Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menutup mata terhadap apapun pendapat orang, Bahkan ketika harus mendengar bahwa simbokku harus dijadikan gunjingan orang karena setiap hari mendengar pertengkaran antara simbok dan bapak. Simbokku yang tahunya hanya bisa masak dan rutin pergi ke sawah untuk menyiangi padi, mencabut rumput pematang, memastikan tidak ada ulat atau burung emprit yang merusak padi yang ia garap.
Bapakku, lebih suka main judi, jarang pulang malam dan lebih sering kelayapan di satu pertunjukan dan pertunjukan lain demi main dadu. Suka- suka saja ke sawah. Malah lebih senang tidur siang. Malasnya bapak membuat simbok terus mengomel dan sering membuat bapaknya naik pitam. Kadang spontan ia menonjok dan menampar pipi simbok sampai lebam.
Melihat kelakuan bapak rasanya kepalan tanganku ini ingin balik menonjoknya. Tapi aku sadar ia masih bapak yang harus kuhormati, meskipun sejak lama aku membencinya.
Simbokku, adalah orang yang kuat, meskipun mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya tetap setia. Tapi omelan simbok memang membuat panas kuping, apalagi bapak yang sukanya kelayapan dengan para preman dan penjudi. Dipastikan ia jarang menang ketika berjudi. Dulu sempat punya sawah beberapa petak namun akhirnya dijual dengan harga murah karena bapak butuh uang untuk berjudi.
Aku (Gentur ) merasa bapak adalah sosok menyebalkan. Kalau boleh memilih aku akan membuang sosok bapak yang tidak pernah sama sekali membuatku bangga. Kalau istilah kasarnya: Asu tenan. Tapi aku selalu berharap bapak bisa tobat dan kembali bisa menyayangi keluarga. Tapi ternyata jauh panggang dari api, semakin hari kelakuan bapak bukannya semakin baik malah semakin membuatku benci.
“mbok, bapak lama – lama kok menyebalkan sih?!”
“Yah, itulah bapakmu. Gara- gara main judi semuanya jadi kacau, makanya Tur kamu jangan meniru kelakuan bapakmu. Dia sih wis gendeng, edian tenan.”
“Kalau simbok disakiti saya yang maju saja Mbok?”
“Nggak usah Tur, bagaimanapun dia bapakmu, coba dekati dengan cara yang lebih halus, kalau mbokmu itu bisanya ya hanya dengan mengomel. Habis kalau tidak ngomel dada simbok rasanya sakit, menahan kesal bertahun – tahun. Kalau tidak mengingat mbahmu Tur aku sudah minggat dan minta cerai.”
“Jangan Mbok, kalau simbok pergi lalu masku, aku, sama dik Parti bagaimana?”
“Hemmmmmmh, aku sudah tidak bisa mikir lagi Tur, pasrah saja semoga Gusti Allah memberi peringatan pada Bapakmu agar insyaf.”
“Kalau ia bukan bapakku sudah kuremes- remes, mBok, sebel aku.”
***
Malam lengang dan sepi. Gentur tepekur di selasar rumahnya, sambil mendengar suara burung hantu yang bertengger di ranting gerumbul bambu, ia tidak kuasa menahan air mata. Sedih rasanya melihat keluarganya. Ia pengin simbok bisa akur dengan bapaknya dan menjalani kehidupan sebagai petani sederhana dan menerima apapun hasil bertaninya dengan penuh rasa syukur. Namun sejak kenal judi bapaknya sangat berubah. Sebentar – sebentar marah, sebentar- sebentar memukul, dan memaksa simbok mencari utangan pada tetangga. Sementara bapaknya hampir setiap malam tidak ada dirumah. Kalau sedang dirumah minta dibuatkan kopi, minta itu minta ini. Maka simbok seringkali sewot dan ngomel.
“Pakmu, pakmu, gaweyan kok main judi… pantesan sawah habis, uang tidak pegang. Punya uang sedikit dipakai untuk judi, kalau tidak ingat bapak, mbokmu aku sudah pergi dari sini. Tidak kuat aku pakmu, pakmu.”
“Pergi sana, kerjaan ngomel melulu sepanjang hari, pengang kuping ini tahu….”
“Ndak ngomel bagaimana kalau pulang bukannya membawa uang. Pulang- pulang bawa muka masam, kalah lagi, kalah lagi. Apa sih keuntungan judi, aku tak takon Pakmu.”
“Buat hiburan. Hidup khan perlu hiburan.!”
“Memang hidup ini hanya hiburan po?”
“Ah, ceriwis, buatkan kopi sana daripada ngomel.”
“Mana uangnya?”
“Uangnya. Yang kau simpan dikutangmu itu?”
“Kalau masalah uang, matamu tajam. Ini buat sangu anakmu sekolah.”
“Tidak perlu diberi sangu, toh sekolah tidak harus bawa uang.”
“La kalau mau jajan bagaimana?”
“Makan gula merah saja.”
“Oalah anakmu nanti bodoh, kurang gizi.Kamu mau anakmu bodo.”
“Ora urus!”
“Aku mau tidur dulu. Mendengar omelanmu, kupingku rasanya mau meledak.”
“habis kamu membuat istrimu ini kesal.”
Itu yang kudengar dari pembicaraan bapak dan simbok setiap malam. Betapa sedihnya mendengar pembicaraan mereka. Kalau sudah begitu aku terus pergi ke halaman ambil ranting dan menggambar. Kugambari halaman gilar- gilar depan rumah Pak Lurah. Kadang aku membuat patung dari tanah yang kubasahi dengan air. Aku menggambar bapak mirip setan, tapi ketika kugambar ibuku mirip dengan Madonna artis Hollywod yang kukagumi.
Dari jauh kudengar suara gamelan dari pojok dusun tempat Mbah Suro. Mbah Suro itu sering ikut dalang Ki Purbo Pengrawit dalang kondang zaman dulu. Senang menikmati alunan gamelan membuat aku terseret dalam alunan gamelannya yang membuat aku semakin merasa bahwa bila besar nanti aku akan membeli seperangkat gamelan, membuat pertunjukan- pertunjukan menarik sehingga bakat seni yang mengalir dari mbahku mengalir ke diriku. Simbahku Mbah Soma adalah pengendang jempolan, juga bisa menari dengan lincah. Mbah Soma itu orang tua bapakku. Aku bingung mengapa bapakku tidak mirip dengan Mbah Soma. Terutama kelakuannya yang menyebalkan. Beda jauh dengan simbah (aku menyebutnya begitu). Tutur kata simbah yang halus membuatku lebih senang tinggal di rumahnya. Kalau aku tinggal bersama simbok dan bapak, setiap hari hanya disuguhi pertengkaran tidak habis – habis.
“Le, Hidup itu susah ditebak. Kadang kita mau jalan ke sana (seperti yang kita mau) tapi kenyataannya Gusti Allah menghendaki lain. Apa yang kita mau ternyata bukan kersane Gusti. Maka syukuri saja jalan yang sudah kita lewati.”
“Maksudnya bagaimana, kok aku bingung dengan perkataan simbah?”
“Nanti kamu akan mengerti Le. Saat ini kamu sedang diuji dengan kelakuan bapakmu membuatmu sedih. Tapi, kamu mesti sadar itu mungkin jalanmu untuk meraih jalan lain dari perjalanan hidupmu nanti. Jalan itu tidak lurus, akan selalu berbelok, naik, turun. Kadang jalannya halus, kadang jalannya terjal berbatu. Kamu harus bisa melewatinya bukan menghindarinya.”
“Nggih Mbah.” Saat itu aku mencatat dalam hati tapi benar- benar tidak tahu apa yang dimaksud simbah.
Suara gamelan masih terdengar semakin malam semakin seru rasanya dan aku akhirnya tertarik untuk pergi ke rumah Mbah Suro, ingin mendengar dan melihat langsung bagaimana gamelan dimainkan. Di Desa kesenian masih menjadi satu kegiatan yang menyatu dengan kehidupan petani. Setelah lelah bekerja dari pagi hingga lepas senja maka malam hari para petani mesti punya hiburan. Ya hiburannya entah menonton ketoprak, mendengarkan uyon- uyon gamelan atau menonton wayang hampir setiap minggu terutama pada bulan- bulan tertentu di mana ada ritual khusus dari orang- orang kaya ataupun karena ada mantenan dari orang- orang kaya yang mempunyai uang lebih untuk menggelar pertunjukan.
Hampir setiap malam aku bisa mendengarkan suara gamelan, karena itulah satu- satunya hiburan masyarakat desa di pelosok. Saat ini aku masih berumur 12 tahun masih kelas 6 SD. Tetapi seusiaku rasanya aku seperti cepat tua karena ternyata setiap hari harus menahan sedih karena pertengkaran orang tua yang selalu kudengar. Saat pulang dan orang tua masih bertengkar, aku langsung pergi dan memilih tidur ditempat Simbah.