Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BRAAAAKKKK!!!!
Senja yang sedang menikmati makan malamnya tersentak terkejut. Ia kemudian melihat teman-temannya yang sama terkejutnya.
"Fajaaaaaar!"
Teriakan Bu Ayna mampu membuat semua orang panik. Kenapa Fajar?
"Ayo keluar!"
Semua yang sedang menikmati makan malam menjadi panik, mereka semua keluar dari hotel. Di luar ada banyak orang yang mengerumuni seseorang yang tergeletak di jalan.
"Gue mohon jangan Fajar..." Senja berseru lirih.
Seseorang laki-laki terbaring kaku dengan kepala yang dipenuhi darah.
"Astaghfirullah! Fajar!"
Pak Gandhi yang berada di dalam kerumunan itu berteriak panik. "BU SONDANG! TELEPON AMBULANS, BU!"
Senja mendekat, menatap tubuh yang terbujur kaku dengan darah ada di mana-mana. Ia menutup mulutnya, rasanya ada batu yang menghujam dirinya. Sakit.
Davina melihat Steffi yang berdiri di seberang jalan, gadis itu menangis. Gilang berusaha menenangkan Senja yang terlihat terkejut.
"Pak, saya ikut ke rumah sakit," kata Gilang.
"Gue juga mau," kata Senja lirih.
Pak Gandhi menggeleng, "Kalian di sini saja."
"Tapi, Pak, saya mohon."
Karena, Pak Gandhi tahu bahwa Gilang adalah teman dekat Fajar dan Senja adalah gadis yang di cintai Fajar, akhirnya Pak Gandhi mengangguk, "Ya sudah."
Tak lama, ambulans datang dan petugas ambulans langsung membawa Fajar ke rumah sakit. Pak Gandhi dan Bu Sondang mengikuti dengan taksi di belakang. Senja merasa sekujur tubuhnya bergetar. Gilang langsung menenangkan temannya itu.
"Lo udah ngehubungi keluarganya Fajar?"
Senja menggeleng, "Enggak bawa ponsel."
"Ya udah."
Senja menatap wajah Fajar yang sudah tertutupi oleh banyak darah, ia ingin menangis lagi. "Gue takut."
Gilang menepuk punggung Senja, "Berdoa, Nja."
Sekitar tujuh menit kemudian, ambulans sampai di rumah sakit dan Fajar segera di pindahkan ke UGD. Senja dan Gilang terus memanjatkan doa. Sesekali air mata Senja lolos dari pelupuk matanya. Ia takut kehilangan Fajar.
"Senja?" Bu Sondang datang bersama Pak Gandhi yang terlihat khawatir. "Ibu sudah menghubungi keluarga Fajar."
"Mereka ke sini, Bu?" tanya Gilang.
"Mungkin besok."
Pak Gandhi pergi mengurus hal-hal penting. Malam itu menjadi malam yang buruk.
"Tadi, Fajar kenapa bisa ada di luar?" tanya Bu Sondang.
Senja menunduk, "Tadi, Fajar sama Steffi berantem, Bu."
"Ini gara-gara saya, Bu. Mereka berantem karena Steffi beradu mulut dengan saya." Gilang merasa bersalah, laki-laki itu juga meangis, walaupun tidak terlihat.
"Tapi, Ibu enggak lihat Steffi di sana, malah yang Ibu lihat hanya Fajar yang tiba-tiba di tabrak mobil."
"Mungkin Steffi udah di seberang jalan, Bu."
Bu Sondang mengangguk, wanita itu sama khawatirnya dengan Senja dan Gilang. Di bawah malam yang terlihat damai, ada sebongkah perasaan yang menyakitkan.
Beberapa saat setelahnya, seorang dokter keluar dari UGD. "Keluarga Fajar?"
"Kami temannya, dan beliau guru kami," balas Gilang.
"Baiklah. Kondisi Fajar sedang kritis, ia bisa dikatakan koma."
Senja refleks memegang dadanya, gadis itu merasakan sakit. "Lalu? Penyebabnya?"
"Pembuluh darah di otaknya pecah, kondisi ini biasanya membuat pasien koma bahkan bisa meninggal."
Gilang terkejut, apa ia harus kehilangan Fajar saat ini?
"Apakah pihak keluarga sudah di beritahu?"
Bu Sondang mengangguk, "Kemungkinan besok mereka datang. Karena, kami ada di sini sedang melakukan study tour."
Dokter itu mengangguk, "Kami akan memaksimalkan usaha kami. Kalian harus berdoa, ya. Mungkin, Fajar akan kami pindahkan ke ICU."
Senja dan Gilang mengangguk. Setelahnya, dokter itu pergi. Bu Sondang mengajak Senja dan Gilang kembali ke hotel namun keduanya menolak.
"Kami akan di sini sampai Fajar sembuh, Bu. Mungkin, kami besok tidak bisa pulang ke Bandung." Gilang mengatakan hal itu dengan tegas. Senja juga mengangguk, meyakinkan Bu Sondang.
"Ya, sudah. Terserah kalian. Sekarang kita tunggu di kursi itu, ya." Bu Sondang menunjuk kursi panjang yang berada di depan ICU.
"Iya."
Malam itu, mereka terjaga semalaman. Untungnya, Pak Gandhi yang sudah kembali menggantikan Bu Sondang yang harus mengurus teman-teman Senja di hotel. Sehingga, wanita paruh baya itu kembali ke hotel dengan taksi.
...
Matahari pagi enggan menunjukkan dirinya, ia bersembunyi di balik awan. Meninggalkan segala harapan pada pagi itu,
Sebelum benar-benar kembali ke Bandung, Davina dan teman-teman satu kelompok Senja menyempatkan diri untuk menjenguk Fajar. Walaupun yang di jenguk masih belum membuka mata. Davina dan Rian juga membawakan pakaian-pakaian Senja, Gilang, dan Fajar. Guru yang tinggal di Bali hanya Pak Gandhi. Karena, Bu Sondang harus segera kembali ke Bandung.
"Senja, yang sabar, ya. Lo harus kuat dan terus berdoa supaya Fajar cepat sembuh. Lo juga, Lang. Jangan sedih terus, ya." Davina berkata lembut sambil menggenggam tangan Senja erat.
Senja dan Gilang mengangguk, "Terima kasih."
"Steffi mana?" tanya Gilang.
Tiba-tiba gadis bernama Steffi itu berjalan cepat dengan sedikit berlari ke arah Gilang, "Lang, gue minta maaf sama lo soal kemarin."
"Lo harusnya minta maaf sama Fajar. Bukan sama gue, kalau lo enggak buat keributan, pasti Fajar masih tersenyum sekarang!"
Senja menenangkan Gilang, "Udah, Lang. Gue yakin Fajar enggak mau lihat lo nyalahin Steffi terus."
Abi mendekat, "Benar, Bro. Lo harus sabar, jangan nyalahin siapa pun. Ini garis takdir."
Gilang mengangguk. Kemudian Davina, Vega, Steffi, Abi, dan Rian pamit untuk pulang ke Bandung. Mereka berjanji akan terus mendoakan Fajar.
"Hati-hati."
Senja menatap kamera Fajar yang ada di tangannya. Ia meneteskan air mata. Mengingat momen indah bersama Fajar kemarin sore. "Gue kangen."
Gilang menepuk bahu Senja dua kali, "Lo harus kuat. Setidaknya, lo harus kuat buat keluarganya Fajar."
"Maksud lo?" Senja mendongak menatap Gilang yang lebih tinggi darinya.
"Lo tahu, kan, selama ini Fajar yang jagain nyokap sama adiknya. Bagi Fajar, mereka berdua adalah berlian yang harus dia jaga, dan berlian juga banyak yang mau ambil."
"Maksud lo, banyak yang pengin nyakitin keluarganya Fajar?"
Gilang mengangguk. Ia mengajak Senja untuk duduk di depan ICU. "Gue yakin lo bisa kuat, Nja. Karena, dari awal gue tahu lo kuat. Lo enggak terlarut dalam kesedihan ketika Nenek lo meninggal, dan, ketika lo tahu Fajar berbeda keyakinan."
Senja ingin menangis, tapi ia harus kuat. "Gue harus kuat, ya?"
"Iya." Gilang mengambil kamera yang ada di tangan Senja. "Kalau lo kangen Fajar, lo lihat foto-foto di sini."
Senja mengangguk, menahan air mata supaya tidak jatuh.
...
Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama dan Adik Fajar datang dengan wajah pucat, terlihat habis menangis.
"Kak Senjaa!" Clara memeluk Senja erat, ia menangis di dalam pelukan Senja.
Senja membalas, "Clara harus berdoa, ya!"
Raya mendekat ke arah Gilang, "Kok bisa?"
"Maaf, Tante. Gilang waktu itu enggak bisa melindungi Fajar."
Raya dan Clara menangis lirih, kedua perempuan itu terlihat sangat-sangat rapuh. Benar kata Gilang, ada yang lebih rapuh darinya.