Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Terjal
Suka
Favorit
Bagikan
13. Chapter 13

 Tatu, demikian yang dialami Gentur bila mengingat kelakuan bapaknya. Sepertinya tidak sanggup bila ia diminta memaafkan bapak yang tidak sengaja menyebabkan kematian simboknya. Laki- laki tidak berguna itu dulu tidak pernah bisa membanggakan anak- anaknya, kecuali menyisakan tatu atau luka bathin yang susah dihilangkan.

Tetapi kalau mengingat bahwa seburuk- buruknya kelakuan bapaknya ia berjasa telah menghadirkan dia di dunia ini. Paling tidak sebetulnya ada bakat terpendam yang pernah diwariskan oleh ayahnya. Kata kakeknya Mbah Sumo sebenarnya kemampuan seni bapaknya lumayan, sayangnya sejak kenal dengan judi dan minum – minuman keras, bapaknya menjadi liar, apalagi sebetulnya ia tidak betul mencintai simboknya. Bapaknya sebetulnya mempunyai kekasih yang dicintainya namun mengalami kecelakaan jatuh dari jembatan, lalu terjun ke sungai, jatuhnya membentur bebatuan keras sehingga nyawanya tidak tertolong.

Sejak patah hati ditinggal kekasihnya kelakuan bapaknya berubah. Ia menjadi mudah tersinggung. Sampai akhirnya ia dijodohkan dengan simboknya dan mempunyai dua orang anak yaitu. Sepanjang hari simboknya mengalami tekanan bathin karena kelakuan bapaknya. Kakeknya berkali – kali menasihati agar menghentikan kebiasaan berjudi dan minum – minum, namun tidak berhasil. Tumiran semakin hari semakin tidak bisa dinasihati. Sawah yang diwariskan pada Tumiranpun habis dijual untuk modal berjudi.

Bila ingat kelakuan bapak aku rasanya ingin menghilangkan kenangan terhadapnya. Ia cerita terburuk yang hadir dalam ingatannya. Air mata rasanya tak terbendung bila mengingat nasib simboknya. Sekarang ia sudah bahagia, kesuksesannya melalui masa masa sulit membuatnya semakin yakin akan pilihan hidup sebagai seniman. Pelan – pelan ia bisa membangun istana megah bagi dirinya meskipun rumah istana itu tidak berarti sama dengan istananya Sultan Jogja, tapi paling tidak ia bisa memberi sentuhan artistik dan unik bagi rumahnya.

Mengembangkan rumah yang semula kecil di tengah desa tidak mudah, aku mesti merayu tetangga untuk menjual rumahnya, Sayangnya meskipun hidup sederhana dengan modal pertanian jarang yang mau menjual rumah mereka. Aku jadi berpikir, tidak perlu besar rumah yang dibangun dari tetesan keringat sendiri. Yang penting nyaman dan Nyeni. Aku perlu mencari gebyok ukir serta beberapa asesoris rumah yang sesuai dengan kemauanku.

Lama- lama rumah yang berupa gedek bambu sudah berubah dengan rumah bernuansa joglo dengan menambah sedikit demi sedikit kayu – kayu bekas orang kaya dengan ukiran- ukiran unik terbuat dari jati tua, dipadu-padankan dengan rumah bernuansa limasan dan joglo.

Sesaat tengah melamun di teras rumah, aku melihat kakek tua sempoyongan dengan tongkat menyangga tubuhnya yang rapuh. Aku mencoba mengingat – ingat siapakah orang tua itu. Rasanya dari sekilas wajahnya pernah melihatnya. Kakek itu memandang dengan mata kosong, di semburat wajahnya nampak rasa takut, kemudian dengan tertatih – tatih ia berjalan bersimpuh di hadapanku.

Mata berkaca- kaca, sambil menunduk ketika beradu pandang denganku. Siapakah kakek itu, ia sebetulnya belum setua kakekku namun gurat dahinya menandakan ia mengalami penderitaan berat, atau sedikit tertekan dan bahkan mengalami gangguan jiwa.

“Pak Dhe, kenapa bersimpuh di depanku, sini duduk, nanti biar istriku memberimu minum.”

Ia diam, matanya wajahnya menunduk, namun bisa dilihat ada tetesan air mata mengalir dari pipinya yang penuh keriput, di lingkaran matanya yang mencekung dengan kulit menghitam, bibir hitam karena keseringan merokok.

“Kamu sudah tidak mengenali aku, nak?”

“Ehm, aku benar- benar lupa siapa njenengan Pak Dhe…?”

“Ya, sudah, kalau begitu aku pergi ya… terimakasih, sudah menawari saya minum?”

Aku mencoba mengingat – ingat suara itu. Rasanya pernah mendengar suara itu, entah kapan.

“Benar, aku lupa siapa Pak Dhe sebenarnya, kalau mau makan, ayo silahkan masuk, nanti saya kasih pesangon secukupnya.”

“Tidak usah, terimakasih…, Salam untuk adikmu Parti?”

Bak disambar gledek, ia segera ingat sosok yang sangat ia benci. Tiba – tiba aku merasa berkeringat dingin, dinding jiwaku rasanya tiba – tiba bergetar mengingat masa kecil yang dilaluinya. Apakah ia Bapakku yang menghilang setelah menyiksa simboknya waktu itu. Lelaki tidak bertanggungjawab yang ingin ia lupakan.

“Jangan katakan ….”. Bibir ini tampak bergetaran menahan emosi menggelegak. Tapi melihat kerentaan sosok di depan mataku rasanya aku tidak tega untuk mengusirnya. Meskipun ia telah menyia - nyiakan keluarganya, namun ia sudah terhukum dengan nasibnya kini yang merana.

“Benarkah kau bapakku yang dulu minggat?”

Sosok di depanku itu mendekat dan mendekap kakiku, air matanya membasuhi telapak kakiku yang yang hanya mengenakan sandal karet. Betapapun bencinya melihat sosok ringkih yang mengiba di kakiku benar – benar membuatku benar- benar bimbang.

Lantas aku tiba – tiba spontan teriak.

“AHHHHHHHHH” Setelah itu rasa benciku tiba – tiba lenyap. Rasanya aku tidak harus arogan memperlakukan sosok tua renta yang penuh kerutan seperti pesakitan. Bagaimanapun ia adalah bapak kandungku berkat dia aku bisa melihat dunia.

Dengan sedikit bergetar. Aku membangunkan dia.

“Bangun, bangun pak, aku tahu susah untuk memaafkan kelakuan bapak di masa lalu, namun bagaimanapun waktu sudah berlalu. Dari situ aku belajar menghargai hidup, bekerja keras, dan mampu membuktikan bahwa aku bisa menjadi orang dengan kekuatan jiwaku. Aku banyak belajar dari meninggalnya simbok dan harus membantu kehidupan adikku.

Tidak terasa tetesan air mata memburai, bibirku terkatub rapat dengan meskipun bergetaran menahan emosi yang membuncah. Ia datang saat aku sudah sukses. Aku akan durhaka bila membiarkan pergi dengan keadaan bapak yang ringkih seperti itu. Pelan – pelan aku memapah tubuhnya. Karena tiba - tiba ia pingsan. Tampaknya kakek tua yang ternyata bapaknya itu baru menempuh perjalanan jauh dengan keadaan tubuh ringkih seperti itu. Ia juga seperti menahan lapar. Kubaringkan di sofa depan.

Aku sejenak memandangi laki - laki rapuh itu. Apakah ini sebuah karma dari segala tingkah lakunya di masa lalu. Pelan - pelan kuusap sisa air mata dari kontur matanya yang mencekung. Bibirnya menganga menampakkan giginya yang sudah banyak yang tanggal.

Di depannya aku menelepon Parti adikku untuk datang ke rumah.

“Dik, datang ke sini ya, cepat?”

Istriku yang muncul dari dapur heran melihat ada orang tua yang terbaring lemah di sofa.

“Siapakah yang terbaring itu Mas?”

Sejenak aku memandangi istriku, sebuah sorot mata penyesalan, juga sedikit dendam yang tersisa dari masa lalu.

“Kamu kenal Mas?”

“Ia bapakku seperti yang pernah kuceritakan dulu?”

Istirah Istriku menepuk – nepuk pundakku.

“Bagaimanapun ia bapakmu Mas?”

Aku mengangguk pelan. Di depan Parti langsung menanyai diriku.

“Kenapa memanggilku Mas Gentur.”

“Kamu lihat orang tua yang berbaring itu, kalau kuceritakan jujur apakah kamu akan memaafkannya.”

“Siapa dia Mas?”

“Kamu ingat siapa yang menyia – nyiakan simbok dulu?”

“Bapak!”

“Lihat baik – baik… dia bapak kita”

Parti kaget. Ia tidak menyangka dipertemukan dengan bapaknya. Tetapi ia hampir tidak mengenalinya. Sudah serenta ini. Waktu itu Parti masih kecil belum tahu bagaimana rasanya benci, tetapi bagaimanapun dulu ia selalu rindu akan sosok bapaknya.

Kini bapaknya ada di hadapannya dalam keadaan yang jauh dari bayangannya. Parti mendekat, memegang wajahnya, melihat seakan - akan tidak percaya apa yang terlihat di depannya.

Ia tidak peduli akan kebencian yang tertanam lama, bagaimanapun ia orang tuanya, tidak tega melihat sosok yang terbaring ringkih tersebut. Ia telah menerima karmanya jadi sekarang tidak perlu membencinya lagi.

Segera ia merangkul erat. Ia tumpahkan air matanya. Tiba – tiba sosok renta itu terbatuk – batuk. Ia siuman. Istri Gentur buru buru mengambil minuman untuknya.

“Ini Minum Pak, tadi bapak pingsan.”

“Benarkah kamu Parti anakku ?”

Mata laki – laki itu berkaca- kaca lagi, seakan seribu penyesalan membandang lewat sorot matanya.

 Parti segera memeluknya. Sebuah kerinduan yang akhirnya tertumpahkan.

“Maafkan bapakmu nak, kamu jadi merasakan penderitaan yang seharusnya tidak kau rasakan seandainya bapakmu ini waras.”

“Sudahlah, Pak, sudah lama berlalu. Yang penting kini bapak sudah kembali.”

“Iya, tapi bapakmu di sini hanya merepotkan.”

“Tidak, kalau Mas Gentur tidak menerimamu aku dengan terbuka akan merawatmu Pak?”

“Pasti merepotkanmu.”

“Enggak… sudahlah sekarang bapak makan dulu, pasti lapar dan haus khan.”

“Iya…. Aku sengaja minggat dari Wonosobo, habis di sana aku tidak betah. Istriku meninggalkanku. Sedangkan aku tengah sakit- sakitan begini.”

“Sudahlah sekarang istirahat dulu. Mbok Wedok, tolong siapkan kamar untuk Bapak!”

“Baiklah Mas.”

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar