Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja dan Fajar duduk di salah satu bangku yang ada di lorong sekolah, entah bagaimana bisa mereka mulai dekat.
Beberapa siswa-siswi yang lewat di depan mereka terlihat tidak percaya bahwa Fajar sedang duduk bersama seorang siswi. Pasalnya, laki-laki itu jarang sekali terlihat bucin di sekolah.
"Kenapa, ya?" tanya Senja memandang ke kanan dan kiri.
"Kenapa apanya?"
"Mereka pada ngelihat ke sini."
Fajar berdehem, "Mungkin mereka enggak nyangka gue duduk sama cewek jelek."
Senja menoleh ke samping, tidak ada perempuan selain dirinya. "Siapa yang jelek?"
"Lo."
"Ih!"
"Bercanda, hehe. Lo mah di lihat dari mana pun tetep cakep. Kayak gue."
"Dih, pede banget lo."
Tak lama kemudian, Davina dan Gilang datang dari arah perpustakaan. Suara cempreng mereka terdengar walaupun dari kejauhan.
"Widih, duduk berdua aja, bos?" Gilang duduk di sebelah Fajar.
"Lo ganggu banget, sih," sungut Fajar kesal. Padahal ia dan Senja belum lama menikmati waktu berdua.
Davina tertawa, "Kalau mau pacaran mah jangan di lorong."
"Siapa yang pacaran, sih,?" Senja bertanya malu, pipinya mulai memanas.
Fajar hanya tertawa lirih, ia melirik Senja yang sedang membuka buku bersama Davina. "Pulang bareng, mau?"
Senja sejenak berpikir, mempertimbangkan tawaran Fajar. "Boleh, deh."
"Okey."
...
Duduk semobil dengan laki-laki membuat Senja sedikit gugup, tadi Fajar mengajaknya untuk menjemput Clara. Katanya, gadis SMP itu ingin melihat wajah Senja. Membuat Senja tersenyum malu.
Beberapa menit setelahnya, mereka sampai di depan sekolah negeri yang bisa di bilang mewah.
"Tunggu sini atau mau ikut masuk?" tawar Fajar.
"Sini aja."
Fajar mengangguk, ia kemudian masuk ke dalam sekolah. Senja menunggu sambil bermain ponsel. Biasanya, jika jam segini belum pulang, Mamanya akan menghubungi, menanyakan di mana posisi Senja. Namun, akibat masalah kemarin ia dan Mamanya tidak berkomunikasi.
Pandangan Senja tertuju kepada Fajar dan satu gadis remaja di sebelahnya. Terlihat sangat cantik dengan kulit putih dan balutan hoodie pink pastel. Senja tersenyum kepadanya, melambaikan tangan.
"Kak Senja, ya?" tanya nya.
Senja mengangguk, "Iya. Cantik banget kamu, hehe."
"Kakak juga cantik. Pantesan Bang Fajar suka."
"Hahaha, bisa aja kamu." Senja terlihat biasa aja, walaupun di dalam hati terasa sangat menggelikan.
"Ya udah, ayo gue anter pulang," kata Fajar kepada Senja.
Senja mengangguk, Clara memilih duduk di jok tengah. Ia tersenyum melihat Fajar dengan Senja, seperti ada rasa bahagia yang hadir ke dalam kehidupan Abangnya, lagi.
"Kamu kelas berapa?" tanya Senja kepada Clara.
"Kelas delapan, Kak. Masih bocil, hehe."
"Tapi kamu beneran cantik banget, deh, kayak dewasa banget gitu," ucap Senja membuat Clara tersenyum lebar.
"Kata Abang muka ku ini boros, jadi kayak anak kuliahan."
Fajar tertawa, "Emang iya, kamu tuh dewasa sebelum waktunya! Hahahaha!"
"Daripada Abang, mukanya suka berminyak!"
Senja tertawa tertahan, memang benar, kadang ia melihat kulit wajah Fajar berminyak. Tapi, itu manusiawi. "Pakai skincare coba, Jar."
"Udah, Nja. Kadang gue maskeran bareng sama Clara."
"Bang Fajar kalau maskeran suka ngakak tiba-tiba, jadi maskernya retak-retak."
Senja tertawa, "Enggak niat banget, ya? Lain kali gue mau ikutan maskeran bareng dong."
"Boleh, kapan?"
"Kalau kita sama-sama longgar aja," kata Senja.
Fajar mengangguk, senang.
...
Beberapa hari setelah agenda pulang bareng dengan Fajar, Senja jadi semakin sering berangkat dan pulang bersama. Untungnya, Ibunya tidak mempersalahkannya.
"Yang penting dia soleh, Mama baru tenang."
"Insyaallah dia soleh, kok, Ma."
Dua hari lalu, Ayunda meminta maaf kepada Senja. Sebenarnya, Senja sudah baik-baik saja, jauh sebelum Ibunya meminta maaf. Hanya saja, ia menunggu permintaan maaf dari Ibunya, bagaimana pun apa yang telah di buang oleh Ayunda adalah sesuatu yang berharga baginya.
"Ya udah. Jangan melewati batas, ya."
Senja mengangguk dan berjalan keluar rumah. Karena hari ini hari minggu, ia dan Fajar berencana lari pagi di sekitar alun-alun.
Fajar sudah menunggu dengan pakaian olahraga dan sepeda gunungnya, begitu pun dengan Senja. Mereka bersama-sama bersepeda menuju alun-alun, mereka sempat beberapa kali tertawa, membuat pesepeda lain menatap iri.
"Lo kuat nanti pulangnya?" tanya Fajar.
"Kuat, kok, sebelumnya udah sering sepedaan."
Sesampainya mereka di alun-alun, mereka langsung jogging, sesekali Senja meminum air putihnya karena merasa haus.
"Belum ada sinar matahari, ya?"
Fajar mengangguk, "Agak mendung. Lumayan, enggak panas-panas banget."
Beberapa penjual sarapan terlihat ramai oleh masyarakat Bandung yang ingin sarapan pagi. Cuacanya sedikit dingin karena tidak ada sinar dan panas matahari. Senja melihat seorang laki-laki yang sedang mencari nafkah dengan menjual balon-balon lucu berbeda bentuk kepada anak-anak.
"Kenapa, Nja? Jangan bilang lo mau balon?"
Senja menggeleng, "Enggak, kok, gue cuma kasihan aja sama penjual gitu. Untungnya berapa coba?"
"Rezeki udah ada yang ngatur, 'kan?"
Senja mengiyakan, memang benar. Tapi tetap saja rasanya iba saat melihat penjual balon itu.
"Mau sarapan?"
"Mau, pecel, ya?"
Fajar mengangguk setuju, mereka berjalan ke arah seorang penjual pecel yang terlihat sedap karena menggunakan daun pisang.
"Teh hangat nya dua, Bu," kata Senja.
"Pecelnya juga dua, Bu. Yang satu sambalnya banyakin, ya."
"Siap!"
Senja dan Fajar duduk di bawah pohon besar, terasa rindang.
"Lo suka pedes?"
Fajar mengangguk, "Suka banget."
"Tumben lo enggak ngajak Gilang? Kasihan tuh cowok, kelihatan ngenes."
"Dia mah tabah, hahaha."
"Gue suka, deh, sama pertemanan kalian."
"Kenapa?" tanya Fajar heran.
Senja menarik napas, "Kelihatan real banget. Kalian melindungi satu sama lain."
"Gilang udah gue anggep kayak adik gue sendiri. Dari dulu, dia enggak kayak orang lain yang mau main sama gue karena gue orang berada." Fajar mencari posisi duduk yang nyaman supaya bisa berhadapan dengan Senja. "Dia... Saksi gimana kerasnya bokap gue dulu."
"Sorry, tapi bokap lo kenapa?"
"Dia kecanduan narkoba, sampai judi dan hutang-hutangnya numpuk. Terus keluarga gue sempet bangkrut, dan Gilang doang yang tetep di samping gue."
"Terus keluarga lo bangkit lagi?"
Fajar mengangguk, "Setelah Mama milih buat cerai sama Papa, Mama mulai merintis bisnis kecil-kecilan. Sampai jadi sukses kayak sekarang."
"Hebat ya Mama lo."
"Banget, sosok yang selalu gue banggain ke temen-temen gue."
"Maaf, nih, jadi bahas masalah keluarga."
Fajar menggeleng, "Enggak apa-apa."
"Papa lo sekarang di mana?"
"Papa pindah-pindah, buat menghindar dari orang bank."
Senja menepuk pundak Fajar dua kali, "Lo harus kuat. Cuma lo yang bisa jagain Mama sama Adik lo."
"Iya, gue selalu berusaha ada buat mereka. Kemarin, Clara sempet ketemu Papa, mau di bawa pergi, untung Clara langsung lari."
"Ya ampun, jadi itu alasannya lo antar jemput Clara?"
"Iya, supaya dia bisa dalam penjagaan gue."
Senja tersenyum, semakin kagum dengan sosok di sampingnya. Membuatnya semakin yakin bahwa ia jatuh cinta dengan orang yang benar.
...