MALAM
Beberapa hidangan khas Nusantara memenuhi meja makan. Luna duduk berhadapan dengan Enggar, sementara VENNA, saudara tiri Luna, duduk di sebelah kirinya. WIDYA, ibu Venna, duduk di seberang Venna. Keempatnya sedang menyantap makan malam.
ENGGAR
Komite Pemuda Peduli?
VENNA
(mengangguk antusias) Yang bikin Baskara Suryadikara yang beken itu, lho, Pa. Tahu, kan?
WIDYA
Anggota DPR yang terkenal bersih itu?
VENNA
(mengangguk) Jadi sekarang mereka lagi mau rekrut angkatan pertamanya. Daftarnya tinggal bikin esai tentang cita-cita kita buat Indonesia, nanti Pak Baskara sendiri yang milih anggotanya. Aku sama temen sekelasku mau nyoba, makanya kita besok mau bikin esai bareng.
ENGGAR
Luna ikut daftar juga?
LUNA
Oh... Iya. Disuruh. Esainya sekalian buat nilai tugas.
VENNA
Kamu udah bikin?
Luna menggeleng.
VENNA (cont’d)
Gimana kalau bikin bareng besok?
WIDYA
Ide bagus, tuh.
Enggar mengangguk juga, tampak berharap Luna setuju. Luna tampak tidak enak hati, tidak langsung menjawab.
LUNA
(diam sejenak) Sori, tapi aku udah ada janjian sama temanku besok.
Venna, Enggar, dan Widya tampak kecewa, tapi tidak ada yang mengungkapkannya. Ketiganya lalu mengobrolkan hal lain, sementara Luna lebih banyak diam.
20. EXT. HALAMAN DEPAN/TERAS RUMAH LUNA — PAGI
Eden memencet bel di sisi gerbang rumah Luna, lalu menunggu. Sesaat kemudian, Widya keluar ke teras.
EDEN
Pagi, Tante! Luna-nya ada?
Widya membukakan pagar untuk Eden.
WIDYA
Pagi. Luna lagi siap-siap di dalem. Kamu temennya, ya? Mari masuk.
Eden mengikuti Widya masuk ke halaman depan rumah Luna, lalu berhenti di teras.
EDEN
Saya tunggu di sini aja, Tante.
WIDYA (cont’d)
Oh, gitu? Bentar kalau gitu, saya panggilin dulu anaknya.
Widya masuk ke dalam, sementara Eden memandangi pohon mangga besar yang tumbuh di sudut halaman. Enggar lalu keluar ke teras.
EDEN
Oh, pagi, Om.
ENGGAR
(mengangguk) Pagi.
Enggar mengamati Eden lekat-lekat seperti sedang menilainya. Eden sedikit salah tingkah.
ENGGAR (cont’d)
Kamu yang namanya Aiden, ya?
EDEN
(mengangguk) Eden, Om. Pakai E.
ENGGAR
Oh ya, maaf. Kamu... kuliah? Kerja?
EDEN
Masih kuliah, Om. Sama kerja-kerja sambilan aja buat bantu Mama.
ENGGAR
Hari ini kamu pergi berdua aja sama Luna?
EDEN
Iya, Om. Ke tempatnya temen saya, Om, deket sini, kok. Kebetulan dia lagi renovasi pet shop-nya, terus Luna bantu bikin lukisan buat dekornya. Gambarnya Luna kan bagus banget, Om.
ENGGAR
Ooh, ya, ya. (jeda sejenak) Sori, kamu ini kenal anak saya udah berapa lama, ya?
EDEN
Hmm? Oh, udah sebulanan ini, sih, Om. Luna kan sering banget main ke shelter tempat saya kerja. Luna nggak pernah cerita?
Enggar tidak menjawab, membuat Eden sadar dia sudah salah bertanya. Suasana menjadi sedikit canggung, lalu Luna keluar ke teras diikuti Widya di belakangnya.
LUNA
Berangkat dulu, Om, Tante.
Luna menyalami Enggar dan Widya dengan cara yang menunjukkan mereka tidak begitu akrab. Eden berpamitan juga, lalu keduanya berangkat. Enggar dan Widya masih berdiri di teras. Saat Luna dan Eden sudah tidak kelihatan lagi, Widya menyenggol bahu Enggar.
WIDYA
(tertawa kecil) Nggak usah tegang gitu, Mas. Luna udah gede. Udah wajar jalan sama cowok.
Enggar hanya tertawa canggung. Widya masuk ke dalam rumah, tapi Enggar masih berdiri di teras, menatap gerbang yang sudah tertutup.
21. INT. STASIUN MRT/GERBONG KERETA — SIANG
Suasana cukup ramai. Luna dan Eden berjalan di antara orang-orang menuju platform kereta.
EDEN
Papa kamu protektif juga, ya.
LUNA
(menoleh pada Eden) Ha?
EDEN
Tadi aku dilihatin sampai berasa kayak penjahat aja (tertawa). Tapi wajarlah, ya, namanya juga bapak.
LUNA
(diam sejenak) Om Enggar... bukan papaku.
Eden berhenti berjalan, Luna juga.
EDEN
(terkejut) Ha?
LUNA
Om Enggar tuh adiknya Mama. Tapi sejak Mama sama Papa nggak ada pas aku umur sepuluh, aku diangkat anak sama Om Enggar.
EDEN
Oh... (tertegun) Err, sori.
Luna menggeleng.
EDEN (cont’d)
Jadi yang tadi itu...?
LUNA
Tante Widya. Om Enggar nikah sama dia tiga tahun lalu. Anaknya seumuran sama aku. Cewek juga, tapi beda sekolah.
EDEN
Ooh. Wah, enak, dong, dapet saudara. Ada yang nemenin kalau mau ngapa-ngapain (tertawa kecil).
Luna tidak menyahut, wajahnya tampak muram. Senyum Eden ikut surut.
EDEN
Kenapa? Orangnya nyebelin?
LUNA
(menggeleng) Baik, kok. Baik banget, malah. Soalnya mereka kasihan sama aku. Sama kayak Om Enggar. Papa nggak punya saudara, jadi Om Enggar nggak punya pilihan selain ngasuh aku setelah Mama sama Papa nggak ada.
Luna dan Eden terdiam selama beberapa saat.
EDEN
Kamu beneran mikir gitu?
Luna menatap Eden, tidak mengerti.
EDEN (cont’d)
Tadi pas nunggu kamu keluar, om kamu tuh nanya-nanyain aku. Aku masih kuliah apa kerja, kita hari ini mau ke mana, berapa lama kita kenal. Kelihatan banget kalau beliau tuh mau memastikan hari ini kamu nggak jalan sama cowok nggak jelas. Dan kalau menurut aku, sih, itu bukan kasihan, Luna. Itu sayang.
Luna tertegun merenungi ucapan Eden, lalu terdengar pengumuman bahwa kereta yang hendak mereka naiki akan segera berangkat.
EDEN (cont’d)
Eh, gawat, kita mesti cepetan!
Eden menggandeng tangan Luna dan keduanya berlari menuju kereta yang hendak mereka naiki. Mereka berhasil masuk tepat sebelum pintunya tertutup.
Suasana di dalam gerbong ramai, tidak ada tempat duduk kosong. Eden mengajak Luna berdiri agak rapat ke pintu, tangan keduanya masih bergandengan. Eden yang menyadarinya sempat salah tingkah dan berniat melepas tangan Luna, tapi batal saat merasakan Luna menggenggam tangannya erat. Pada akhirnya, mereka tetap bergandengan dalam diam selama kereta melaju.