Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah akhirnya Istirah tahu hubungan gelap dengan Tumirah ia sangat marah, dan memutuskan pulang ke rumah orang tuanya. Tumirah yang merasa berdosa dan tidak tega mengkhianati Istirah berusaha datang dan merayu Istirah untuk kembali pada Gentur.
Tentu tidak mudah membujuk orang yang selama ini telah dikhianati oleh suaminya sendiri. Selama ini kesetiaan Istirah benar- benar luar biasa, aku malah tergoda pada perempuan lain. Lebih sakit lagi karena dari hasil perselingkuhanku mendapatkan 3 anak yang imut – imut dan pintar pula. Semakin sakit hati rasanya. Bagi istirah itu sebuah penderitaan yang sangat berat karena selama ini ia belum kunjung mendapatkan anak hasil pernihahan sah denganku.
Aku merasa berdosa dan bersalah. Berbulan- bulan aku merayunya, sampai suatu saat Tumirah sakit dan nyawanya tidak tertolong. Aku sedih, dan kehilangan namun Istirah akhirnya datang padaku dan mau memelihara anak – anakku hasil perselingkuhanku dengan Tumirah. Meskipun ia sakit hati ia mau memelihara layaknya ibu kandung. Sungguh luar biasa Istirah.
“Is, aku bingung hatimu itu terbuat dari apa, kau sudah kusakiti, sudah kubuat sedih, tapi masih setia padaku, maafkan aku ya.”
Istirah menunduk, lalu kemudian bangkit mendekatiku. “Aku mengerti perasaanmu yang pengin punya momongan tapi aku belum bisa mengabulkannya. Itu anak- anakmu akan kurawat seperti anak kandungku sendiri, kasihan ia sudah tidak punya ibu.”
Aku merangkul Istirah erat- erat. Ia membalas pelukan dengan memelukku erat- erat, cinta Istirah sungguh luar biasa, tidak terasa air matanya mengalir deras dan membasahi bajunya. Aku menciumnya dengan penuh kasih sayang. Aku merasakan cinta sejati dari seorang perempuan desa yang sederhana, tidak pernah neko – neko dan selalu mendampingiku saat suka maupun duka.
Membuat patung itu sebuah proses yang memakan waktu cukup lama.
Dan satu persatu masalah keuangan bisa teratasi seiring dengan pesanan yang mulai mengalir. Mulai banyak seniman yang sering menyambangi rumah gubukku ini meskipun hanya untuk sharing dan wedangan ala kadarnya. Mereka tercerahkan saat diskusi denganku. Akhirnya aku sering diajak pameran atau diberi proyek, entah membuat patung, melukis atau sekedar main teater. Semua kujalani dengan ikhlas.
“Mbok wedok, belikan gula dan makanan untuk tamu – tamu kita.”
“Dari mana uangnya mas, di dompetku cuma ada 10 ribu.”
“Ah itu cukup. Belikan saja camilannya slondok.”
“Wah, tamunya khan tidak sembarangan mau disuguhi slondok saja? Tidak dijamu makan?”
“Ah, anggap saja, kita lupa, yang kita punya ya suguhkan saja, yang penting khan kita iklas, kalau kamu tidak tega, pinjam dulu pada Simbah.
“Huss. Kok jadi merepotkan simbah to Mas.”
Dari dalam simbah menyahut.
“Benar kata istrimu, kamu tidak perlu gengsi, simbah masih banyak tabungan. Ambil dan gunakan dulu.”
“Aku tidak ingin merepotkan simbah, itu untuk ditabung saja, atau dikasih cucunya yang lain.”
“Simbah masih ada untuk cucu yang lain, Heh Nok, ambil saja. Masak yang enak, kebetulan Simbah punya kelapa banyak, Bisa kamu jual juga.”
“Tidak usah banyak-banyak mbah.”
Ketika belum banyak pesanan, kehidupan kami benar- benar memprihatinkan, sering dan terlalu sering malah dibantu Simbah. Untuk pergi ke pasar saja mesti ngalah berjalan kaki, Untuk membeli peralatan terpaksa jual kelapa hasil dari kebun yang tidak seberapa.
“Le, kamu mesti teguh dan tetap semangat menjalani kehidupan yang terjal. Jangan sekali – sekali nengok terlalu ke atas, membanding- bandingkan dengan orang yang lebih sugih (kaya), nanti kamu sakit hati sendiri. Meskipun tidak punya – apa apa kamu tetap harus bisa menyambut tamumu sebagus mungkin. Itu tabunganmu agar dikenang orang karena segala kebaikanmu.”
Saat terpuruk, simbah selalu membuatku merasa bisa bangkit kembali. Dalam keadaan terpepet, dan dihimpit masalah keuangan, selalu muncul pertolongan tiba- tiba, entah dengan orang yang datang dan minta dilukiskan foto pacarnya, atau dimintai bantuan, untuk mendekor manten. Itu patut disyukuri, serupiah dua rupiah asal bisa membahagiakan ya diterima dengan lapang dada.
Aku selalu ingat sebuah nasihat agung, Gusti ora sare, meskipun aku tidak terlalu khusuk berdoa tetapi dalam setiap pekerjaan aku selalu memohon Tuhan memberikan jalan terang untuk sebuah usaha. Selama bertahun – tahun menjalani hidup sederhana, tidur di ranjang yang terbuat dari galar bambu, yang kalau tidur dan pindah posisi selalu berbunyi, krit- krit, sementara tembok dari bambu kadang tidak bisa mencegah hujan masuk rumah, karena tampiasnya sering membuat tempat tidur menjadi basah.
Dalam masa – masa memprihatinkan itu aku masih percaya akan ada jalan bagi diriku meraih sukses. Meskipun hanya lulusan SMP, aku sadar aku mesti tetap belajar, entah dengan buku bekas, atau buku buku yang dibawakan beberapa teman dari kota. Aku ingin punya wawasan luas mengenai seni budaya. Untuk itu selain tetap melukis dan membuat patung, aku juga sering ikut sanggar Teater, Ikut menari, pokoknya semua cabang kesenian yang kurasa bisa aku lakukan.
Hasil srawung dan sering belajar lintas seni membuat aku semakin sering diminta untuk terlibat dalam pementasan teater, bahkan aku mulai sering membuat properti, kostum yang digunakan untuk mendukung pementasan, entah ketoprak, teater maupun pertunjukan wayang wong.
Aku juga berusaha bergaul dengan seniman dari sekumpulan gunung di wilayah tengah Jawa ini, untuk memperkaya wawasan, memperluas cakupan pandangan pada seni budaya secara lebih luas. Ternyata pergaulan dengan para seniman itu membuka mata hatiku, membuka pikiran sehingga bisa berpikir jauh ke depan. Menghargai keragaman, mempelajari kearifan agama- agama yang ada di bumi Indonesia, dan tentu saja tetap melestarikan seni tradisi, sebagai upaya untuk menghormati budaya nenek moyang (leluhur) sebuatan kerennya memelihara kearifan lokal.