Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Terjal
Suka
Favorit
Bagikan
4. Chapter 4

Aku semakin terbiasa bangun pagi, berdoa dan mengucap syukur atas nafas yang masih diberikan. Gusti Allah. Sepagi pula aku diajak Simbah mencari rumput setiap Minggu. Hari Senin aku sekolah di SD negeri sebelah dusun. Kalau masalah pelajaran yang penting bisa mengikuti pelajaran. Tidak terlalu bodoh pintar tidak juga biasa saja. Namun kata guru aku sudah terlihat berbakat menggambar. Sepanjang pelajaran menggambar terus.

“Gentur, bukumu kenapa tidak ada catatannya, semua gambar, bagaimana belajarnya nanti.”

“Ya, dari gambar itu pak guru.”

“Memangnya gambar bisa membuatmu hapal dengan pelajaran.”

“Lebih mudah mengerti pak guru.”

“Oh ya pak guru lihat gambarmu bagus- bagus. Bulan depan ada lomba menggambar kamu ikut ya, nanti sehabis pulang kamu belajar dan berlatih menggambar biar tambah bagus.Biar siap mengikuti lomba.”

Pak Guru rupanya melihat bakat menggambarku. Sejak itu aku dibiarkan menggambar dan bahkan diberi buku gambar untuk menyalurkan bakatku. Sebuah kebanggaan jika sebagai murid yang tidak punya apa – apa selain bakat menggambar diperhatikan oleh gurunya. Aku bertekad tidak akan menyia – nyiakan kesempatan. Hampir selama sebulan penuh berlatih – berlatih sehabis sekolah agar bisa menang lomba di kecamatan.

Saatnya lomba aku deg- degan juga, takut mengecewakan kepercayaan yang diberikan Pak Guru kepadaku.

“Gentur, kamu sudah siap. Jangan tegang begitu, santai saja. Anggap saja tidak ada yang lebih baik dari kamu. Kamu tahu khan temanya. Buang pikiran yang aneh- aneh, jangan berpikir bahwa kau akan kalah. Pak Guru kamu menang.”

Gambar dari Gentur tampak meliuk- liuk, memainkan goresan spontan. Ia menggambar lereng Merapi, membuat deretan pepohonan di bawah Gunung Merapi yang digambarkan sangat subur serta seorang kakek yang memikul beban berat dipundaknya didepan rumput dibelakang ranting dan kayu bakar. Ia menggambarkan kakek itu tetap tersenyum meskipun harus membawa barang yang berat.

Akhirnya gambar Gentur menjadi pemenang dalam lomba se kecamatan.

“Pak Guru bangga kamu bisa memenangkan lomba ini. Terus semangat jangan kendor namun jangan lupa pula pelajaran bukan hanya menggambar.”

Mataku berkaca – kaca, ini kupersembahkan kepada simbokku yang telah meninggal beberapa waktu yang lalu. Ia tahu tidak mudah menghadapi hidup tanpa kedua orang tua didekatnya, namun ia masih punya simbah yang terus menjaganya. Meskipun sudah sepuh, namun tenaganya masih luar biasa. Ia kagum padanya. Ia janji tidak akan membantah atau merepotkan Simbah lanang dan wedok yang setia menjaganya.

“Tur, Kamu harus bisa menjaga adikmu Parti, harus mampu berdiri kokoh tanpa mengeluh. Tulang kita akan kuat menopang kehidupan yang penuh misteri, jika tidak pernah menyerah pada keganasan alam. Di Lereng ini simbah sudah tergembleng oleh alam. Ketika Merapi meletus, itu sebuah peringatan dari Mbah Petruk untuk waspada. Terkadang manusia sering lupa diri, tidak bisa menjaga alam, hanya mengambil tanpa memeliharanya. Pasir – pasir yang dimuntahkan Mbah Merapi itu menjamin kesejahteraan manusia. Manusia bisa memanfaatkan seperlunya. Jangan melebihi kemampuan sehingga mengambil terlalu banyak. Hidup itu perlu kerja keras tapi juga tidak harus ngoyo (bekerja melebihi kemampuan diri).Ketika Mbah Merapi memperingatkan bahwa Mbah Merapi akan memuntahkan lahar, dia berpesan kepada manusia untuk ingat bahwa alam telah memberi keberkahan manusia pula yang harus bersyukur dan mengucapkan terimakasih. Maka pada adat Jawa masih ada kenduri, masih ada saparan, Mauludan. Bukan untuk nyembah setan, namun hanya mengingatkan pada manusia bahwa kehidupan itu bukan hanya milik manusia, ada alam sekitar yang memberi banyak rejeki pada manusia, boleh mengambil hasil bumi, boleh memungut ranting dan menebang pohon yang sudah layak tebang, namun tidak lupa menanam kembali apa yang telah diambilnya. Kalau tidak pagebluk akan semakin parah dan manusia semakin sengsara.”

Terkadang panjang lebar Simbah sambil ngobrol ditemani singkong bakar dan rokok tingwe (ngelinting dewe yang berisi klembak, menyan dan tembakau serta sigaret yang selalu siap di meja.) Mengepul asap membumbung dengan aroma campuran yang semerbak wangi, namun kadang membuat batuk bila tidak terbiasa.

“Rumah kita memang hanya gedhek. (anyaman bambu kasar), kalau malam dingin njekut, kalau hujan air kadang masuk tanpa permisi, kalau siang panasnya sampai ke dalam. Bukan dinding yang membuat nyaman, yang utama adalah hati manusianya yang harus bisa menerima keadaan. Kalau tinggal di rumah gedhek tapi jiwa tentram akan lebih nikmat daripada hidup dirumah magrong- magrong tapi jiwa menjerit dan menderita seperti terpenjara., Jadi syukuri hidupmu bahwa sampai saat ini Gusti masih menyayangimu.”

Aku hanya manggut- manggut. Memang kalau dipikir- pikir benar yang dikatakan Simbah. Meskipun harus digubuk kalau hati tentram dan hati lebih bebas itu akan membuat jauh lebih bahagia daripada hidup diistana tapi penuh aturan dan tidak mempunyai kebebasan sama sekali.

Cara berpikir orang – orang desa yang hidupnya sederhana kadang sering dianggap nyeleneh dan dianggap primitif. Padahal mereka tahu (orang desa itu) bahwa alam juga ciptaan Yang Maha Agung, mereka juga berhak atas ketenangan, ketentraman dan kenyamanan. Mereka juga senang jika manusia menyapanya, memeliharanya. Maka tradisi, Lelaku, puasa, nggetih, mutih yang masih dilakukan orang – orang tua sebetulnya petunjuk untuk bisa menyatu dengan alam semesta. Alam sudah memberi maka wajib bagi manusia untuk mengucapkan terimakasih, caranya apa dengan menggelar pepujan, menggelar kenduri, tradisi leluhur yang mengingatkan agar manusia tidak melupakan alam semesta.

Bagi orang modern kepercayaan pada peringatan mbah Petruk, munculnya sato kewan yang datang ke desa pertanda akan datangnya bencana, pada tanda - tanda alam, munculnya lindu (gempa), suara – suara aneh itu hanya semacam mitos, dan kebodohan. Tapi orang pintar yang titis melihat tanda- tanda alam manusia terkadang terselubungi kesombongan karena diberi akal dan kemampuan lebih dibanding makhluk lain, Banyak manusia menjadi sombong karena lebih diberi kesempurnaan oleh Gusti Allah. Saking manjanya kadang manusia menjadi lupa diri dan ngelunjak. Makanya Ranggawarsito sering menggambarkan akan munculnya saat manusia menjadi lupa diri, menganggap dirinya lebih unggul.Manusia menjadi gila harta, gila tahta, gila pada kecantikan wanita. Jamane jaman edan yen ora edan ora keduman. Begitulah manusia yang srakah, hanya bisa ditegor dengan munculnya pagebluk besar yang membuat manusia tersadar ia bukan apa - apa dihadapan alam dan Tuhan.

Hampir setiap malam sebelum tidur Simbah cerita tentang nasihat, dongeng, cerita – cerita tentang Merapi, tentang hutan dengan segala macam penghuninya. Ada makhluk lain selain manusia yang juga hidup di sekitar lembah dan lereng Merapi. Terkadang Simbah nembang Macapat dari Pangkur, Gambuh, Sinom, Sampai Asmaradhana.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar