Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Serendipity
Suka
Favorit
Bagikan
10. 10

Fajar membawa Senja ke sebuah toko yang sudah tutup. Berniat menghindari tetesan air hujan.

"Kenapa?" Fajar menatap Senja dengan teduh, membuat Senja menangis lagi. "Loh?"

"Gue pernah ceritakan kalau Papa udah meninggal?"

Fajar mengangguk. Akhirnya Senja menjelaskan semuanya kepada Fajar, dengan sedikit isak tangis yang belum bisa menghilang.

"Kenangan, kan, enggak harus melulu tentang apa yang terlihat. Di hati dan pikiran lo, semua yang lo ingat, itu juga kenangan."

"Tapi, Papa pernah bilang kalau buku itu enggak boleh hilang."

"Itu bukan salah lo, bukan salah nyokap lo juga."

Senja menunduk, "Gue tadi ngebentak Mama."

Fajar menepuk kepala Senja pelan, "Habis dari sini jangan lupa minta maaf."

"Iya."

"Ayo pulang, gue anter."

Fajar memakaikan jaketnya di tubuh Senja, memberi kehangatan kepada gadis yang sedang rapuh itu. Ia tidak tega jika harus membiarkan Senja pulang sendiri dan kedinginan.

"Kok lo bisa tahu gue di sini?" tanya Senja.

"Tadi, gue habis beli sabun di supermarket. Terus baliknya lewat sini, dan lihat lo lagi nangis di pinggir jalan kayak orang gila."

"Ish."

"Lo harus lebih kuat lagi, Nja. Mama lo enggak selalu bisa jagain lo, lo harus bisa jaga diri lo sendiri."

Senja mengangguk. "Thanks, ya."

"Iya. Pokoknya kalau lo butuh sesuatu atau sandaran dan tempat cerita, gue bakal selalu ada buat lo."

Senja tersenyum, tidak menyadari tatapan Fajar yang sangat hangat sedang menatap lurus kepadanya.

"Gue tadi cuma kaget aja sama apa yang Mama lakuin."

"Iya, tapi lo harus terbiasa dengan sikap seseorang yang kadang bisa berbubah seiring berjalannya waktu."

Rasanya ada yang menggelitik perut Senja, seperti ribuan kupu-kupu?

"Iya, gue bakal belajar untuk memahami perubahan seseorang."

Mereka berjalan di bawah hujan. Membiarkan rintik hujan membasahi payung Fajar.

...

"Makasih, ya," kata Senja saat mereka sudah sampai di depan pagar rumah Senja.

"Iya, jangan lupa ganti baju."

Senja mengangguk. Ia membuka pintu pagar dan memasuki rumahnya. Ibunya ada di ruang tamu bersama Arini saat Senja melepas jaket Fajar.

"Dari mana?" tanya Arini.

"Main."

Ayunda hanya terdiam melihat putrinya pulang dengan keadaan basah kuyup. Ia jadi sedikit merasa bersalah atas perbuatannya.

"Kok sampai basah kuyup? Terus itu jaket siapa?" Arini bertanya lagi, membuat langkah Senja berhenti di depan pintu kamar mandi.

"Iya, Nek, ini jaketnya temen. Tadi Senja pinjam."

Arini tak bertanya lagi, mungkin perempuan tua itu tidak mengetahui masalah antara anaknya dan cucunya. Senja akhirnya membersihkan diri. Sebelumnya, ia mencuci jaket Fajar di mesin cuci supaya besok bisa kering.

Setelah selesai mandi, ia langsung menghangatkan tubuhnya di kamar, membaluti setengah badannya dengan selimut. Beberapa menit ia terhanyut dalam pikirannya. Memikirkan hari-harinya yang biasa-biasa saja, lalu sejak ia pindah sekolah, hari-harinya sedikit ada warna.

Ting!

Ponselnya berbunyi, ia menemukan pesan dari Fajar. Bibirnya terangkat, membentuk lengkungan kecil.

Udah hangat badannya?

Sejenak ia merasakan tatapan teduh yang diberikan Fajar tadi. Membuat hatinya terasa tentram. Ia menulis balasan pesan untuk Fajar.

Udah. Thanks, ya.

Tak mau menunggu balasan dari Fajar, akhirnya ia memilih tidur, berharap dalam mimpinya ia bisa bertemu Ardy da meminta maaf.

...

Gilang berdiri mengambil kunci motornya yang ada di saku belakangnya, berniat menyerahkannya kepada Rian, sekretaris kelas 11IPA-1.

"Isiin bensin, mau habis itu, hehe."

Rian berdesis, "Kebiasaan lo, fotokopi juga buat lo."

"Eits, enggak bisa. Tetep, lo balik bensin motor gue harus full."

"Kalau aja si Fajar bawa motor, lebih baik gue pinjem Fajar."

Gilang tersenyum manis, membuat Rian bergidik. Cowok itu lalu mengambil kunci motor dari tangan Gilang dan berangkat untuk fotokopi.

"Fajar mana, ya?" Gilang bertanya pada dirinya sendiri. Tadi, Fajar bilang bahwa ia akan ke koperasi untuk membeli pena dan penggaris. Namun, setelah sepuluh menit, ia tak kunjung kembali.

Akhirnya Gilang memilih menyusul Fajar di koperasi sekolah, sekalian jalan-jalan karena sedang jam bebas. Ia sesekali bersenandung supaya tidak sepi.

Di pertigaan lorong, Gilang melihat Fajar sedang berjalan ke arahnya. "WOI JAR!"

"Buset, ngapain teriak-teriak lo?"

"Gue kesepian, hyung."

Fajar tertawa, "Tumben lo?"

"Ayo, ke kelas."

Fajar menggeleng, "Basket aja, males gue di kelas, berisik banget yang cewek pada gosip."

"Oh, ayo deh."

Gilang berjalan lebih dulu ke arah lapangan diikuti Fajar di belakangnya yang berjalan santai. Di lapangan ada beberapa teman-teman Fajar yang bermain. Tanpa di minta pun, salah satu dari mereka mengoper bola ke arah Gilang dan Fajar.

Berbeda dengan Senja dan Davina, mereka berdua sedang menggosip di belakang dengan teman-teman yang lain. Beberapa ada yang laki-laki.

"Tahu enggak? Yang ngefitnah Senja sama Pak Gandhi sekarang di bully di kelasnya. Di pojokin gitu, malu-maluin lah, sok bener lah, banyak deh hujatannya," kata Nabila.

Senja yang namanya di sebut bertanya, "Iya? Wah, karma."

"Iya, lagian mereka udah beberapa kali bikin masalah gitu."

"Gue pas awal masuk sini diajakin gabung geng mereka, untung gue tolak," si rambut coklat bersuara, Tia.

"Ha? Serius pernah diajak gabung?"

Tia mengangguk, "Salah satu dari mereka temen SD gue, si Kiara."

"Mantep, hehe. Btw, ada gosip, katanya lo deket sama Fajar?" Reta bertanya kepada Senja, sehingga semua yang ada di sana menatap Senja kepo.

Senja yang ditanya menjadi salah tingkah, "Eh? Enggak, sih, cuma ya bisa dibilang deket."

"Jadi, deket apa enggak?" Davina menggoda Senja, membuat Reta tertawa gemas.

"Deket aja, Nja, Fajar baik, kok," kata Haidar. "Dia tetangga gue dulu, sayang banget sama adiknya."

"Oh ya? Lihat nanti deh."

"Kalau kelamaan dianggurin, keburu di rebut sama yang lain, Nja."

Davina mengangguk setuju, "Baby Senja butuh waktu, teman-teman."

"Idih, baby-baby!"

"Katanya juga, dia yang nolongin pas lo ada masalah kemarin?"

"Iya, kaget juga gue waktu tiba-tiba ikut campur."

Rangga, salah satu teman sekelas Senja yang paling pintar berbicara, "Itu tandanya dia peduli sama lo. Baru kenal aja udah di belain."

"Iya, Nja, pertahanin yang gitu-gitu."

"Tenang aja, dia enggak punya mantan yang suka ngelabrak, kok."

Senja tertawa merasa tidak memiliki alasan seperti itu. "Emang kenapa kalau dia punya mantan yang suka ngelabrak?"

"Ya, nanti lo pasti di labrak rame-rame."

"Tenang, kalau pun lo di labrak beneran, ada gue," kata Davina.

"Bener tuh, Davina yang paling berani kalau soal gitu-gitu," sambung Reta.

Senja tersenyum. Tidak menyadari bahwa hubungannya dan Fajar semakin hari semakin dekat, tidak sadar juga mereka berdua telah melewati batas yang akan membuat keduanya sakit nanti.

...

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar