Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Berbagai hal yang menjadi prioritas Fajar sudah selesai ia lakukan. Seperti menjemput adiknya dari sekolah dan memastikan adiknya sudah makan malam. Malam ini Fajar hanya diam dengan gitar di pangkuannya. Soal Senja, gadis itu masih tidak mau menyapanya.
"Bang," panggil Clara.
"Kenapa?"
"Abang galau, ya? Tumben main gitar?"
Fajar tidak pernah membohongi adiknya demi menutupi sesuatu, walaupun menyakitkan, akan lebih menyakitkan jika adiknya tahu dari orang lain.
"Iya."
Clara duduk di kursi yang ada di dekat meja belajar, "Kenapa?"
"Menurut Rara, Kak Senja itu orangnya gimana?"
Clara terlihat berpikir, belum tahu ke mana arah pembicaraan yang akan di bicarakan Fajar. "Kak Senja itu cantik banget, senyum nya bikin orang meleleh, hehe."
Fajar menganguk setuju, "Rara sayang enggak sama dia?"
"Kalau Kak Senja enggak nyakitin Abang, Rara sayang, kok."
"Rara nyangka enggak kalau kita sama Kak Senja itu ternyata beda agama?"
Clara sangat terkejut, ia beralih ke sebelah Fajar. "Maksud Abang?"
"Kak Senja muslim."
"Serius, Bang? Abang tau kalau Kak Senja muslim sejak kapan?"
"Dari awal."
"Terus Abang enggak bilang ke Kak Senja gitu?"
Fajar menggeleng, "Salah Abang, sih."
"Bukan salah Abang sepenuhnya, kok. Rara yakin alasan Abang enggak bilang itu karena Abang takut kehilangan Kak Senja, kan?"
"Iya, Ra."
Malam itu sangat dingin, perlahan Clara memeluk Fajar, menyalurkan kehangatan dan juga semangat. Ia sangat jarang melihat kakaknya jatuh cinta, apalagi sampai berbeda agama. "Abang harus kuat, gimana pun nanti Abang sama Kak Senja, Abang harus terima, ya. Kak Senja juga pasti tahu gimana perasaan Abang."
Fajar merasakan matanya memanas, "Walaupun kelihatannya kita baru kenal sebulan dua bulan, tapi Abang sayang banget sama dia."
"Sayang, kan, enggak butuh lama atau baru kenal, Bang."
"Maafin Abang, ya."
Clara melepaskan pelukannya, "Kenapa?"
"Rara sayang sama Kak Senja, kan? Itu berarti Abang udah bikin Rara sama orang yang Rara sayang jadi jauh."
"Rara enggak masalah, kok. Tapi, Rara mohon Abang sama Kak Senja enggak boleh musuhan. Harus tetap komunikasi, ya?"
Fajar mengangguk, mengelus lembut puncak kepala adiknya. Ia bersyukur setidaknya Clara tidak menyudutkannya.
"Kalau gitu Rara ke kamar, ya. Mau belajar."
"Nanti kalau ada yang enggak paham, tanya Abang, ya."
Clara megangguk dan keluar dari kamar Fajar, meninggalkan Fajar sendirian dengan gitar yang kini berada di atas kasur.
Ia meraih gitarnya dan mulai memainkannya, "Tolong tanyakan pada Tuhanmu, bolehkah aku yang bukan umatnya mencintai hambanya...."
...
Davina sedang berada di rumah Senja, ia kini duduk di ruang tamu bersama Arya juga. Membuat degup jantungnya lebih cepat karena bisa duduk berhadapan dengan Arya.
"Ini pertemuan kedua kita, ya?" tanya Arya kepada Davina.
Davina mengangguk malu, membuat Senja tertawa tertahan.
"Mas Arya ini kuliah?"
"Iya. Kamu rencana mau kuliah di mana?"
Davina yang di tanya seperti itu langsung menjawab dengan terbata, "A-anu, belum tau, Mas."
"Kok belum tahu? Harus segera di rencanakan, ya."
Davina mengangguk cepat, "Siap!"
Senja tertawa, menurutnya Davina seperti anak kecil yang di janjikan membeli balon.
"Kalau gitu, aku pulang dulu, Nja." Arya berdiri, berpamitan.
"Buru-buru banget?"
Arya mengangguk, "Mau ada kerja kelompok."
"Oh, oke."
Sepeninggal Arya, Davina langsung tersenyum lebar, sampai deretan giginya terlihat. "Gila gila gila! Senang banget gue!"
Senja mendengus, "Inget sama Gilang!"
"Dih, gue enggak suka sama dia! Lagian, Mas Arya jauh lebih waras dari Gilang."
Membicarakan soal Gilang membuat Senja teringat dengan Fajar. Biasanya kalau malam datang, Fajar akan menanyakan aktivitas Senja. Lalu, dengan senang hati Senja akan membalasnya dengan senyuman yang terukir di wajah manisnya.
"Udah! Lo ngomongin Gilang malah keinget sama Fajar, kan?"
Senja mengangguk.
"Gue nginep di sini aja, ya? Tapi gue enggak enak sama nyokap lo."
"Enggak apa-apa, justru kalau rame, Mama bakal seneng."
Yang di bicarakan muncul setelahnya, Ayunda datang dengan tiga gelas jus jeruk yang terlihat segar. "Ini di minum dulu. Mama mau ke depan, duduk-duduk di teras." Ayunda mengambil satu gelas jus jeruk dan pergi ke teras.
"Mama lo awet muda, ya? Kayak Tante gue."
Senja mengangguk, "Padahal Mama enggak pake skincare apa pun."
"Udah cakep dari sana nya." Davina mengambil jus jeruknya. "Gue minum, ya."
Senja mempersilakan, ia juga meminum jus miliknya. Kini, rumahnya kembali sepi karena saudara-saudaranya sudah pulang semua. Untung saja ada Davina yang bersedia menemani.
"Eh, lo pindah ke Bandung, kan, karena mau ngerawat Nenek lo, terus sekarang gimana? Lo tetap di Bandung, kan?"
Senja mengerti maksud pertanyaan Davina. Sebenarnya, ia sendiri juga belum tahu akan bagaimana kedepannya. "Gue belum tahu, tapi, rumah lama udah di tempatin sama adiknya Papa."
Davina mengangguk, "Kalau bisa lo tetap di sini aja, lagian masa' lo mau balik ke sekolah lama?"
"Iya juga. Lihat nanti, deh. Keputusan ada sama Mama."
Malam semakin larut, Davina dan Senja menghabiskan waktu dengan berbincang soal apa saja. Sampai akhirnya Davina mengantuk dan mengajak Senja untuk tidur.
...
Ada banyak alasan kenapa Gilang tidak mau mencoba berenang. Salah satunya adalah, ia dulu pernah tidak sengaja terpeleset di depan umum saat berlari di tepi kolam. Membuatnya merasa malu dan lututnya membiru akibat memar.
"Ayo, cupu lo, ah. Masa' cowok enggak berani renang?"
Gilang mencibir, "Takut gue, Jar!"
"Ya udah, nilai olahraga lo di materi ini kosong, loh."
"Enggak apa-apa."
Fajar tertawa, dari dulu jika ada materi berenang di pelajaran olahraga, Gilang selalu menghindar sampai rela nilai nya kosong tiga tahun berturut-turut. Tidak habis pikir kenapa ia bisa se takut itu dengan kolam renang.
Kini, Gilang duduk di tribun sendirian, ia hanya melihat teman-teman nya turun ke kolam satu persatu. Guru mata pelajaran olahraga bahkan sudah memaklumi Gilang yang tidak ikut terjun. Bagaimana pun semua orang memiliki ketakutan tersendiri.
Merasa bosan, Gilang iseng berjalan-jalan di sekitar kolam, ia sesekali terkena cipratan air. Sebenarnya, ia sangat ingin ikut berenang, namun ia tidak ingin menambah rasa takutnya.
Padahal beberapa orang bilang, untuk melawan rasa takut terhadap sesuatu, maka kita harus berani menghadapi rasa takut itu dengan melakukan sesuatu tersebut.
"Lang! Sini! Yakin lo enggak mau?" Fajar berteriak dari tengah kolam, diikuti ajakan teman-teman yang lain.
Gilang menggeleng. Balas berteriak, "Enggak, bro! Gue udah pernah renang!"
Karena Gilang merasa lapar, akhirnya cowok itu memutuskan untuk jajan mie instan di kantin kolam renang. Dari sana, ia bisa melihat Fajar mengatakan sesuatu, "Gue pesenin mie goreng yang isi dua sama telur ceplok!"
...