35. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — PAGI
Luna berdiri di sisi ranjang rumah sakit, mengemasi barangnya ditemani oleh Widya. Terdengar ketukan dari arah pintu, bersamaan dengan ponsel Luna yang bergetar di saku. Widya beranjak untuk membukakan pintu, sementara Luna mengecek ponselnya. Ada pesan masuk dari Eden.
EDEN (text)
(mengirim foto close-up wajah Tabo) Meowrning, Luna! Katanya Venna kamu udah boleh pulang ya pagi ini?
Luna tidak jadi tersenyum. Di saat yang sama, terdengar suara Widya dari arah pintu.
WIDYA (o.s.)
Pak Baskara? Wah, mari masuk, Pak, silakan.
Luna menoleh, tampak terkejut melihat Baskara masuk mengikuti Widya.
WIDYA (cont'd)
Luna, kamu kenapa nggak bilang kalau Pak Baskara mau jenguk hari ini?
BASKARA
Saya memang ke sini tanpa pemberitahuan sebelummnya, Bu. Maaf kalau saya ganggu.
WIDYA
Oh, nggak, kok, Pak (tertawa). Bapak nggak ganggu sama sekali.
BASKARA
Baguslah. Saya dengar Luna sudah boleh pulang, ya?
WIDYA
Iya, sudah sehat. Ini sudah mau pulang.
BASKARA
Kalau gitu, boleh saya pinjam Luna sebentar?
Luna dan Widya sama-sama tampak terkejut. Keduanya saling bertatapan.
BASKARA (cont’d)
Saya perlu bicara sedikit soal Komite. Luna kan anggota juga. Nanti saya antar pulang setelah selesai. Nggak lama-lama, kok. (menoleh pada Luna) Ya?
Luna menelan ludah, menatap Baskara heran.
36. INT. KAFE DEKAT RUMAH SAKIT — PAGI
Suasana kafe tidak begitu ramai karena sudah lewat jam sarapan. Luna dan Baskara duduk di meja untuk dua orang di sudut dalam kafe. Meja-meja di sekitar mereka kosong. Luna menatap sekeliling dengan canggung, lalu menoleh pada Baskara yang duduk di seberangnya.
BASKARA
(tersenyum) Tenang aja, nggak ada wartawan yang bakal nulis ini jadi berita. Udah saya pastikan tempat ini bersih. Saya kenal yang punya.
LUNA
(canggung) Umm... makasih, Pak. (jeda sejenak) Soal... temen saya juga.
Baskara menelengkan kepala, berpikir sejenak sebelum tampak paham.
BASKARA
Ah, soal siswa yang bully kamu itu? Saya cuma ngelakuin apa yang seharusnya dilakuin semua orang, Luna. Dan kamu nggak perlu nyebut orang itu sebagai teman saat dia memperlakukan kamu seperti itu.
Luna terdiam, lalu mengangguk. Baskara mengangguk juga.
BASKARA (cont’d)
Nah, sekarang sebelum kita bahas soal komite, ada hal yang lebih penting untuk saya bicarakan sama kamu.
Luna mengerjap, menatap Baskara tidak mengerti. Seorang pramusaji lalu datang mengantarkan pesanan mereka. Saat si pramusaji meninggalkan meja, Luna bisa mendengar suara Baskara.
BASKARA (v.o.)
Kamu bisa baca pikiran saya.
Luna spontan menoleh ke arah Baskara, tampak terkejut. Baskara tersenyum tipis, dan bibirnya sama sekali tidak terbuka saat Luna mendengar suaranya lagi.
BASKARA (v.o. cont’d)
(mengangkat kedua alisnya) Ya kan?
Luna menelan ludah, lalu pura-pura mengaduk minuman cokelatnya untuk menyembunyikan rasa gugup. Baskara masih menatapnya lekat dari seberang meja.
BASKARA (v.o. cont’d)
Nggak usah takut, Luna. Saya tahu kamu bisa dengar saya karena saya juga sama seperti kamu.
Luna mendongak, menatap Baskara dengan raut wajah tidak percaya. Baskara melipat kedua lengannya di atas meja, menatap Luna lekat-lekat.
BASKARA
Tapi kemampuan kamu jauh lebih powerful daripada saya.
LUNA
...Maksudnya?
BASKARA
Kamu nggak ingat apa yang kamu lakuin ke anak yang bully kamu itu sebelum kamu pingsan?
Luna mengernyit, berusaha mengingat-ingat.
LUNA
Saya nggak... ngelakuin apa-apa.
BASKARA
Berarti kamu nggak ingat. Atau mungkin nggak mau ingat.
Luna mengernyit makin dalam, mulai tampak tidak nyaman.
BASKARA (cont’d)
Anak itu ngaku nggak terima dengan keputusan saya masukin kamu jadi anggota komite, jadi dia melampiaskan emosinya ke kamu. Dia buang barang-barang kamu, tapi semuanya jadi aneh setelah dia buang gantungan kunci kamu ke kloset.
LUNA
Aneh?
BASKARA
(mengangguk) Dia bilang suaranya mendadak nggak keluar, terus dia mulai dengar suara kamu di dalam kepalanya. Kamu marah, kamu nggak terima. Kamu mau balas dia. Jadi kamu bikin dia mencekik dirinya sendiri, dan itu yang dia lakuin.
Luna menelan ludah, seketika wajahnya pucat.
LUNA
(menggeleng) S-saya nggak...
BASKARA
Semua orang bilang dia ngarang, tapi saya tahu dia jujur. Karena saya juga ada di sana waktu itu dan saya bisa dengar isi kepala kamu. Kemarahan kamu. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah kemampuan kamu yang sebenarnya, Luna.
Baskara mencondongkan badannya sedikit ke depan, menatap Luna lekat-lekat.
BASKARA (cont’d)
Kamu nggak hanya bisa dengar isi kepala orang, Luna. Kamu juga bisa mengendalikan mereka.
Luna benar-benar tampak ketakutan sekarang. Dia berniat beranjak dari kursi, tapi Baskara bersuara lagi.
BASKARA (cont’d)
Kalau kamu nggak percaya, kita buktikan aja sekarang.
Luna tidak jadi berdiri. Dia menatap Baskara dengan kening berkerut. Baskara lalu menunjuk salah satu pramusaji yang sedang mengelap meja di sekitar mesin pembuat kopi.
BASKARA (cont’d)
Coba kamu fokuskan pikiran kamu ke dia, terus suruh dia ambil satu gelas kertas dan buang ke tempat sampah.
Luna menatap Baskara seolah Baskara sudah gila, tapi Baskara hanya tersenyum tenang.
BASKARA (cont’d)
Kalau kamu yakin banget kamu nggak bisa mengendalikan pikiran orang seperti yang saya bilang, nggak ada yang perlu kamu takutkan, kan? Kalau memang saya salah, saya nggak akan bahas ini lagi dengan kamu. Saya janji.
Luna tampak ragu sejenak, lalu melirik pramusaji itu. Luna berkonsentrasi, dan SUARA-SUARA di sekitarnya berangsur pelan dan menghilang. Yang terdengar hanya sebuah LAGU yang disenandungkan pramusaji itu di dalam kepalanya.
LUNA (v.o.)
Ambil gelasnya, terus buang. Ambil gelasnya, terus buang.
Pramusaji itu tersentak sedikit, lalu berhenti bersenandung di dalam kepalanya. Seperti orang linglung, pramusaji itu lalu mengambil sebuah gelas kertas dari tumpukan di sisi mesin pembuat kopi, lalu membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya, dia tampak bingung sendiri. Luna tertegun, wajahnya semakin pucat.
BASKARA
Bukan, Luna, itu bukan kebetulan. Dia cuma ngelakuin apa yang kamu suruh.
Luna menatap Baskara. Luna semakin ketakutan, tapi sebaliknya Baskara tampak makin serius.
BASKARA (cont’d)
Nggak, Luna, kemampuan kamu ini nggak menakutkan. Kalau kamu bisa...
LUNA
Berhenti baca pikiran saya!
Luna berdiri dari kursinya dengan terburu-buru.
BASKARA
Saya juga pernah berharap saya nggak punya kemampuan seperti ini, Luna.
Luna mematung di tempatnya berdiri, menatap Baskara. Baskara balas menatapnya intens.
BASKARA (cont’d)
Tapi lantas saya sadar, saya nggak mungkin dianugerahi kemampuan seperti ini tanpa alasan. Begitu juga kamu. Kita ini orang-orang pilihan, Luna. Kita nggak boleh menyia-nyiakan kemampuan yang sudah dikasih ke kita gitu aja.
LUNA
Saya nggak pernah minta saya bisa begini.
BASKARA
Saya juga. Tapi coba kamu pikir. Dengan bisa dengerin pikiran orang, kamu bisa tahu saat seseorang berniat buruk, jadi kamu bisa cegah orang itu. Kamu bisa nolong orang, bahkan di saat mereka nggak punya cukup tenaga untuk teriak minta tolong. Dan kamu, dengan kamu bisa kendalikan pikiran orang, kamu bisa bikin orang-orang yang punya pikiran jahat itu berubah, Luna. Kamu bisa bikin dunia ini jadi tempat yang lebih baik.
Luna terdiam, mencerna ucapan Baskara.
LUNA
(lirih) Tapi suara-suara ini nggak bisa dikendalikan.
BASKARA
Bisa, kalau kamu tahu caranya.
LUNA
(mengerjap) Gimana?
BASKARA
Saya bisa bantu kamu.
Baskara berdiri juga, tersenyum pada Luna.
BASKARA (cont’d)
Kita bisa ubah dunia ini, Luna. Kamu dan saya.
37. EXT. KEBUN HIDROPONIK YAYASAN “SATU ATAP” — SORE
Eden meletakkan sebuah kotak kayu di atas kotak kayu lain, keduanya berisi sayuran hasil panenan Ratri. Eden lalu mengeluarkan ponselnya dari saku.
INSERT: Layar ponsel Eden menunjukkan riwayat percakapannya dengan Luna selama beberapa hari terakhir. Selalu Eden yang memulai percakapan, dan kebanyakan pesan yang dia kirim hanya dibaca oleh Luna, tidak selalu dibalas.
Eden menghela napas. Ratri menghampiri Eden dari arah kebun, berhenti di sebelahnya.
RATRI
Belakangan Luna nggak pernah ke sini lagi, ya.
EDEN
(mengangguk enggan) Kayaknya dia lagi sibuk sama komitenya yang pemuda-pemuda itu.
RATRI
Ooh... (mengangguk paham). Bukan karena itu, ya?
Ratri mengedikkan kepala ke arah Venna yang tampak sedang memotret beberapa anjing yang bermain di halaman belakang. Eden juga menatap Venna, dan Venna langsung melambai ke arah Eden sambil tersenyum lebar. Eden membalas lambaian Venna seadanya.
RATRI (cont’d)
Keluarga saya tuh bukan orang berada, Den. Jadi dari kecil, saya selalu diajarin buat berbagi apa-apa yang saya punya sama adik saya. Kalau adik saya pinjam terus saya pelit, saya bakal dimarahin sama ibu saya.
Eden menatap Ratri. Ada kebingungan pada wajahnya, tapi dia menyimak ucapan Ratri dengan serius.
RATRI (cont’d)
Nah, pas ulang tahun saya yang ke... berapa, ya? Saya kelas 3 SD pokoknya. Adik saya kelas 1. Papa saya belikan saya boneka kucing buat hadiah ulang tahun. Bonekanya nggak besar, wajahnya agak jelek juga (tertawa) tapi itu pertama kalinya saya dapat boneka buat hadiah ultah. Jadi saya selalu bawa tuh kucing ke mana-mana. Nah, satu hari, adik saya mau pinjam. Saya nggak bolehin. Nangislah dia. Dan ibu saya lihat kejadiannya.
Ratri berhenti di sana, lalu menatap Eden.
EDEN
Terus... Ibu dimarahin?
RATRI
Saya pikir juga gitu. Tapi ternyata ibu saya malah bilang ke adik saya kalau dia boleh pinjam boneka saya yang mana aja selain yang itu, kecuali kalau saya memang mau minjamin ke dia. Soalnya yang itu spesial buat saya, kata ibu saya.
Ratri lalu kembali menatap Venna yang sekarang tampak sibuk dengan ponselnya sendiri.
RATRI (cont’d)
Tempat ini memang terbuka buat siapa aja. Venna juga anaknya baik. Tapi kalau buat Luna, tempat ini mungkin kayak boneka kucing itu kalau buat saya. Dan buat dia, Venna sekarang sedang bersikap seperti adik saya waktu itu. (menoleh pada Eden) Dan bisa jadi bukan soal tempat ini aja.
Eden tertegun, mencerna ucapan Ratri, sementara Ratri kembali mengurusi tanamannya. Setelah terdiam beberapa saat, sebuah pemikiran terlintas di benak Eden.
EDEN
Bu, saya tinggal bentar, ya.
Ratri menoleh, dan Eden sudah berlari menjauh. Venna bertanya ke mana Eden pergi sewaktu Eden melewatinya, tapi Eden tidak menghiraukannya dan terus berlari ke arah gerbang depan. Ratri melongo sejenak, lalu tertawa kecil.