Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Serendipity
Suka
Favorit
Bagikan
16. 16

Fajar terdiam dengan perasaan berkecamuk, membiarkan Senja mengeluarkan semua yang ada di kepalanya.

"Lo bercanda,kan, Jar?" Senja berkata lirih, menatap Fajar dengan mata yang berkaca-kaca.

"Buat apa gue bercanda sampai bikin lo nangis?"

Senja semakin menangis, untung saja keadaan kedai saat itu sepi. Hanya ada satu pengunjung, itu pun berada di luar kedai. "Harusnya lo bilang dari awal."

"Maaf. Gue enggak tahu harus mulai dari mana. Gue takut lo ngejauh."

"Mau lo bilang kemarin-kemarin atau pun sekarang, tetep aja kita enggak bisa bersatu, Jar."

Fajar menunduk, ia dapat merasakan bagaimana sedihnya Senja.

"Kita omongin besok lagi, ya? Gue mau pulang." Senja hendak berdiri namun tangannya di tahan oleh Fajar.

"Gue anter, ya?"

Senja menggeleng.

"Lo boleh kecewa sama gue, tapi tolong, biarin gue anter lo pulang."

Tidak ada alasan bagi Senja untuk menolak. Gadis itu hanya diam sepanjang perjalanan. Fajar beberapa kali hampir menabrak mobil di depannya akibat fokusnya terbagi dua.

Tak lama, mereka sampai di depan rumah Senja. Terlihat ada dua mobil yang terparkir di sana. Senja langsung turun tanpa mengucap sepatah kata pun, membuat Fajar merasa tak enak.

Senja berusaha untuk tidak kelihatan habis menangis, tidak ingin membuat siapa pun yang ada di dalam khawatir. Ia memasuki rumahnya dan matanya langsung bertemu dengan Arya.

"Halo, Senja."

Senja tersenyum sebagai balasan, ia langsung menuju kamarnya.

"Senja kenapa?" tanya Arya kepada Ayunda.

"Enggak tahu, mungkin dia kangen Neneknya."

Tak puas dengan jawaban Ayunda, akhirnya Arya permisi untuk menyusul Senja di kamarnya. Ia berjalan dan membuka pintu kamar Senja. Terlihat gadis SMA itu sedang berbaring dengan posisi kepalanya tenggelam di antara bantal.

"Senja?"

Gadis itu tidak bergerak, membuat Arya sedikit menggoyangkan lengan kanan Senja.

"Ah, kenapa?" tanya Senja terkejut.

Walaupun Senja sudah berusaha agar tidak terlihat menangis, tetap saja mata gadis itu memerah, hidungnya juga memerah.

"Kamu kenapa? Habis nangis?" tanya Arya khawatir.

Senja menggeleng, "Senja... Senja kangen sama Nenek."

Ia tidak berbohong, ia juga sedang merindukan sosok Arini. Biasanya, wanita itu yang akan pertama kali menyadari bahwa cucunya sedang tidak baik-baik saja.

Arya duduk di kasur Senja. Ia menghela napas sebentar, "Kamu bohong, ya? Tadi pagi kamu sendiri yang bilang ke Tante Ayunda kalau harus kuat. Kok sekarang kamu yang nangis?"

Senja tiba-tiba menangis lagi, membuat Arya yang ada di depannya spontan memeluk. Senja tidak menolak, ia berusaha untuk mengecilkan suara tangisnya. "Kenapa, sih, aku selalu mencintai orang yang salah?"

Arya melepaskan pelukan singkat itu, "Kenapa?"

"Waktu hari meninggalnya Nenek kemarin, kamu pasti lihat temen-temen aku, kan?"

"Iya."

"Salah satu dari mereka adalah orang yang aku suka. Orang yang tatapan matanya selalu teduh. Dan, aku suka itu."

"Kenapa? Selingkuh?"

Senja menggeleng, "Kami enggak se-iman."

Jawaban Senja membuat Arya terdiam.

"Aku harus gimana?"

"Sabar, di situasi ini, Allah ingin kamu memilihNya, itu artinya, kamu harus meninggalkan dia demi agamamu."

Senja merasa hatinya menghangat. "Iya."

"Ya udah, cuci muka dulu terus habis itu makan, ya. Di bawah ada saudara-saudara dari Surabaya."

Senja mengangguk dan Arya keluar dari kamar. Saat ini, ia tidak ingin terlalu sedih atas apa yang baru saja dialaminya. Baginya, ini adalah pelajaran yang tidak boleh terulang lagi.

...

"What?!! Jadi Senja udah tahu?"

Gilang duduk bersama Fajar di ruang tamu Gilang. Ia belum ingin pulang ke rumah. Kebiasaannya kalau bersedih, ia tidak akan menunjukkan kepada Ibu dan Adiknya.

"Lo besok jelasin lagi, deh. Kasihan anak orang."

Fajar berdecak, "Harusnya gue ngomong dari dulu."

"Udah. Percuma lo nyesel. Enggak akan merubah keadaan."

"Iya iya."

"Lo enggak coba chat dia?"

Fajar menggeleng. Ia tahu diri. "Dia masih banyak saudara. Takut ganggu gue."

"Lagian lo kenapa bisa suka sama orang beda agama, sih?" tanya Gilang heran.

"Ya mana gue tahu, suka sama siapa mah enggak perlu alasan. Toh, yang memilih bukan hanya diri gue, tapi hati."

Gilang menggelengkan kepala tidak percaya."

"Gue harus gimana besok? Gue enggak tega lihat dia nangis. Kelihatan kecewa banget."

"Siapa juga yang enggak kecewa? Kalau gue di posisi Senja—"

"Jangan memposisikan diri lo dengan orang lain, karena pada dasarnya lo enggak pernah ada di posisi Senja, dan hati lo bukan hatinya dia," potong Fajar.

Gilang terkejut, "Lo kalau galau jadi bijak, ya?"

Fajar mencibir, ia kemudian memilih pulang daripada tidak mendapatkan pencerahan sama sekali. "Gue cabut."

"Hehehe, oke. Hati-hati, gue enggak mau dapet kabar kalau lo kecelakaan kayak di film-film."

"Hush! Mulut lo minta di kandangin, ya?"

Gilang tertawa, "Maaf, khilaf."

Fajar akhirnya pulang. Dengan segala rasa yang bercampur aduk di hatinya.

...

Senja dan Fajar berpapasan di koridor. Fajar tersenyum, sementara Senja langsung pergi ke kelasnya. Membuat Davina yang melihat itu dari jauh segera mengejar Senja.

"Nja! Kenapa?"

Senja menarik Davina ke dalam kelas dan menceritakan tentang kebenaran dari sosok Fajar. Davina yang mendengar itu sangat terkejut sampai matanya melotot.

"Lo serius? Yakin? Dia bohong kali!"

Senja memejamkan mata, "Gue juga berharap gitu."

"Gila, dia sosok yang baik banget. Kalau di suruh jadi perwakilan ke panti jompo, dia selalu mau. Gue enggak nyangka banget, Ya Allah!"

"Gue enggak tahu harus gimana lagi."

"Hm, andai lo enggak tanya soal ini ke Fajar, pasti lo lebih jatuh cinta sama dia."

Senja mengangguk. Ia tahu ini adalah yang terbaik untuk hidupnya.

"Tapi lo juga enggak boleh egois."

"Egois? Kenapa?" tanya Senja.

"Fajar pasti berat buat mengakui itu, dia butuh waktu. Lo harus ngerti perasaannya. Karena, pasti dia takut kehilangan lo kalau lo tahu soal ini."

"Iya. Tapi gue belum siap buat ngobrol sama dia."

Davina menepuk pundak Senja, "Gue tahu lo kuat. Lebih baik sekarang lo pikirin gimana kedepannya. Lo enggak boleh ngegantungin perasaan orang. Jangan membuat jarak terlalu lama."

Senja menghembuskan napas dan mengangguk. Ia sudah dewasa untuk menyikapi hal ini. Tidak seperti kemarin yang langsung menangis padahal sedang ada di tempat umum.

"Tapi, Mama lo tahu enggak?"

Senja menggeleng, "Gue takut buat bilang ke Mama."

"Kenapa?"

"Kemarin gue percaya diri bilang kalau Fajar anak yang taat agama, soleh. Eh, taunya taat agama di dalam agamanya, bukan dalam agama kita."

Davina ikut merasakan sedihnya.

"Tapi, gue enggak tahu kalau ada siswa non muslim."

"Di kelas ini juga ada, masa' lo enggak tahu?"

Senja menggeleng, "Siapa?"

"Itu...., Alex. Dia pendiam banget emang. Jarang gabung sama temen-temen yang lain."

"Kenapa?"

"Dia kan sibuk banget sama promosi sekolah, ikut lomba sana-sini."

Senja mengangguk, jika dilihat memang benar Alex anak yang sangat pintar.

...

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar