Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku memutuskan untuk ke kota, tujuan utama sebenarnya Jogjakarta dan Bali. Namun aku ingin merasakan dulu bagaimana sih tinggal di kota besar seperti Jakarta. Dengan bekal seadanya aku nekat ke Jakarta. Entah aku bingung harus apa kerja apa di sana. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang hanya lulusan SMP. Paling andalanku hanya menggambar.
Di Jakarta, aku bingung, seharian hanya berjalan lewat pinggir jalan besar, mencoba mencari pekerjaan tapi tidak ada yang menerima. Saat terik matahari berada di ubun – ubun, aku mencari tempat teduh. Ketika tengah duduk diselasar gedung tinggi, tiba – tiba ada orang berseragam menghampiriku.
“Hei, bocah, pergi sana ini bukan tempatmu main – main, lagian bajumu yang dekil itu bikin kotor gedung saja. Sana pergi.”
“Pak, numpang berteduh ya pak, diluar panas sekali. Oh ya Pak apakah ada lowongan kerja di sini ya…”
“Husssh, pekerjaan apaan, tidak ada! Sana pergi, nanti kalau masih di sini saya ditegur boss lagi.”
Dengan lunglai aku melangkah, bukan capek karena jalan kaki, tapi dongkol oleh kelakuan orang berseragam itu yang seperti “ngece” melihat tampang dan bajuku yang seperti orang udik.Ya sudah, aku mesti ngalah. Seharian luntang lantung gak dapat pekerjaan.
Aku bingung harus menginap di mana, tidak ada saudara, semua orang tampaknya sibuk dengan diri sendiri. Inikah potret Jakarta yang katanya mudah mendapatkan uang. Jutaan bahkan milyardan dengan mudah didapat. Apaan seharian berjalan tidak ada pekerjaan yang didapat. Aku memutuskan berteduh di selasar mushola. Tapi lagi lagi aku mendapat sambutan kurang menyenangkan ya sudah aku tidur di depan ruko saja kalau begitu.
Aku ambil sarung dari tas kumalku, tidur berteman kardus yang kutemukan di tumpukan sampah samping hotel berbintang. Nyamuk besar- besar langsung menyerbu, suara dengungannya membuatku susah tidur. Dengan sarungku ternyata tidak banyak membantu mengusir nyamuk. Tapi karena kelelahan aku akhirnya bisa tertidur. Belum sampai tidur pulas sudah ada ada orang yang berteriak Razia- razia. Aku bingung dan cuek saja. Ternyata ada orang – orang berseragam yang melakukan razia bagi gelandangan dan pengamen jalanan yang tidur di depan trotoar.
Belum sempat kabur sudah ditangkap duluan. Aku digelandang ke kantor ditanyai identitasnya, ditanyai darimana asalnya. Sambil terkantuk- kantuk aku menjawab:
“Saya dari desa pak, ke Jakarta pengin dapat pekerjaan, kata orang cari uang di Jakarta mudah.”
“Mudah, mbahmu Le… kalau orang pintar dan tinggi sekolahnya mungkin mudah, lah kamu lulusan apa?
“SMP Pak!”
“Kalau SMP mengharap kerja kantoran yang ngimpi saja Le… kecuali kamu jadi buruh kuli bangunan masih banyak peluangnya.”
“Ya, tidak apa – apa pak, yang penting kerja.”
“Selain itu apa yang kamu bisa?”
“Saya pernah juara nggambar sekecamatan.”
“Hahaha…cuma sekecamatan? Disini sekecamatan kecil Le.”
“Tapi itu khan membanggakan khan pak?”
“Iya, tapi di sini tidak cukup hanya bisa menggambar saja. Coba kalau kamu pintar menggambar gambar bapak bisa?”
“Boleh, bisa minta kertas dan pinjam pulpen.”
Akhirnya aku mempunyai kesempatan membuktikan bahwa aku memang pintar menggambar.
Setengah jam aku bisa menggambar wajah pak petugas trantip itu.
“Wuiih, mirip tenan.” Bapak yang tampaknya orang Jawa itu memperlihatkan kepada temannya.”
“Yee, bujugbuneng. Cakep dah gambarnye.”Mirip Lu Jan”
“Le, saya kasihan sama kamu, jauh – jauh ke kota cari pekerjaan. Mendingan kamu ke kota sana atau ke Ancol dari anjungan seni untuk orang – orang yang senang melukis dan mematung. Kamu bisa pasti. Bakatmu memang luar biasa. Gambarmu bagus Le, namamu siapa?”
“Nama saya Gentur pak.”
“Nama yang bagus, cocok kalau jadi seniman. Daripada di sini kamu dikejar- kejar trantip, mendingan coba kamu ke Ancol. Ke Anjungan seni. Kamu bisa belajar dan mengembangkan bakat senimu di sana, sekarang kamu boleh tidur semalam di sini, tapi besok kamu harus pergi ya.”
Ya Pak, terimakasih.
Disamping Jakarta yang kejam ternyata masih ada orang baik yang mau menolong. Aku akhirnya tertidur di kantor bapak petugas tadi yang bernama Sarjan, orang dari Blora dengan dengan asal sastrawan kondang yang kukagumi Pramoedya Ananto Toer.
Pagi – pagi aku memutuskan untuk pergi ke Ancol dari Jakarta pusat naik bis tingkat menuju ke kota. Sampai di stasiun besar, ganti angkot menuju arah Jakarta Utara. Sampai di dekat pintu gerbang Ancol bingung ke arah mana yang kutuju. Uang semakin menipis, mana masuk harus bayar lagi.
“Hei bocah mau ke mana?”Tampaknya ia seorang petugas yang menjaga loket.
“Saya mau ke Anjungan seni pak, katanya di sana banyak seniman dan pelukis memasarkan karyanya di sana.”
“Kenapa mau ke sana?”
“Saya mau belajar pada mereka, bagaimana menjadi seorang seniman.”
“Cita- cita kok aneh, menjadi seniman. Banyak seniman kere di sana, hidupnya hanya mengandalkan hasil karyanya. Sebulan laku satu saja sudah bersyukur, masih pengin bercita- cita menjadi seniman.”
“Masih.”
“Tidak takut miskin, tidur sembarangan menggelandang.”
“Tidak pak.”
“Ya sudah mana uangnya untuk tiket masuk?”
Aku memperlihatkan sisa uangku.
“Mana cukup ini sih hanya rokok dua batang saja.”
“Sudah, lupakan, sana pulang mana cukup uang segitu masuk ke sini.”
“Tolong, Pak, saya bisa kok membantu bapak bersih – bersih asal bisa masuk”
“Enak saja, kalau saya katakana tidak boleh ya tidak boleh.”
Aku tidak bisa lagi memaksanya. Sambil melamun aku duduk di depan loket, tidak peduli panas dan cibiran petugas loket tersebut, tekad sudah bulat untuk bisa masuk bagaimanapun caranya. Dari kejauhan tampak seseorang berjalan santai mendekat. Bapak paruh baya dengan rambut sebagian hitam sebagian putih, rambutnya panjang, dikuncir. Kepalanya tertutup dengan topi pet hitam, celananya berwarna hitam gombrong, Ia memakai kaos panjang hitam berbalut rompi coklat muda. Memakai sandal sepatu sambil mulutnya sibuk melambungkan asap rokok dengan cerutu ada ditangan kirinya.
Aku segera menduga bahwa ia pasti seniman seperti yang sering saya lihat di buku pelajaran budaya saat masih sekolah. Aku memutuskan untuk menyapanya.
“Selamat pagi pak, Bapak seniman ya…”
Ia sedikit kaget. kemudian ia berhenti dan menjawab pertanyaanku.
“Kok tahu, Nak bapak ini seniman.”
“Dari penampilan bapak saya menduga bapak seniman”
“Hahaha…. Saya ini pekerja seni, terlalu berat dikatakan seniman.”
“Bapak merendah?”
“Nggak, saya disini hidup dengan berdagang ketrampilan menggambar, melukis. Kalau seniman itu lingkupnya lebih luas.”
“Saya senang …ketemu orang seperti bapak….sangat rendah hati…baik pak maaf bolehkan saya minta tolong?”
“Minta tolong apa?” Bapak itu sebenarnya belum sepenuhnya percaya dengan penampilan saya. Tapi ia tampaknya orang yang tulus dan baik.
“Apa yang bisa saya bantu.”
“Kata petugas saya tidak bisa masuk karena tidak bisa membayar tiket masuk. Padahal saya ingin ke anjungan seni. Pengin tahu aktifitas para seniman dan kalau bisa belajar banyak dari seniman itu.”
“Oh, ya kebetulan itu, Nak. Saya punya lapak di sana eh tepatnya saya punya tempat untuk berkarya,dikasih cuma- cuma untuk berkarya.”
“Nama, Bapak Siapa?”
“Tedjo.”
“Tedjo Prabangkara”
“Kok tahu?” Mimik muka bapak itu tampak kaget sekaligus senang.
“Pernah baca tentang profil seniman.”
“Bagus, rupanya kamu punya pengetahuan cukup luas dalam hal seni.”
“Saya suka melukis dan menggambar. Waktu SD pernah juara se kecamatan.”
“Boleh, lihat hasil karyamu.”
“ehm kebetulan saya tidak membawanya, tapi kalau bapak punya kertas boleh saya minta, saya akan mencoba menggambar.”
Akhirnya aku diberi kertas dan pulpen. Dengan cepat aku menggambar wajahnya. Setelah selesai gambar kuberikan kepadanya.”
“Bagus, goresanmu sudah berkarakter. Garisnya tampak bahwa kamu rajin menggambar dan punya bakat luar biasa.”
“Terimakasih, bagaimana bapak bisa membantu saya masuk?”
“Dengan senang hati, saya punya kartu khusus sehingga bisa keluar masuk tanpa membayar, nanti saya ngomong kepada petugasnya agar diberi kesempatan untuk masuk.”
Akhirnya aku bisa masuk ke Ancol. Mengikuti langkah Pak Tedjo pelukis senior yang sudah puluhan tahun tinggal di Ancol, selama itu ia sudah menghasilkan ribuan karya.
“Pak saya akan membantu bapak, apapun pekerjaannya yang penting bisa makan dan menginap di sini.”
“Tenang Nak Gentur, kamu bisa tidur di lapak saya. Kebetulan saya sering keluar kota, mengikuti pameran lapak sering kosong, kamu bisa tinggal di situ dan bantu bersih – bersih.”
“Baik, pak terimakasih.”
“Kamu bisa melihat bagaimana para seniman beraktifitas. Tampaknya tanganmu cekatan dan spontan saat menggambar, suatu saat jika tekun dan tidak gampang putus asa kamu bisa menjadi seniman besar.
Begitulan selama beberapa bulan aku sempat tinggal di Ancol, membantu pak Tedjo Prabangkara, belajar bagaimana mengolah karya, membuat sketsa, menyatukan karya dan jiwa sehingga menghasilkan karya yang tidak saja indah dilihat tetapi berkharakter. Tapi lama – lama aku merasa bahwa patunglah yang lebih menarik untuk digeluti. Itu setelah melihat Pak Made di lapak sebelah Pak Tedjo mengerjakan patung kayu.
Ketika tidak ada pekerjaan saya sering ngobrol dengan Pak Made, bincang tentang patung, dan melihat bagaimana ia membentuk mengukir dan membuat patung sedetail mungkin. Ia mempelajari serat- serat nya lebih dulu, merasakan dan menyatu dengan kayu yang akan diukirnya.
“Boleh, aku mencoba membuat patung Pak Made?”
“Kebetulan ada kayu yang bisa kau pakai. Ini alat ukirnya.”
“Terimakasih.”
Aku diam sejenak, mengamati kayu cukup lama, mencoba melihat lekukan kayunya dan menyentuh sisi kayu kayu yang ada di depanku. Setelah itu tanganku spontan bergerak mengukir kayu itu. Aku merasakan tanganku terus bekerja mengikuti pikiranku, mengikuti imajinasi yang terus bermunculan. Bahkan kadang aku lupa bernafas. Sebab rasanya seperti ada dorongan kuat dari dada untuk menyelesaikan patung yang sedang kugarap.
Seperti ada dorongan kuat dari pikiran dan jiwa untuk membentuk kayu sesuai mauku. Dan akhirnya aku bisa menyelesaikan patung itu meskipun tampaknya masih cukup kasar.
“Hai Gentur, kamu tampaknya berbakat menjadi pematung. Baru melihat sebentar tanganmu seperti punya nyawa untuk mengikuti lekukan- lekukan dan serat- serat kayu. Padahal seharusnya kamu latihan lama untuk bisa membuat patung seperti itu.”
“Terimakasih Beli Made, aku seperti tidak sadar ada yang mendorongku untuk menyelesaikan patung itu.”
“Itu namanya kamu punya kemampuan yang diberikan alam kepadamu, tapi tidak menyadarinya. Bagaimana kalau kamu belajar mematung di Bali saja, kemampuanmu akan lebih terasah di sana. Di sana kamu bisa menghaluskan rasamu, mengenal kebudayaan dan hidup dalam lingkungan seni yang kuat. Itu usulan saja. Kalau kamu mau, nanti saya akan rekomendasikan untuk belajar mematung pada seorang seniman patung terkenal di Bali.”
Begitulah perkenalan dengan Beli Made membuka mataku bahwa tampaknya saya lebih cocok menggeluti dunia patung. Meskipun begitu minat pada lukis, teater, dan kesenian lain tidak berkurang. Dari Ancol saya menemukan suasana yang kesenian yang kental, belajar dari Pak Tedjo, belajar dari pemandung Pak Made Sugriwa. Yang akhirnya mengantarkan aku pada sebuah tekad aku mesti ke Bali untuk nyantrik pada seniman patung di sana. Dari Jakarta aku mengumpulkan bekal untuk pergi ke Bali. Hampir setahun tinggal di Ancol banyak hal yang bisa dipelajari termasuk pemikiran seniman yang luas tentang jagad kebudayaan, jagad kesenian, tentang agama, tentang filsafat. Aku seperti sekolah langsung di sekolah seni. Bahkan mungkin lebih komplit pengetahuanku karena aku juga belajar bagaimana mengelola lapak dengan ilmu managemen sederhana, bagaimana memasarkan dan mempromosikan karya, sesekali tampil bermain teater bersama teman teman yang menyukai seni pertunjukan sambil membantu di belakang layar membuat dekor panggung, dengan sentuhan artistik.