Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selama sisa jam di sekolah Senja terus merasa takut untuk keluar kelas, ia beberapa kali mendengar gosip bahwa apa yang ada di mading itu benar adanya. Padahal, mereka sendiri tidak yakin dengan apa yang mereka lihat. Mereka dengan mudah termakan omongan orang lain tanpa melihat kebenarannya. Hal itu membuat Senja kesal dan takut.
"Senja, ayo ke kantin. Lo dari istirahat pertama tadi belum makan." Davina mencoba membujuk Senja. Sebagai teman dekat Senja, ia merasa takut jika Senja terlalu memikirkan apa yang terjadi hingga membuatnya sakit. "Ya udah, gue beli makanan dulu. Lo tunggu di sini."
Senja tidak merespon, ia tetap diam dengan pandangan kosong, sampai seseorang menghalangi pandangannya, baru ia tersadar. "Fajar?"
"Ini makan, Davina bilang lo belum makan dari tadi," kata Fajar sambil memberikan sebungkus nasi goreng.
Senja menggeleng, "Gue takut."
"Ga ada yang perlu di takutin, lo ga salah, yang salah itu mereka, mereka yang ngedit foto lo seakan-akan lo sama Pak Gandhi itu pegangan tangan."
"Gimana kalau temen-temen percaya sama foto itu?"
"Mereka percaya, tapi gue enggak. Davina juga." Fajar membuka bungkus nasi dan memberikannya kepada Senja. "Ini, makan."
Senja akhirnya makan, beberapa waktu kemudian, Gilang dan Davina kembali, entah bagaimana bisa Davina kembali bersama Gilang.
"Loh? Udah makan?"
"Di bilangin, Senja udah makan sama Fajar, sini nasi lo buat gue," kata Gilang.
Davina menjauhkan nasinya dari Gilang, "Enak aja, gue juga laper!"
"Sini Dav, makan." Senja menepuk bangku sebelahnya, menyuruh Davina untuk duduk.
Davina mengangguk, sedangkan Gilang memilih duduk di meja yang kursinya di duduki oleh Fajar. "Udah enakan, Nja?"
Sebenarnya Senja tidak mengenal Gilang, tapi karena ia melihat Fajar sepertinya dekat dengan Gilang, ia tidak berani mengusir. "Alhamdulillah."
Gilang melirik Fajar, sedangkan Fajar hanya menatap balik Gilang dengan datar. Ia tahu maksudnya, tetapi tidak ingin ambil pusing.
"Nanti lo pulang sama gue aja, Nja. Jangan naik ojek," kata Davina, membuat Senja menoleh.
"Enggak, deh. Ga enak gue sama lo."
Fajar menyahut, "Ya udah gue anter aja."
"Nah, bener."
"Eh, enggak, deh. Gue bareng Davina aja."
Jawaban Senja membuat Davina dan Gilang tertawa, berbeda dengan Fajar yang sedikit kecewa. "Kenapa?"
Senja meletakkan sendoknya, "Nyokap bisa marah kalau lo nganterin gue pulang."
Fajar mengangguk mengerti. Ia juga memiliki adik perempuan, jadi ia tahu bagaimana rasanya menjaga seorang perempuan supaya tidak mendapatkan lelaki yang salah.
"Ya udah nanti lo tungguin gue piket, ya."
Senja mengangguk atas permintaan Davina. Toh, ia juga tidak terburu-buru hari ini. Baru saja hendak membuang bungkus nasi, tangan Fajar menahan pergerakan Senja. Membuat gadis itu menatap penuh tanya.
"Biar gue aja yang buang." Fajar berkata sambil berjalan menuju tempat sampah yang ada di luar kelas. Kaki panjangnya melangkah lebar-lebar, membuat Senja terkikik geli.
"Bucin banget, asli."
"Emang dia nggak pernah bucin?" tanya Senja.
Gilang menggeleng, "Jarang banget dia kayak gitu. Sekalinya jatuh cinta di sakitin."
"Sama siapa?" tanya Davina mewakili Senja.
Gilang mengangkat tangan, "Sorry, sist, tapi masalah itu, kalian bisa tanya sama orangnya."
Senja dan Davina mendengus, sementara Gilang menarik Fajar yang akan duduk untuk pergi ke kelasnya, bel sudah hampir berbunyi.
"Kayaknya Fajar suka sama lo beneran, Nja." Davina menyatakan apa yang di pikirkannya, membuat Senja menggeleng cepat.
Ia baru saja mengenal Fajar, bahkan ia belum tahu nomor teleponnya. Senja tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan soal perasaan. Kalau salah menanggapi, ia akan merasa sakit sendiri.
"Gue buang sampah dulu."
Senja mengangguk, sedikit memikirkan ucapan Davina. Ah, masa iya?
...
Fajar membersihkan halaman depan rumahnya yang terlihat sedikit kotor. Sebenarnya, ini adalah tugas adiknya, Clara. Namun, sejak ia pulang sekolah, ia sama sekali tidak melihat batang hidung adiknya. Itu membuatnya menebak-nebak, dimana Clara hingga sore belum pulang?
Ia beranjak untuk menanyakannya kepada Raya. Sebelumnya, Fajar membereskan peralatan bersih-bersihnya dan meletakkan di gudang depan. Segera, ia berjalan dengan sedikit berlari ke arah Ibunya.
"Ma, Clara ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?"
"Iya, Mama juga lagi coba telepon, tapi dari tadi gak di angkat."
Jawaban Raya membuatnya semakin khawatir, tidak biasanya Clara belum pulang hingga hampir maghrib seperti ini. "Apa Fajar coba ke sekolah ya, Ma?"
Raya mengangguk, dengan cepat Fajar mengambil kunci mobil dan jaketnya yang ada di kursi ruang tamu. Ia membawa mobil dengan kecepatan penuh, matanya awas melihat ke kaca spion, barangkali Clara berjalan berlawanan arah dengannya.
Dugaannya benar, ia melihat gadis SMP tengah berjalan di trotoar. Buru-buru ia menepi dan berlari ke arah Clara. "Rara!"
Gadis itu menoleh, matanya sembab, ia menatap nanar ke arah Fajar. "Abang..."
"Kamu kenapa?" Fajar bertanya khawatir saat tiba-tiba adiknya menangis. "Ya udah, ayo masuk mobil dulu. Ceritanya di rumah aja."
Clara mengangguk lemah, memegang erat tangan Fajar. Mobil mulai melaju, kali ini Fajar mengendarai dengan pelan. Ia melihat sekilas adiknya, masih sesenggukan. Untuk saat seperti ini, biasanya Clara tidak mau diganggu. Ia akan terdiam sampai ia siap untuk bercerita.
"Udah, kamu masuk ke kamar dulu, biar Abang jelasin situasinya ke Mama," kata Fajar ketika mereka sampai di depan rumah.
Clara mengangguk. Ia masuk ke dalam lebih dulu, sedangkan Fajar akan menemui Ibunya.
"Ma," Fajar memanggil Ibunya yang sedang ada di dapur. "Clara kayaknya ketemu Papa lagi."
Raya sedikit terkejut, tetapi ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya.
"Biar Clara mandi dulu, Ma. Nunggu dia siap cerita."
"Ya udah."
Mereka berdua menunggu Clara di ruang keluarga, setelah kira-kira 45 menit menunggu, akhirnya Clara keluar dan duduk di samping Raya.
"Rara ketemu Papa." Clara mencoba menahan air matanya. "Papa bilang mau bawa Rara. Untungnya, tadi Rara sempet lari. Rara beneran takut banget, sampai lupa jalan pulang. Maafin Rara, Ma."
Raya memeluk Clara erat, ia merasa bersalah kepada dua anaknya, kejadian masa lalu membuat kedua anaknya trauma. "Besok biar di antar sama Bang Fajar, ya."
Clara mengangguk, "Makasih, Bang, tadi udah cari Rara."
"Iya, Ra. Ponsel kamu mati?"
"Iya, tadi jatuh, terus mati."
"Ya udah, kamu mau makan?" Fajar mendekat ke arah Clara, mengelus kepala nya.
Clara menggeleng, "Rara mau tidur aja."
Raya mengangguk mengerti. Ia mengantar anaknya ke kamar.
"Jangan lupa gosok gigi, ya."
"Iya, Ma."
Setelah menutup pintu, Raya berjalan menuju Fajar. "Gimana, Fa?"
"Fajar antar jemput Rara aja, Ma."
"Mama gak habis pikir sama Papa kamu, setelah merenggut kebahagiaan kita, sekarang dia mau bawa Clara?"
"Sabar, Ma." Fajar memeluk Raya erat, tidak ingin Ibunya sedih. "Ayo makan, Ma. Terus Mama tidur."
"Iya."
...