Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Serendipity
Suka
Favorit
Bagikan
19. 19

Steffi memandang wajah Fajar dari samping. Rupanya laki-laki itu sudah semakin dewasa, membuatnya sedikit menyesal karena dulu pernah menolaknya. "Lo udah punya pacar?"

Fajar tersenyum, "Belum, tapi ada satu orang yang spesial di hati gue."

Steffi mengangguk-ngangguk. Setelah kemarin banyak bercerita dengan Fajar, sekarang gadis itu sedang bersama Fajar di perpustakaan. Berdua.

"Lo udah siap buat besok ke Bali?"

Fajar mengangguk. Sikapnya kepada Steffi sudah berbeda dengan dulu, seharusnya Steffi sudah bisa membaca itu. Fajar jadi tidak enak dengan Senja karena masalah kemarin. "Gue ke kelas dulu, ya. Udah mau pulang."

"Yah, ya udah."

Fajar beranjak dari duduknya dan meninggalkan Steffi yang masih nyaman dengan suasana perpustakaan. Di depan ruang guru, Fajar berpapasan dengan Senja. "Hai."

Senja hanya mengangguk.

"Kita satu kelompok, ya?"

Senja mengangguk lagi.

"Ada waktu enggak pulang sekolah? Gue mau ngobrol."

Karena Senja juga tidak betah dengan situasinya sekarang, akhirnya ia menyetujui ajakan Fajar. "Di mana?"

"Cafe samping sekolah aja."

"Oke." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Senja. Gadis itu kemudian berjalan meninggalkan Fajar sendirian.

"Bagaimana pun sikap Senja, tapi perasaan gue ke dia enggak bisa hilang."

...

Hening. Tidak ada yang membuka obrolan antara dua orang yang duduk berhadapan. Yang satu memakan es krim dan yang satunya sibuk menyusun kata.

"Mau ngomong apa?"

"Soal kemarin." Fajar memberanikan diri untuk memperjelas semuanya. "Gue minta maaf. Gue punya alasan kenapa gue enggak bilang dari awal sama lo."

Senja bingung harus merespon bagaimana. Hatinya terbuka untuk memaafkan. Namun, lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata.

"Lo boleh marah ke gue. Tapi, jangan diam. Jangan membuat jarak di antara kita. Gue enggak suka."

"Iya."

"Jadi? Lo mau kita gimana?"

Senja menghela napas sebentar, "Sekuat apa pun kita buat bersatu, kita enggak bakal bisa. Kenapa? Lo tau senja, kan? Bisa lo bayangin, kan, dari nama kita aja kita tau kalau fajar sama senja enggak akan bisa bertemu."

Fajar terdiam, mendengarkan ucapan Senja barusan terasa sangat menyakitkan.

"Senja enggak bisa ketemu fajar karena terhalang malam. Lalu, gue sama lo enggak bisa bersatu karena terhalang keyakinan." Senja menjeda ucapannya. "Gue enggak mau kita jauh, lo tahu gue udah suka sama lo. Jadi, gue berharap kita masih bisa jadi teman."

Fajar tidak menyangka kalau Senja bisa se dewasa ini. "Gue hargai keputusan lo."

Senja tersenyum, "Terima kasih untuk waktu singkatnya."

Andai saja sekarang mereka tidak berada di tempat umum, mungkin Fajar sudah menangis. Persetan dengan kalimat yang menyatakan bahwa laki-laki tidak boleh menangis.

"Gue pulang dulu. Udah enggak ada yang mau dibicarakan, kan?"

Fajar menggeleng, "Enggak. Lo mau gue antar?"

"Enggak perlu, gue bawa motor, masih ada di sekolah."

Fajar melihat Senja keluar dari area Cafe, gadis dengan balutan hoodie putih itu sebenarnya terlihat rapuh. Baru saja kehilangan sang Nenek, sekarang harus kehilangan cintanya.

Fajar kemudian meminta Gilang yang masih ada di sekolah untuk menemaninya menikmati kopi. Tidak mau menghabiskan sore dengan rasa sepi.

"Halo, Bro! Ngapain minta gue datang ke sini?"

Fajar mendesis, "Sini duduk dulu."

Gilang duduk di depan Fajar, ia heran kenapa Fajar belum pulang dan malah duduk sendirian di Cafe. "Kenapa?"

"Gue udah bicara sama Senja."

Pernyataan Fajar membuatnya terkejut, "Kapan?"

"Barusan. Dia bilang, dia tetap mau berteman sama gue."

"Syukur kalau gitu. Setidaknya dia enggak ngejauh dari lo."

Fajar mengangguk, "Gue senang dia dewasa. Gue pikir dia bakal maki-maki gue."

"By the way, kok Steffi bisa, sih, tiba-tiba muncul?"

"Enggak ngerti juga. Pas kita habis dari perpus kemarin, tiba-tiba dia ada di depan pintu. Kan, gue juga kaget."

Gilang terlihat seperti berpikir, "Gue masih enggak suka sama dia."

"Iya, gue tahu. Senja gimana? Kan, kemarin dia juga ketemu sama Steffi."

"Enggak gimana-gimana. Dia, mah, mukanya biasa aja, tapi hatinya kepo banget sama sosok Steffi."

"Kok lo tahu?"

"Pas di kantin kemarin, dia beberapa kali curi pandang kearah Steffi."

Fajar berpikir, apakah Senja merasa cemburu melihatnya bersama Steffi?

...

Akhirnya hari yang di tunggu seluruh siswa kelas sebelas datang. Mereka kini sudah duduk rapi di dalam bus masing-masing sesuai kelompoknya. Sebenarnya, ini pertama kali SMA Humeera bepergian jauh menggunakan bus. Apalagi jarak antara Bandung ke Bali tidaklah dekat.

Senja duduk berdua bersama Davina, di belakang mereka ada Fajar dan Gilang yang dari tadi tidak bisa diam. Terdengar Gilang yang ingin duduk di dekat jendela tapi sudah keduluan Fajar.

"Kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, ya," ucap Bu Ayna dari depan.

Sesi berdoa di mulai lalu dilanjutkan dengan suara musik. Senja tidak terlalu suka dengan musik yang berbau dangdut, membuatnya pusing.

"Nja, lo bawa cemilan, enggak?" tanya Davina.

"Bawa. Lo mau?"

"Gue pengin yang coklat-coklat. Ada?"

Senja membuka tasnya, mengambil dua buah coklat batangan. "Gue bawa banyak, nih. Kebetulan ini di beliin sama Arya."

Davina tersenyum lebar, "Wah! Pasti ada yang buat gue."

Senja mencibir, kemudian memilih membuka coklatnya. Perjalanan baru saja di mulai, tapi mereka sudah memakan bekal.

"Nanti kalau bekal kita habis, tinggal minta sama Gilang. Dia bawa sekarung," kata Davina.

"Oh ya? Enak, dong."

"TEMAN-TEMAN SEMUA! AYO JOGET!! GOYANG SLUUUUR!" Rian berteriak dengan semangat, mencairkan suasana bus yang sangat sepi.

Gilang mulai beranjak dari tempatnya duduk, ia merebut pengeras suara dari tangan Rian, "AYO REK! SEPI BANGET, KITA HARUS SEMANGAT!"

"Heh! Mending lo diam aja, deh!" ucap Davina kesal karena Gilang berteriak tepat di sebelahnya.

Gilang mencibir Davina, gadis itu terlihat siap menerkam Gilang kapan saja.

Rian dan beberapa teman laki-laki yang lain melanjutkan acara menyanyi, dengan Bu Ayna yang suaranya memang merdu. "Ayo, Bu! Nyanyi Kartonyono Medot Janji!"

Senja tahu lagu itu, lagu yang biasanya di dengar oleh sobat ambyar yang baru patah hati. Termasuk dirinya.

"Nja, lagu ambyar, tuh. Lo enggak mau ikut nyanyi?" tanya Davina iseng.

Senja tertawa lirih, "Gue enggak hafal sama liriknya. Enggak lucu kalau gue nyanyi keras terus salah lirik."

Davina tertawa keras, membuat Gilang yang berdiri di sebelahnya terkejut, "Ngapain lo? Kesurupan?"

"Heh! Sembarangan kalau ngomong."

Senja terkekeh, memilih mendengarkan musik sambil melihat jalanan. Terlihat sadgirl sekali, bukan?

...

Fajar terbangun dari tidur singkatnya, kini keadaan bus sangat hening. Ia menoleh ke belakang, teman-temannya semua tertidur, begitu pun Gilang. Berniat tidur lagi, namun tidak bisa. Ia melihat kepala Senja dari celah kursi dan kaca. Tampaknya, ia tidak tidur dengan nyaman. Fajar meletakkan jaketnya sebagai sandaran Senja dengan hati-hati, supaya kepalanya tidak sakit akibat kaca yang terkadang bergetar karena lubang di jalan.

Melihat posisi kepala Senja yang sudah benar, akhirnya Fajar bisa bernapas lega. Ia kemudian memilih membuka ponselnya. Ada satu notifikasi pesan yang sudah tujuh puluh menit yang lalu, dari Steffi.

Gue enggak bisa tidur.

Fajar melihat ke kursi yang ada di seberang, terlihat Steffi sudah tertidur pulas dengan bantal yang mengganjal lehernya.

Fajar jauh lebih mengkhawatirkan Senja.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar