Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pelan - pelan Tumiran mulai mampu melangkah tanpa menggunakan tongkat, Namun keseimbangannya belum sempurna jadi mesti harus pelan melangkah. Ia mengitari rumah Gentur yang unik. Ditemani Parti Putrinya Tumiran ia banyak bertanya sepeninggal dirinya.
Setelah diceritakan bagaimana perjuangan Gentur dan Parti setelah simbok meninggal, Tumiran merasa bersalah.
“Maafkan aku nak, bapakmu memang tidak berguna, selalu menghambur- hamburkan uang dan habis di meja judi, nenggak minuman dan segala yang buruk telah aku lakukan di masa lalu.”
“Ya, sudah Pak, mumpung masih ada kesempatan bertobat, kembali mendekat pada yang Menciptakan.Berdoa, bersembahyang mohon ampun atas dosa – dosa yang dilakukan selama ini. Bapak mau nyekar ke makam simbok?”
“Iya, nak. Aku pengin minta maaf dihadapan makam simbokmu.”
Parti menggandeng bapaknya, pelan- pelan jalan menuju ke makam simbok. Sepanjang hari tampaknya bapaknya tidak banyak bicara, hanya diam dengan mata yang berkaca- kaca. Sepertinya ada banyak penyesalan telah meninggalkan keluarganya.
Hidup dengan selingkuhannya ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Ia kemudian banyak bercerita kepada Parti bagaimana perlakuan selingkuhannya. Galaknya minta ampun, Bahkan ternyata selingkuhannya itu orangnya sangat perhitungan. Tumiran disuruh kerja keras, menjadi buruh pikul, sedangkan uang yang terkumpul ternyata digunakan senang - senang dengan lelaki lain. Karena stres dan tertekan sebagian uang yang diminta oleh selingkuhannya tersebut digunakan lagi untuk membeli minuman dan main judi.
Hidupnya benar- benar berantakan. Sampai kemudian ia pernah di rawat di rumah sakit jiwa karena gangguan kejiwaan. Tidak betah lama tinggal di rumah sakit jiwa ia pulang ke selingkuhannya tersebut, tapi ia sering dipasung karena tiba- tiba saja Tumiran suka berteriak teriak dan mengamuk.
Hingga pada suatu ketika rantainya dilepaskan dan istrinya lengah maka ia nekat pergi dan pulang ke desa tempat istri pertama yang disia – siakannya. Tumiran tidak tahu bahwa ketika minggat dulu nyawa istrinya tidak terselamatkan. Dengan tenaga dan jiwa yang masih terguncang ia nekat pergi dan pulang kembali ke anak- anaknya.
Ia tidak percaya dan pangling dengan rumahnya. Kenapa semegah ini. Penyesalan datang dan ia takut pada Gentur yang pasti akan sangat marah melihat dia kembali. Antara sadar dan tidak sadar ia melihat sosok gagah di depannya. Benarkah ia gentur, semakmur beginikah?
Di makam Tumiran langsung memeluk nisan istrinya. Bergetaran tubuhnya. Ia menumpahkan segala penyesalannya, sambil berteriak – teriak.”
“Ssssst, Pak, malu di dengar orang… tidak elok berteriak teriak begitu.”
“Aku menyesal nak…”
“Tapi, jangan seperti orang gila begitu…”
“Aku memang pernah gila…”
“Ya, tapi setidaknya….”
Bapaknya kembali meraung, hingga ada beberapa petani yang sampai datang ke kuburan untuk melihat apa ya terjadi di kuburan.
“Pak, pak itu dilihat banyak orang malu…”
Tumiran bapak dari Gentur dan Parti itu kemudian menengok kanan dan kiri. Sudah ada beberapa orang yang memperhatikannya. Yah, daripada membuat malu ia dan anaknya, ia memutuskan untuk meninggalkan makam.
“Ayo, nak maaf tadi aku berteriak - teriak. Yuk pulang supaya tidak menjadi tontonan.”
“Baru sadar Pak, dari tadi sudah jadi tontonan.”
Sambil menunduk Parti menggandeng bapaknya. Sejelek - jeleknya kelakuan bapaknya yang tetap saja ia yang membuat lahir ke dunia. Ia berharap bapaknya bisa menyadari kesalahannya di masa lalu.
Untuk sementara bapaknya tinggal di rumah Gentur. Di rumah Gentur bapaknya masih sering melamun, dan kadang tersenyum, serta menangis tiba- tiba. Rupanya ia belum sembuh benar dari gangguan kejiwaannya.