Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Serendipity
Suka
Favorit
Bagikan
7. 07

Fajar sampai di sekolah lima menit sebelum bel berbunyi. Ia hampir saja telat karena mengantar Clara lebih dulu. Untungnya, hari ini dia membawa motor, itu memudahkannya dalam mencari celah di antara kendaraan-kendaraan lain.

"Jar! Fajar!" Gilang berlari dari arah koridor, wajahnya terlihat panik. "Yang nyebarin rumor Senja pacaran sama Pak Gandhi udah ketahuan!"

"Hah? Siapa?"

Gilang menarik Fajar menuju kantor guru. Setelah sampai disana, Fajar melihat lima siswi yang tertunduk, mereka saling menyikut ketika Bu Sondang berbicara. Senja juga ada di sana, bersama Davina.

"Jadi, mereka yang nyebarin rumor murahan itu?" Fajar bertanya tegas, tidak peduli siapa lawan bicaranya, membuat semua orang yang ada di ruangan itu menoleh.

Bu Sondang mengangguk menanggapi pertanyaan Fajar. Salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri.

"Bu, maafkan saya, saya hanya di suruh mengedit foto itu, selebihnya bukan saya."

Perempuan bermata biru menyahut, terdengar marah. "Heh! Tanggung jawab bersama, lah! Lo gak bisa gitu aja melepaskan kesalahan gitu aja!"

"Kalau kalian tau itu salah, kenapa dilakukan?!" Bu Ayna terdengar murka. Tentu saja, itu menyangkut salah satu anaknya.

"Ma-maaf, Bu."

Senja tidak berani berbicara, ia sadar bahwa ia masih baru di sini.

"Kasih hukuman langsung aja, Bu," kata Gilang.

Bu Sondang terlihat berpikir, "Ya udah, kalian boleh ke kelas dulu. Buat kalian berlima, nanti istirahat ke ruang BK lagi."

Mereka semua akhirnya keluar, Senja keluar paling terakhir.

"Nanti istirahatnya bareng, ya," kata Fajar.

"Sejak kapan kita temenan? Gue sebelumnya gak kenal sama lo." Gilang menunjuk Davina dengan telunjuknya, satu tangannya ada di saku celana abu-abunya.

Davina berdecih, "Emang gue mau kenal sama lo? Dasar si rakus!"

Senja tersenyum, membuat jantung Fajar berdebar.

"Ya udah, nanti kalian istirahatnya boleh bareng gue sama Senja," kata Davina, membuat Gilang melongo tidak percaya.

"Eh, lo merasa ratu? Nadanya biasa aja dong! Ga usah sok di butuhin gitu."

Fajar melerai keduanya, "Iya, nanti kita ke kelas kalian."

Setelahnya Fajar dan Gilang berjalan lebih dulu menuju kelas mereka. Meninggalkan Senja dan Davina yang melotot atas perkataan Gilang.

"Sumpah tuh cowok kalau ngomong gak di filter apa gimana, sih?"

"Hahaha. Yuk, ke kelas."

...

Waktu berjalan cepat. Kini Fajar, Gilang, Senja, dan Davina sedang menikmati makanan kantin. Mereka terlihat akrab sekali, membuat beberapa pasang mata menatap iri.

"Btw, cewek-cewek yang di BK tadi siapa? Kok gue gak kenal?" tanya Senja.

Davina meletakkan sendoknya, "Kalau gak salah, mereka itu Dara, Fia, Cecil, Lala, sama Kiara. Nah yang tadi berdiri itu Kiara."

"Gue nggak ngerti deh tujuannya apa."

"Mungkin iri," kata Fajar.

"Iri kenapa?"

"Senja kan cantik."

Gilang melongo, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Lo gak mikir sebelum ngomong gitu?"

Fajar menggeleng.

"Lihat noh, wajahnya Senja merah."

Senja memejamkan mata lalu menutupi pipinya. "Apa, sih? Enggak, kok."

Fajar tertawa, ia rasa Senja sangat menggemaskan.

"Eh, udah bel, yuk balik ke kelas," ajak Senja.

"Ciee Senja baper!"

"Ih, mana ada." Senja berdiri dan berjalan lebih dulu, meninggalkan Davina bersama Fajar dan Gilang.

"Lo kalau beneran suka sama Senja, ungkapin," kata Davina lalu pergi.

Fajar terdiam, ia sebenarnya sangat ingin mengungkapkannya, namun ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan kepada Senja. Takut gadis itu meninggalkannya.

Gilang menepuk pundak Fajar, "Utarakan pas lo udah siap, hyung."

"Iya." Fajar mengambil ponselnya dan berjalan ke arah kelasnya.

Sejujurnya, ia cukup memikirkan tentang perkataan Davina. Ingin mengungkapkan namun ada yang ia takutkan. Mungkin, ia akan melakukan pendekatan lebih dulu?

Semoga saja, perasaannya dan perasaan Senja sama.

...

"Ma." Senja memanggil Ayunda. Ia mengedarkan pandangannya di area dapur ketika tidak menemukan Mamanya. Beberapa sayuran tergeletak di meja begitu saja. Apa Mamanya sedang mengantar Arini ke rumah sakit?

Senja berjalan ke arah teras, barangkali Ayunda dan Neneknya ada di sana. Namun, terasnya begitu sepi. Tiba-tiba sebuah mobil datang, membuat Senja harus membukakan pintu pagar. Rupanya itu adalah Arya.

"Senja, hari ini nginep di rumah Mas aja, ya?"

"Kenapa, Mas?"

"Nenek masuk rumah sakit, kata Tante kamu di suruh nginep di rumahku."

Senja terkejut, "Nenek kenapa?"

"Penyakitnya kambuh. Kalau kamu mau ke RS, nanti malam aja, ya. Sekalian bareng-bareng."

Senja mengangguk, mempersilakan Arya untuk masuk sedangkan ia akan mengemasi barang-barangnya. Tidak butuh waktu lama untuk Senja menyelesaikannya.

"Ayo, Mas. Aku udah beres."

Mereka pergi ke rumah Arya, sekitar tujuh belas menit kemudian, mereka sampai di depan rumah mewah bercat serba putih.

"Wah, rumahnya bagus," kata Senja.

"Masuk dulu, gih."

"Di dalam ada siapa, Mas?"

"Ga ada siapa-siapa, cuma Bibi."

"Orang tuanya, Mas?"

"Masih di luar."

Senja akhirnya keluar dari mobil dan memasuki rumah bernuansa putih tersebut. Cukup luas dan sepi untuk di tempati lima orang.

"Itu kamar kamu di sana." Arya berkata sambil menunjuk pintu putih yang ada di dekat ruang TV.

Senja mengangguk dan meninggalkan Arya di ruang tamu. Ia masuk ke dalam kamar tersebut. Sekali lagi di buat takjub dengan desainnya. Beberapa foto berjajar rapi di meja. Ia mengedarkan pandangannya dan ia menemukan satu pintu menuju balkon.

"Wahh." Begitu Senja duduk di teras balkon, ia terkesima dengan view yang ada di depannya.

Tiba-tiba Arya masuk dan duduk di sebelah Senja. "Dulu, kamu suka banget sama view di sini. Sampai Papa bikin kamar yang ada balkonnya."

"Masa? Kok aku ga inget apa-apa, ya?"

"Wajar, itu udah sekitar tiga belas tahun lalu."

Senja mengangguk, "Ini keren banget, asli."

"Kamu inget ga, dulu pernah bilang sama aku?"

"Bilang apa, Mas?"

"Bilang kalau kamu bakal di sini sama aku terus. Tapi, tiba-tiba kamu pindah, nggak pamit sama aku."

Ah, Senja sedikit mengingatnya. "Maaf, Mas. Waktu itu Mama lagi buru-buru banget."

"Tapi aku bersyukur kita sempet berpisah."

"Kenapa?"

"Karena, Allah ngasih aku waktu buat ngerubah penampilan. Jadi, aku pede-pede aja kalau di depan kamu."

"Emang dulu Mas ga pede?"

Arya menggeleng, "Aku dulu selalu mikir kalau aku ini nggak pantas buat ada di samping kamu."

Senja terdiam, ia kehilangan sedikit memorinya saat masih kecil.

"Enggak usah di inget, ga penting juga." Fajar tersenyum. "Gimana? Kamu udah punya pacar di sekolah baru?"

Senja tertawa, lalu menggeleng.

"Kenapa?"

"Belum ada yang bisa bikin aku jatuh cinta, Mas."

Arya mengangguk mengerti, memang sulit untuk mendekati Senja.

"Tapi ada satu cowok yang akhir-akhir ini lewat di pikiran aku, Mas. Apa aku suka sama dia, ya?"

"Bisa jadi."

"Ah, tapi nggak mungkin."

Salah satu alis Arya terangkat, "Kenapa?"

"Kan aku sama dia belum deket banget, kenal juga beberapa hari lalu."

"Kalau jatuh cinta, itu nggak mandang berapa lama kamu kenal sama dia. Bisa aja kamu baru sekali lihat terus kamu jatuh cinta."

"Gitu, ya, Mas?"

"Iya."

Tapi, masa gue suka sama Fajar? Batin Senja.

...

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar