Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah sekitar dua minggu sejak kejadian kelam yang menimpa Fajar. Laki-laki itu masih setia menutup mata, enggan melihat siapa yang selalu menemaninya. Senja sudah empat kali pulang ke Bandung, berharap jika ia kembali ke Bali, Fajar sudah duduk dan tersenyum ke arahnya. Namun, semua itu hanyalah harapan yang tidak pernah terwujud. Karena, setiap kali ia kembali, Fajar masih di posisi yang sama, dengan alat bantu di sekujur tubuhnya.
Clara dan Raya saat ini sedang berada di Bandung, karena, Clara tidak bisa terus menerus izin sekolah. Ia dan Gilang pun mengimbangi antara sekolah dan menjaga Fajar. Untungnya, orang tua Gilang dan Senja tidak keberatan.
Senja memainkan ujung selimut Fajar, "Lo enggak kangen, ya, sama gue? Banyak yang jenguk lo, kemarin Bu Sondang, Bu Ayna, sama Pak Gandhi ke sini. Banyak yang tanya keadaan lo kayak gimana. Apa lo enggak kasihan sama mereka yang mengkhawatirkan lo?"
Tidak ada respons apa pun dari Fajar. Senja melanjutkan ucapannya, "Gue kangen banget sama lo. Lo enggak mau maskeran sama gue dan Clara? Adik sama Mama lo masih butuh lo, Jar. Gue berusaha buat nguatin mereka. Gilang bilang, selama ini hanya lo yang kuat. Mama sama Adik lo rapuh. Gue tahu."
Gilang memasuki kamar rawat inap Fajar, laki-laki itu berdiri di sebelah Senja. "Halo, Jar. Gue jagain Senja, kok. Gue juga jaga Tante Raya sama Clara. Lo buruan sadar, Jar. Gue capek kalau jaga mereka sendirian." Gilang berkata sambil tertawa lirih.
"Gue... Gue kangen sama lo. Lo masih punya janji bakal sunmori bareng. Gue harap, lo masih ingat itu."
Senja meneteskan air mata, tak kuasa menahan perih yang ada di matanya. "Lihat, kan? Masih banyak yang butuh lo. Masih banyak yang sayang sama lo. Apa lo enggak kasihan sama kita?"
Gilang merangkul bahu Senja, gadis itu memang berusaha tegar, tapi Gilang tahu, di balik itu semua, ada ribuan air mata yang ia tahan. "Kasihan Clara sama Senja, Jar. Lo harus bertahan, ya?"
Tidak ada respons apa pun, Fajar terlihat damai dalam tidurnya. Melihat Fajar tidak memiliki kemajuan, membuat Senja menangis lagi. Perempuan itu kemudian memilih keluar dari kamar, tidak ingin menangis di depan orang dia cintai. Gilang menyusul, meninggalkan Fajar sebentar.
"Nja," panggil Gilang lirih.
"Gue pengin nangis, gue enggak bisa sok tegar," kata Senja, ia bersandar pada tembok rumah sakit.
Gilang mengangguk, "Lo boleh nangis."
Saat tiu juga, air mata Senja turun dengan isakan yang terdengar seperti beban. "Gue enggak tahu harus nyalahin siapa. Steffi?"
"Udah. Ini garis takdir, kan?"
Senja mengangguk lemah, "Mungkin, kalau gue enggak jatuh cinta sama dia, dan dia enggak jatuh cinta sama gue, kita enggak bakal merasa sedih gini. Fajar juga enggak perlu kesakitan."
"Udah, Nja. Kalau lo terus menyalahkan diri lo sendiri, itu sama aja bikin Fajar sedih. Mending lo sholat isya' dulu sana, besok, kan, kita balik ke Bandung, lo berdoa supaya pas kita balik ke sini, Fajar udah siuman."
"Iya."
...
Esoknya, Senja dan Gilang berpamitan kepada Raya yang akan bergantian menjaga Fajar. Clara tetap di Bandung karena gadis itu sedang ada ujian.
"Tante titip Clara, ya, Lang."
Gilang mengangguk, "Siap, Tan."
Mereka berdua akhirnya pergi menuju mobil Raya, sengaja di pakai supaya lebih hemat biaya. Gilang bergantian mengendarai mobil dengan supir yang di bawa Raya. Berbeda dengan Senja yang memilih tertidur.
Butuh waktu sekitar 17 jam untuk sampai di Bandung. Sangat melelahkan memang. Namun, Gilang dan Senja menjalaninya dengan ikhlas. Mereka sampai di depan rumah Senja pukul satu dini hari, besok Senja dan Fajar harus sekolah.
Senja cukup semangat walaupun tidak ada Fajar.
...
"Senja? Gimana Fajar?" tanya Davina begitu Senja sampai di kelas.
"Enggak ada perubahan."
Davina tersenyum kecut, "Berdoanya harus tambah kenceng. Kita sama-sama berdoa buat Fajar."
"Hm. By the way, Steffi belum kelihatan?"
"Kemarin ketemu gue di kantin, pas gue sama Reta. Tapi, dia kayak menghindar gitu."
"Gue coba datang ke kelasnya, ya."
Davina menahan lengan Senja, "Mau ngapain?"
"Cuma bilang ini bukan salah dia."
"Oh, oke."
Senja berjalan ke arah kelas 11IPA-5, di sana belum terlalu banyak yang hadir. Namun, Senja menemukan Steffi tengah membaca buku tebal.
"Steff," panggil Senja.
Steffi terlonjak kaget, "Senja? Kenapa?"
Senja duduk di sebelah Steffi, "Gue takut disalahkan dalam hal ini, kan?"
Awalnya Steffi tidak mengaku, namun akhirnya ia mengangguk samar.
"Gue awalnya emang kesal sama lo. Lo yang bikin Fajar narik lo keluar. Tapi, gue sadar, ini emang udah rencana Tuhan. Dan, kita enggak ada yang tahu. Kita juga enggak bisa komplain."
"Iya. Gue merasa bersalah."
"Mungkin, lo bisa merubah sikap lo jadi lebih baik."
Steffi mengangguk, "Iya."
Senja pamit untuk kembali ke kelasnya. Tapi, tiba-tiba Gilang datang dengan keringat yang bercucuran, membasahi seragam.
"Kenapa?" tanya Senja panik.
"Fajar meninggal!"
Lutut Senja lemas, ia mengerjapkan mata berkali-kali. Berharap Gilang adalah halusinasinya saja. Namun, Fajar masih berdiri di sana, dengan tangan yang gemetar. "Lo serius?"
Kemudian Davina datang dari arah belakang Gilang, ia memeluk Senja erat. "Lo harus kuat!"
"Ayo ke Bali, naik pesawat!" Senja berkata keras, tangisnya pecah.
Gilang menggeleng, "Enggak, Nja. Kita tunggu di Bandung. Mending sekarang kita ke rumahnya Fajar, Clara pasti kaget."
Benar juga. Senja mengangguk, kemudian Gilang, Davina, dan Steffi berlari ke arah parkiran untuk menuju ke rumah Fajar menggunakan mobil Steffi.
Steffi mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, ia seperti orang kesetanan.
"Steff! Pelan-pelan!"
Perempuan itu tidak mendengar, ia membelokkan mobil di perkarangan rumah Fajar. Saat Senja turun, Clara langsung memeluknya. "Kak Senjaaaa!!! Abang, Kak!"
"Iya iya, Clara harus sabar, ya. Harus kuat."
Tangisan Clara semakin menjadi, gadis itu sudah sangat pucat dengan seragam sekolahnya. "Abang udah meninggal, siapa yang jagain Rara sama Mama?"
Gilang memeluk Clara, "Ayo, Ra. Masuk dulu."
Mereka masuk ke rumah Fajar yang sudah ramai dengan saudara-saudara Fajar. Butuh waktu seharian untuk menunggu jenazah Fajar. Senja masih terus menangis, Clara berkali-kali pingsan.
"Nja, lo jangan nangis terus, kasihan Clara yang lihat lo," bisik Davina.
Namun, Senja tak kunjung menghentikan tangisannya. Ia merasa dunia nya hancur.
...
Usai pemakaman, Senja dan teman-temannya berkumpul di rumah Fajar.
"Senja," panggil Raya. Perempuan itu kemudian duduk di samping Senja.
"Iya, Tante?"
Raya memberikan kamera Fajar kepada Senja, "Ini. Buat kamu."
"Maksudnya?"
"Sebenarnya, Fajar sempat siuman. Dia bilang, kalau kameranya harus ada di tangan Senja. Dia menyampaikan beberapa kata untuk Senja dan Gilang. Tante mencoba untuk menuliskan apa yang dia bilang. Ini kamu baca, ya." Raya memberikan secarik kertas putih.
"Jadi, Fajar sempat siuman, Tante?"
Raya mengangguk, "Dia pamitan sama Tante. Dia bilang, kita semua yang di tinggalkan harus ikhlas."
Senja mengingat bagaimana muka pucat dan tubuh kaku yang tadi ia lihat sebentar. Ia menangis, perlahan membuka surat yang di berikan Fajar.
Halo, Senja, Gilang, dan semuanya.
Maaf, gue gak bisa nulis surat satu-satu buat kalian. Gue gak tau kalau saat itu adalah pertemuan terakhir kita.
Untuk Gilang, gue berterimakasih banget sama lo. Gue harap lo enggak capek jagain Mama sama Clara, ya. Mereka orang yang paling gue sayang.
Buat Senja, gue sayang banget sama lo. Gue kangen sama lo, gue pengin lihat sunset sama lo lagi, gue pengin maskeran bareng lo. Makasih udah mewarnai sisa hidup gue. Gue senang karena sampai gue meninggal pun, nama lo yang terukir di hati gue. Lo harus cari cowok yang lebih baik. Yang agama nya baik. Yang semua-muanya baik. Gue cinta sama lo.
Buat Davina, Steffi, dan semua teman-teman gue, gue bangga sama kalian. Steffi, lo jangan menyalahkan diri lo sendiri. Davina, gue minta lo jagain Senja. Jangan sampai dia disakitin sama cowok.
Maaf gue harus pamit duluan. Gue sayang sama kalian semua.
Tak terasa air mata Senja mengalir. Ia memeluk Raya yang juga menangis.
"Terima kasih, Tante."
Ini adalah tentang Senja yang tidak mengharapkan Fajar, tapi dia mendapatkannya.
Ini adalah tentang Fajar yang tidak akan pernah bisa bertemu dan bersatu dengan Senja.
...