Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
12. INT. RUANG VOLUNTER YAYASAN “SATU ATAP” — SIANG
Luna duduk di depan meja pantri, handuk besar melingkupi badannya. Dia masih mengenakan seragamnya yang basah, rambutnya juga masih agak basah. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dalam diam, lalu menatap Eden yang sedang memanaskan air di depannya. Tidak lama kemudian, Eden berbalik dan meletakkan secangkir cokelat hangat di atas meja di depan Luna.
Luna menarik cangkir dari Eden mendekat, menatap cokelat hangat di dalamnya untuk menghindari tatapan Eden. Eden diam sejenak, lalu berjalan meninggalkan meja pantri.
Luna buru-buru berdiri, lalu tidak sengaja menjatuhkan ransel yang dipangkunya ke lantai. Seragam olahraga yang dia letakkan di atas ranselnya terjatuh juga, dan Eden pun melihat tulisan “Lunatic” yang dicoretkan pada bagian punggungnya. Keduanya terdiam sejenak, tapi saat Eden berniat mengambil seragam Luna dari lantai, Luna menyambarnya duluan. Luna melipat seragam olahraganya supaya tulisannya tidak kelihatan dari luar.
Luna tidak menjawab. Dia hanya menunduk, meremas kaus olahraga di tangannya.
Luna mengambil ranselnya dari lantai dan memanggulnya di bahu, lalu menatap Eden.
Eden berniat mengucapkan sesuatu, tapi Luna lebih dulu berlari melewatinya, keluar dari ruangan.
13. INT. KAMAR LUNA — MALAM
Hujan sudah tinggal gerimis setelah seharian turun. Luna duduk di depan meja belajarnya, mencoret-coret buku sketsa dengan pensil. Earphone terpasang pada kedua telinganya, mengalunkan instrumental piano dalam volume pelan.
Luna lalu meletakkan pensilnya, selesai menggambar sketsa secangkir minuman cokelat. Dia menghabiskan beberapa saat memandangi gambarnya sebelum menatap tangan kanannya, mengingat saat Eden sempat memegang tangannya tadi siang. Luna mulai melamun, lalu terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Luna melepas earphone dari telinganya.
Luna berdiri dengan sedikit enggan, menghampiri pintu kamarnya dan membukanya. ENGGAR, ayah angkat Luna, tersenyum menyapanya. Luna membuka pintunya lebih lebar dan mundur, mempersilakan Enggar masuk.
Luna menggeleng. Enggar tampak lega.
Enggar mengangguk, tapi Luna bisa mendengarnya menggumam kecewa di dalam hati. Luna diam saja.
Luna mengangguk, dan Enggar mengangguk lagi. Suasana menjadi lebih canggung.
Enggar keluar dari kamar Luna, tapi baru selangkah melewati ambang pintu, Enggar berbalik lagi. Luna tidak jadi menutup pintu. Keduanya berpandangan dalam diam selama sesaat.
Luna hanya mengangguk, dan Enggar menepuk pundak Luna lalu berbalik dan meninggalkan kamar Luna. Luna menutup pintu, kembali duduk di depan meja belajarnya. Dia menaikkan kedua lututnya ke atas kursi dan memeluknya, lalu meraih bingkai foto yang terletak di sudut meja. Foto Luna kecil bersama kedua orang tuanya.
14. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — SENJA (FLASHBACK)
Luna kecil, 10 tahun, duduk di atas ranjang rumah sakit dengan mengenakan gaun pasien. Selang infus terpasang pada punggung tangan kirinya. Perban melilit pada dahi, lengan serta kaki kanannya. Ranjang yang lain kosong. Enggar duduk di kursi di sebelah ranjang Luna, wajahnya tampak kusut dan sedih.
Enggar beringsut mendekat ke ranjang, lalu menggenggam tangan Luna kecil.
15. INT. KAMAR LUNA — MALAM (MASA SEKARANG)
Luna meletakkan kembali bingkai foto di tangannya ke tempatnya semula di ujung meja. Dia menatap sketsa secangkir cokelat pada bukunya, lalu menoleh ke arah jendela. Hujan sudah berhenti, dan bulan purnama balas menatap Luna dari langit malam.