Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dua hari setelah kematian Arini, akhirnya Senja kembali masuk sekolah. Untungnya, Senja tidak lagi merasa sedih. Kemarin Fajar datang lagi ke rumahnya. Saat itu dia berkata, 'Lo boleh sedih, tapi enggak boleh berlarut-larut. Kasihan Nenek lo.' Kalimat itu membuat Senja merasa damai. Beberapa kali ia juga mengatakan hal yang sama kepada Ayunda, sekedar menenangkan Ayunda yang masih belum ikhlas.
Hari ini ia pergi ke sekolah lebih awal karena ingin mencatat beberapa materi yang tertinggal. Bersama Davina, ia mencatat seluruh materi selama dua hari kemarin.
"Ini tugas?"
Davina mendekatkan kepalanya, "Iya, catet aja. Siapa tahu nanti lo butuh."
"Oke."
Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk Senja menyelesaikan tugasnya. Ia kemudian merenggangkan tangannya yang terasa lelah. Beberapa kali menggerak-nggerakkan tangannya.
"Omong-omong, yang kemarin duduk sama kita itu siapa?" tanya Davina.
"Siapa? Kan kemarin ramai."
"Yang pakai baju coklat kalau enggak salah."
Senja berpikir, pikirannya langsung tertuju kepada Arya. Karena, yang ia ingat Arya memakai baju coklat. "Arya?"
"Enggak tahu, gue enggak tahu namanya."
Senja mengeluarkan ponselnya, mencari kontak Arya dan menunjukkan profilnya. "Ini?"
Davina memperhatikan ponsel Senja, kemudian mengangguk, "Ganteng banget, manis kayak gue."
Senja mencibir, menarik kembali ponselnya.
"Sumpah, kayak calon imam gue gitu."
"Astaghfirullah, sana memantaskan diri buat sepupu gue, hahaha!"
Davina berdecak, kemudian ikut tertawa. Gadis itu kemudian memasukkan buku tulisnya ke dalam tas karena jam pertama adalah olahraga. "Oh iya, lo belum tanya ke Fajar?"
Senja menggeleng, "Belum, nanti kali, ya?"
"Terserah lo, yang penting lo tanya ke dia."
Beberapa menit kemudian, jam pelajaran pertama berbunyi, karena sudah memakai pakaian olahraga, Senja dan Davina langsung menuju ke lapangan. Untungnya, matahari belum terlalu terik, membuat siswa kelas 1IPA-3 bersemangat.
"Eh, gue enggak bawa jaket olahraga, gimana, dong?" tanya Senja takut.
"Enggak masalah, kok. Lagian temen-temen yang lain juga kadang enggak di pake."
Akhirnya, karena tidak membawa jaket olahraga, gadis itu tidak berani banyak bergerak. Takut kalau berkeringat dan kaus nya menjadi tembus pandang.
"Untung hari ini cuma materi, jadi enggak banyak gerak," kata Davina membuat Senja mengangguk setuju.
Teman-teman Senja hanya duduk di bawah pohon rindang sambil mendengarkan Pak Rifai menjelaskan materi tentang bola besar. Lapangan yang hanya dikuasai oleh mereka membuat keadaan hening karena tidak ada yang bersuara selain Pak Rifai.
Beberapa saat kemudian, Pak Rifai selesai menjelaskan materi dan kelas 11IPA-3 di bebaskan untuk bermain apa saja. Davina yang tidak tertarik dengan olahraga meminta Senja untuk menemaninya ke kantin. Awalnya, Senja ingin menolak karena tidak enak dengan teman-teman yang lain, namun, Davina berhasil meyakinkan Senja bahwa itu baik-baik saja.
Kantin masih sepi, mereka segera memesan makanan dan duduk. Kaus putih Davina terlihat kotor karena tadi gadis itu sempat bersandar ke batang pohon yang sedikit basah oleh tanah. "Kaus gue kelihatan kotor banget, Nja?" tanyanya.
Senja menggeleng, "Enggak terlalu kalau dari jauh."
"Oke." Davina mengambil sendok dan memakan rujaknya. Berbeda dengan Senja yang mengambil garpu untuk menyantap mie ayamnya.
"Masa' nilai gue di materi basket dapet C," ucap Davina.
"Iya? Kok lo tahu?"
"Gue tadi lihat, hehe."
"Gue berapa, ya? Kemarin lo tau sendiri waktu penilaian, satu pun bola enggak masuk ke ring."
Davina tertawa, "Minta ajarin Fajar aja. Kan dia jago."
"Iya juga, ya. Ah, tapi malu."
"Idih, sok malu lo!"
"Hahaha, kalem sis." Senja menjeda ucapannya. "Gue nanti pulang sekolah mau tanya Fajar. Tapi, gue takut."
"Why?"
"Gue terlalu kekanakan, ya? Masa' masalah solat di mana perlu gue tanyain?"
"Aduh, gini, lo tanya gitu menurut gue enggak salah. Kenapa? Karena lo pengin punya pacar yang taat agama, yang baik, yang enggak kasar sama cewek, dan lo ingin memastikan itu. Hal kayak gitu menurut gue wajar banget." Davina meletakkan sendoknya, "Gue juga mau punya pacar alim, pinter, bertanggung jawab, dan untuk membuktikan itu semua, lo harus tanya ke Fajar. Kenapa lo harus tanya? Karena, lo enggak pernah lihat Fajar solat."
Senja mengangguk, memahami.
"Daripada kita menduga-duga, lebih baik tanyain langsung. Itu kan kata lo kemarin?"
Senja kembali mengangguk, menyeruput es teh manisnya. Baiklah, ia akan bertanya kepada Fajar nanti sepulang sekolah,
,,,
Fajar sedang menunggu Senja di parkiran. Gilang sudah lebih dulu pulang karena harus mengerjakan beberapa hal. Sekitar lima menit kemudian, Senja datang dengan tas sekolah yang hanya di gendong di pundak kanannya.
"Halo, maaf lama," ucap Senja tak enak.
Fajar mengangguk, "Enggak apa-apa. Mau langsung pulang?"
"Ke kedai es krim dulu, yuk?" tawar Senja, tak enak jika harus menanyakan suatu hal di perjalanan.
"Oke."
Karena Fajar sudah menyetujui tawaran Senja, akhirnya mereka menuju kedai es krim yang dekat dengan rumah Senja.
"Mau rasa apa?"
Senja berpikir, "Coklat aja."
Fajar mengangguk dan menyebutkan pesanannya. "Tumben ngajak ke sini dulu? Ada apa?"
"Gue mau tanya. Tapi lo jangan tersinggung, ya. Atau jangan berpikir kalau gue kekanakan karena tanya ini."
"Iya, kenapa?"
"Maaf sebelumnya, tapi gue enggak pernah lihat lo solat kalau di sekolah. Lo solat di mana?"
Pertanyaan Senja membuat Fajar diam mematung. Rasanya seperti ada petir yang melukai dirinya. Ia pasti akan mengakui kepada Senja tentang itu, tapi apa harus sekarang?
"Fa...jar?"
Fajar tersadar dari lamunannya.
"Kok bengong, sih?"
"Ah, enggak, kok. Anu sebenarnya gue mau kasih tahu lo tentang suatu hal."
"Apa?"
Fajar masih berpikir, ia tidak siap jika harus mengatakannya sekarang. Tapi, melihat Senja medesaknya, akhirnya ia mencoba berani. "Lo inget, kan, soal gue yang enggak mau ngajak lo pacaran dulu?"
"Iya, karena, lo pengin ketemu nyokap gue, kan?"
Fajar mengangguk, "Tapi, ada alasan yang lebih penting."
"Apa?"
"Gue minta maaf sebelumnya."
"Lo kenapa, sih? Kayak mau nangis gitu, hahaha."
Fajar menarik napas dalam, "Gue... beda agama sama lo."
Tawa Senja lenyap, berganti dengan ekspresi bingung dan terkejut. "Maksud lo?"
"I-iya. Selama ini gue non muslim."
Senja sangat terkejut. Sangat. Apakah ketika dia mulai menerima Fajar, lalu sebuah kenyataan muncul, itu artinya Fajar memang bukan untuknya?
"Maaf kalau gue enggak bilang soal ini sama lo. Gue bingung, gue udah suka sama lo."
"Lo... salah."
Fajar terkesiap mendengar nada bicara Senja yang bergetar.
"Lo salah! Harusnya lo bilang dari dulu. Kalau lo bilang dari dulu, rasa suka gue ke lo enggak bakal se dalam ini, dan kita enggak akan sejauh ini!"
Senja menangis. Baru saja air matanya mengering, kini kembali basah kembali.
"Gue minta maaf."
"Lo pikir kita bakal baik-baik aja dengan permintaan maaf lo itu?"
Fajar tidak tega melihat Senja menangis. Baru kali ini seorang gadis menangis karenanya.
"Maaf."
...