Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bali memang salah satu destinasi wisata yang harus di kunjungi. Banyak sekali budaya-budaya Bali yang bisa dijadikan sarana pembelajaran.
Kelompok Senja baru saja selesai mewawancarai seorang narasumber yang bisa di katakan ahli dalam menari. Gadis-gadis Bali memang banyak sekali yang pandai dalam hal menari, apalagi paras mereka juga sangat indah.
"Keren, ya. Gue jadi pengin tingal di sini," ucap Steffi.
"Idih, emang lo cantik alami?" tanya Gilang mewakili Davina.
Steffi membuang muka dari Gilang, gadis itu kemudian berjalan di kanan Fajar. Membuat Senja yang ada di belakangnya merasa risi.
"Eh, woi! Ngapain lo dekat-dekat Fajar? Minggir enggak lo?!"
"Apa, sih. Dari tadi sewot mulu. Iri bilang!"
Gilang berdecih, "Gila kali gue iri sama lo!"
"Udah woi! Malu di kota orang."
Gilang melotot ke arah Steffi. Gadis itu malah tertawa.
"Lihat, kan, Fajar nya aja kayak males gitu sama Steffi," bisik Davina kepada Senja.
Senja berdehem sebagai jawaban. Perempuan itu sebenarnya malas bila harus melihat pemandangan di depannya. Mau mengajak Davina berjalan lebih cepat, tapi ia takut kalau Fajar malah mengira dirinya marah. Hal itu jelas tidak baik untuk hubungan mereka.
"Habis ini kita bebas, kan? Ke pantai, yuk?" ajak Vega.
Semuanya mengangguk setuju. Tapi, sebelum itu mereka akan izin kepada Bu Sondang. Takutnya kalau tidak izin, Bu Sondang akan marah.
"Gue aja yang izin, kalian tunggu di sini aja," kata Rian.
"Oke."
Menunggu Rian yang berjalan ke arah hotel untuk meminta izin kepada Bu Sondang, Senja dan Davina memilih mengabadikan momen itu. Untung saja Gilang bersedia memotret mereka.
"Senja, nih, definisi cantik tanpa filter," ucap Gilang sengaja di keraskan supaya Fajar mendengar.
"Gue juga suka kali foto pakai filter." Senja melihat hasil jepretan Gilang. Sempurna. Ia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Tak lama, Rian kembali dan berkata bahwa mereka boleh jalan-jalan.
"Ini enggak jauh, kan, ya?" tanya Steffi.
Abi menggeleng, "Dekat."
Mereka berjalan dengan santai, cuaca kota Bali yang panas namun sejuk tidak menghentikan langkah mereka sampai mereka tiba di bibir pantai.
"Cantik banget," ujar Davina.
"Ayo foto, rugi kalau enggak ada kenang-kenangan."
Abi dan Gilang mengangguk setuju. Mereka akhirnya mencari posisi supaya hasil fotonya terlihat memuaskan. Kamera DSLR milik Fajar siap mengabadikan setiap momen.
"Eh, gue mau dekat sama Fajar. Abi lo di sebelah Senja aja," kata Steffi kepada Abi yang berdiri di kanan Fajar.
Senja hanya memutar bola mata malas.
"Buruan, kek, ribet banget lo mau foto aja," omel Davina kesal.
"Ya terserah gue, lah. Lagian Fajar juga enggak nolak, kok."
Benar, Fajar memang tidak menolak, ia hanya pasrah. "Udah, ayo buruan. Panas."
Mereka mengambil beberapa kali jepretan. Setelahnya, mereka menikmati waktu yang tersisa dengan menikmati es degan. Menyegarkan.
"Oh iya, kita balik besok pagi, kan? Ada acara mampir ke pusat oleh-oleh, enggak?" tanya Vega.
"Kayanya ada, sih," jawab Davina sambil menikmati es degannya.
Steffi yang baru saja datang dari toilet, duduk di sebelah Senja. Membuat Fajar melirik gadisnya yang sudah bukan lagi miliknya.
"Jar, mau foto bareng gue, enggak?" tawar Steffi.
"Kan tadi udah."
Davina menahan untuk tidak tertawa, "Lo ngapain, sih, ngebet banget sama Fajar?"
"Gue, kan, udah bilang, suka-suka gue. Ngapain lo yang repot?"
"Wajar, lah. Kita di sini, tuh, yang lihat risih! Tahu diri kek."
"Udah, Dav. Lo kalau berantem sama dia enggak akan ada habisnya," kata Senja pelan.
"Jalan-jalan aja, yuk, Nja? Panas di sini."
Senja mengangguk. Ia sendiri juga ingin pergi dari sana. Melihat Fajar yang merasa bersalah juga menganggu pikirannya.
"Eh, mau ke mana?" tanya Gilang saat Davina hendak berdiri.
"Mau cari angin."
"Duluan, ya, semua. Nanti kalau kita belum balik, kalian duluan aja ke hotel," kata Senja.
"Hati-hati," balas Fajar.
Senja mengangguk dan melangkah menuju bibir pantai.
"Indah banget, Nja. Kalau gue tinggal di sini pasti bisa ke sini tiap hari," ujar Davina.
"Ya udah, di sini aja enggak usah pulang," kata Senja sambil tertawa kecil.
Davina duduk di tepi pantai, diikuti Senja yang melepas sepatunya untuk dijadikan alas duduk. "Gue suka banget kalau ke pantai. Apalagi pas sunset."
"Sama. Denger suara ombak bikin hati gue adem."
Suara langkah kaki membuat kedua gadis SMA itu menoleh. Fajar melangkah bersama Gilang menuju Senja dan Davina. Kedua laki-laki itu kemudian duduk.
"Kok ke sini?" tanya Davina.
Fajar berdehem, "Gue juga risih di sana, hehe."
"Emang Steffi enggak minta ikut ke sini?"
"Enggak, dia anteng sama es krimnya."
Senja hanya diam, ia tidak tahu harus bagaimana.
"Sini, yuk, foto berempat," ajak Gilang.
Senja berada di sebelah Fajar, laki-laki itu merangkul bahu Senja. Senyuman yang terlukis di bibir Senja membuat Fajar senang. Sudah lama sekali ia tidak melihat senyum itu.
"Tenang aja, Nja. Fajar udah enggak suka sama Steffi, kok," ujar Gilang memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Dia masih suka sama lo."
"Enggak apa-apa, kok. Mau dia suka sama Steffi atau cewek lain, emang gue punya hak?"
Fajar tersenyum, "Gue yang punya hak atas itu. Dan, gue bakal berusaha buat enggak suka sama siapa-siapa lagi."
"Kok gitu? Terus lo nikah sama siapa?" tanya Senja.
"Gue enggak mau memaksakan diri, gue bakal tunggu siapa jodoh gue."
Davina mengangguk setuju, "Mantap. Tapi ya, lo jangan nungguin juga. Nanti enggak ada yang datang. Kasihan, deh."
Fajar tertawa, "Iya, Vin. Gue juga terus berdoa, kok."
"Mending gue, nih, jomlo tapi bahagia!" ujar Gilang.
Davina berdecih, "Itu bukannya emang karena enggak ada cewek yang mau sama lo?"
"Idih! Banyak kali cewek yang mau sama gue. Lo enggak lihat adik kelas itu? Dia setiap hari ngechat gue."
"Chat setiap hari juga belum tentu suka!"
"Kenapa kalian enggak jadian aja, sih?" ucap Senja membuat Gilang melotot kaget.
"Lo ngeship gue sama Davina beneran?"
Senja mengangguk.
"Jangan harap, Nja! Davina bukan tipe gue!"
"Emang lo tipe gue juga?! Enggak!"
Fajar tertawa, melihat sahabatnya beradu mulut dengan seorang perempuan adalah sesuatu hal yang jarang. "Tapi, emang, sih, kalian ada cocok-cocoknya gitu."
"Ih! Mending-mending Mas Arya!"
"Siapa, tuh?" tanya Gilang.
"Sepupunya Senja yang waktu itu ngobrol sama kita."
Gilang mencoba mengingat, "Enggak tahu, gue lupa."
"Dasar pikun!"
Mereka semua tertawa, meninggalkan kenangan indah yang akan selalu mereka ingat. Keempatnya duduk di tepi pantai sampai matahari tenggelam. Senja yang indah.
"Cantik banget, ya, sunset nya," ujar Fajar kepada Senja.
Cantik, seperti gadis yang berada di sebelahnya.
...