Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Terjal
Suka
Favorit
Bagikan
3. Chapter 3

“Mbahmu ini Ora sugih, ning yo ora Kere (Simbahmu itu tidak kaya, tapi tidak juga miskin). Kamu sudah cukup besar untuk bantu Simbah mencari makanan sapi. Simbah biasa mencari rumput di tepi hutan, bahkan sampai ke lereng Merapi sana. Gentur.”

Aku masih bingung dengan perkataan Simbah.

“Kamu makan di sini tidak gratis. Kamu harus membantu mbahmu ini mencari rerumputan di tepi hutan, setiap hari Mbahmu berjalan lebih dari lima kilo. Mencari kayu bakar, mencari rumput. Itu sapinya gemuk khan. Itu hasil kerja keras simbah. Tidak seperti bapakmu yang sekarang minggat, kerjanya hanya main judi dan senang- senang. Untuk menjadi orang sukses kamu harus melewati jalan terjal.Terantuk batu, jatuh terpeleset, bangkit dan bangun lagi meneruskan perjalanan.”

“Di samping sekolah kamu juga harus bekerja untuk menguji seberapa sabar manusia berjuang untuk bisa hidup, simbah tidak ingin melihat kamu seperti bapakmu, tidak jelas hidupnya. Kamu harus tangguh, seperti namamu. Gentur. Gentur itu kamu bisa menghadapi kesulitan dengan bekerja keras, tidak putus asa, selalu semangat meskipun harus menahan lapar, menahan haus, bisa mengurangi niatmu hanya untuk senang – senang laku prihatin.”

“Siap, aku akan mengikuti apapun saran dari Simbah.”

“Bagus, sepertinya kamu bisa diandalkan.”

Aku sebetulnya masih sedih dengan kematian simbokku. Secara tidak langsung sebenarnya penyebabnya adalah bapakku. Ia kabur dan bisa jadi pergi dengan selingkuhannya di Wonosobo. Tapi aku tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan supaya aku bisa meringankan beban simbok. Biar ia pergi dengan tenang dan aku mesti harus berjuang mewujudkan cita- citaku untuk menjadi seniman kondang.

“Gentur. Besok kamu ikut Simbah masuk hutan di lereng Merapi ya. Tidak jauh itu hanya disebelah gundukan.” Bagi orang desa jarak dari gundukan (maksudnya bukit) tidak jauh. Padahal kenyataannya sebetulnya kalau jalan kaki ditempuh selama setengah hari, kalau dihitung pulangnya maka waktunya akan sampai matahari terbenam juga. Tapi perjalanan menyusuri lereng itu bagi orang desa tidak melelahkan, maka meskipun jauh dan harus membawa rumput atau kayu yang disunggi mereka sudah terbiasa. Kalau simbah sudah terlatih karena dulu pernah ikut menjadi tentara Peta saat jaman Jepang dulu. Maka meskipun usianya sudah kepala tujuh Simbah masih kuat “nyunggi rumput atau kayu bakar.”

Bahkan ia kalau di lereng ia sudah menyatu dengan alam sehingga ketika menghirup nafas di belantara ia seperti menemukan tenaga baru, padahal Simbah juga terkenal sebagai perokok kuat. Tapi paru – parunya masih bagus karena hampir seharian ia kuat berjalan bolak – balik ke hutan di lereng Merapi.

Pagi pagi Sebelum bedug di mushola Simbah sudah membangunkan aku. Aku masih terkantuk – kantuk namun Simbah sudah mengajakku untuk berjalan menyusuri pematang sawah, lalu menembus belukar, melewati lembah ngarai, dan menyeberangi sungai yang cukup deras. Simbah seperti tidak punya rasa lelah. Sedangkan aku kaki ini benar- benar berat buat melangkah.

“Mbah Istirahat dulu, kakiku sudah berat untuk melangkah.”

“Masih ada sepuntukan lagi,Tur, Kalau istirahat pasti sampainya sudah bedung dzuhur.”

“Tapi, Mbah…”

“Ayo jangan tapi – tapi, isap udara sekitar, cintai hijaunya lembah, hirup udara yang berasal dari nafas pepohonan, kalau ajak bicara alam sekitarmu, pasti kamu lama- lama tidak akan merasa lelah. Coba celupkan kakimu di sungai kecil depan kita. Setelah itu pasti tubuhmu akan segar kembali.”

Dengan berat aku ikuti langkah Simbah yang cekatan. Meskipun kaki terasa berat kucoba untuk menahan lelah dengan mengikuti saran Simbah. Menghirup udaranya, menatap lembah hijau, mengajak ngobrol dahan dahan dan ranting sekitar.

Di depan ada sungai kecil bening. Alirannya seperti datang dari hutan, mungkin dari akar- akar pohon, dari lembah lerang merapi yang subur. Setelah sampai di sungai kecil atau kalen aku menyebutnya terasa kesegarannya menyelusup ke pori – pori kaki. Rasa berat dan sakit ditelapak mendadak lenyap setelah berendam cukup lama.

“Mbah nanti makan apa?”

“Nanti Simbah carikan pisang klutuk dan jambu biji di pinggir jurang sana?”

“Hahhh?. Cuma makan itu?”

“Kenapa, sejak dulu simbah makan itu tidak kenapa – kenapa.”

“Itu khan simbah, aku khan belum terbiasa.”

“Tidak usah mengeluh, ikut saja kata simbah.”

Meskipun agak kesal tapi aku harus mengikuti apa kata Simbah. Ini mungkin gemblengan awal simbah. Ya sudah ikuti saja. Matahari sudah hampir di ubun- ubun, untungnya banyak pepohonan rindang jadi tidak terasa panasnya. Tidak terasa aku sudah menyusur jauh menuju ke hutan. Suara- suara binatang, lengkingan, wulung (elang) suara gagak dan kokok ayam hutan (ayamalas) bersaut- saut. Kadang merasakan juga suara jengkerik dan desisan yang berasal dari dedaunan yang bergesekan. Sesekali terdengan auman, seperti suara binatang buas.

“Mbah kenapa mencari rumput sejauh ini?”

“Simbah ingin menguji kamu seberapa tangguh kamu menghadapi jalan terjal. Ini belum apa – apa. Ujian berat sebenarnya adalah ketika nanti hidup dengan berbagai cobaan yang mesti kau hadapi.”

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar