Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Terjal
Suka
Favorit
Bagikan
7. Chapter 7

Akhirnya kesempatanku untuk ke Bali menemui kenyataan, setelah berpamitan dengan teman- teman seniman di Ancol, aku memutuskan pergi ke Bali.

“Gentur, kalau menjadi seniman besar jangan lupakan kami ya…”

“Ya, terimakasih teman- teman yang membantu aku selama tinggal di sini, banyak ilmu dan ketrampilan yang bisa dipelajari di sini, juga bagaimana bisa bertahan hidup di kota besar dengan segala masalah yang rumit.”

“Kami sudah mengumpulkan sedikit uang, semoga bisa membantumu makan selama dalam perjalanan, terima saja jangan sungkan- sungkan, kamu tulus kok.”

“Aduh merepotkan kalian, saja.”

Ada perasaan gundah meninggalkan teman yang sudah seperti keluarga sendiri, terutama Pak Tedjo pak Made yang sudah seperti orang tua sendiri. Tetapi aku memang harus menggoreskan tinta kehidupan sendiri. Untuk berubah dan mencapai cita – cita jalan terjal mesti kulalui. Seterjal apapun bisa dilalui asal punya tekad kuat dan tidak gampang mundur hanya karena tantangan yang rasanya mustahil. Dari Kota aku naik kereta menuju ke Pasar Senen. Dari Pasar Senen aku ikut kereta ekonomi menuju Surabaya, Dari Surabaya aku menunggu kereta yang akan menuju ke Banyuwangi. Dari Banyuwangi naik bis, menyeberang Gilimanuk menuju pulau Bali. Di Bali Pak Made merekomendasikan untuk tinggal di Badung. Nyantrik di tempat Pak Nyoman Swasta.

Masuk ke Bali suasana tampak lebih mistis, aku merasakan aura lain dari pulau Jawa. Di Bali Pak Made mewanti – wanti untuk mengikuti kebudayaan Bali, dan tidak coba – coba melanggarnya. Hindu dan kebudayaan yang sangat kental masuk ke tulang sungsum mereka, kecuali pendatang yang harus tetap menyesuaikan diri dengan suasana keagamaan, upacara, ritual keagamaan, sesaji, dan perayaan – perayaan besar yang bisa menjadi magnet bagi wisatawan untuk merasakan aura mistis dan magis Bali. Meskipun hanya lulusan SMP bukan berarti aku tidak belajar. Belajar itu bukan hanya dibangku kuliah. Si sekolah belajar hanyalah formalitas, lebih karena kemauan orang tua, didorong dan dikondisikan untuk membaca dan mengikuti ujian. Padahal seharusnya belajar itu muncul dari sendiri, muncul dari semangat untuk menjadi lebih baik. Banyak yang salah memahami sekolah saat ini. Hapalan, teori – teori dan banyaknya pelajaran membuat anak – anak menjadi penghapal. Sedangkan yang dihadapi dikehidupan adalah bagaimana mengatasi persoalan, bagaimana bisa bertahan hidup, bagaimana lepas dari kesulitan.

Di Badung aku diterima baik oleh Pak Nyoman Swasta. Pekerjaan pertamaku adalah mengamati alias melihat aktifitas Pak Nyoman dan anak buahnya. Pak Nyoman mengenalkan seluk beluk media yang dijadikan patung baik kayu, maupun batu yang bisa diukir.

Ketika membentuk, mengglobal dan mulai mengukir detail patung- patungnya yang tampak rumit, Aku memperhatikan sampai kadang tidak terasa bibir sampai ngowoh dan air liur mengalir disela- selanya. Tentunya ketika melihat diriku Pak Nyoman sampai tertawa.

“Serius betul melihatnya sampai gak terasa bibirmu sampai melebar begitu. Hahaha. Lihat cara mematungnya atau lihat bentuknya hahahaha…”

Tentu saja aku tersipu. Patungnya adalah perempuan telanjang. Bentuknya tentu saja mirip dengan aslinya. Tentu saja sebagai lelaki, mataku tidak berkedip melihatnya. Tapi di Bali perempuan telanjang dan terlihat buah dadanya itu bukan hal yang jorok. Bagi mereka melihat ketelanjangan tentu bukan karena nafsu birahi manusia, mereka melihatnya sebagai sisi keindahan. Keindahan khan mesti dinikmati. Maka ketelanjangan bukan semata jorok dan porno tapi lebih pada rasa syukur atas keindahan – keindahan dunia yang tersuguhkan. Sudah kodrat wanita selalu akan membangkitkan ketertarikan pada lelaki, demikian sebaliknya pria dengan tubuh bagus, berotot dengan ciri khas kelelakiannya yang menonjol akan menarik perhatian perempuan.

Sudut pandang kebudayaan itu yang harus dimengerti. Dan aku harus bisa menerima sepenuhnya keistimewaan Bali yang magis dan punya daya tarik luar biasa terutama budayanya. Seniman itu juga menerima ketelanjangan bukan semata bahwa untuk membuktikan ia lelaki normal namun, ketelanjangan itu sebuah pemikiran lurus mengartikan kepolosan sebagai bagian dari estetika. Maka melukis perempuan tidak berbusana, memotret obyek unik dengan aktifitas upacara dengan perempuan tanpa balutan baju dan tampak dadanya yang penuh bukanlah tabu. Pak Nyoman bahkan sering memperlihatkan bagaimana ia menghadirkan obyek telanjang di depan mata.

Ia punya alasan untuk mengenal anatomi, mengenal detail dari tubuh manusia. Seperti halnya Michael Angelo Pematung dari Firenze Italia yang bahkan sengaja membedah mayat untuk mengenal struktur otot, tulang dan jeroan manusia.

Sebagai orang muda tentunya disuguhi pemandangan elok di depan mata jadi panas dingin, tapi bagi seniman itu keharusan, maka aku perlu membiasakan diri mengikuti pola hidup seniman yang kadang – kadang harus sedikit nakal. Kalau tidak ya kurang wawasan.

Begitulah lama – lama aku terbiasa mengikuti pola pemikiran seniman. Di Bali aku berkembang pesat, kemampuanku mengukir semakin terasah, dan aku mulai berimajinasi menciptakan figure – figure berdasarkan imajinasi sendiri. Tapi aku juga harus mampu membuat patung sesuai pesanan. Di Bali aku belajar mengenal serat- serat patung, bagaimana mengenal struktur batu, mengelola waktu, mendekatkan rasa, ketika sedang mematung. Di samping itu aku juga belajar tentang filsafat Hindu, mengenal dewa- dewa dan mempelajari sejarah, membaca cerita Ramayana Mahabharata versi Hindu dan India,

Ilmu itu kudapatkan bukan dibangku sekolah tapi di kehidupan sehari - hari. Hampir tiga tahun aku di Bali belajar pada Pak Nyoman dan juga pematung – pematung lain yang mempunyai kecakapan berbeda- beda. Selain mematung aku masih rajin membuat coret- coretan berupa sketsa.

Tiga tahun waktu yang sangat berharga. Setelah itu aku memutuskan ingin total menjadi seniman, ingin hidup sepenuhnya dari melukis dan mematung.

Setelah tiga tahun aku memutuskan pulang ke desa. Tinggal bersama Simbah Lanang dan Mbah Wedok yang usianya semakin lanjut. Umur hampir mendekati 80 tahun tapi Mbah Soma, simbahku masih cekatan dan kuat memikul kayu bakar dari lereng Merapi.

“Tur, Kamu siap menjalani hidup sebagai seniman?”

“Siap, Mbah.”

“Tapi kamu ingat bukan semudah itu meraih kesuksesan.”

“Iya, Mbah, Gentur sadar kok, maka minta bantuan simbah mendoakan aku supaya kuat menjalani kehidupan sebagai seniman. “

“Dari dulu Simbah selalu berdoa untukmu.”

Dengan modal tidak seberapa saya mulai rutin bergaul dengan para seniman terutama seniman sekitar, aku sering bertandang ke rumah mas Sitras, mas Tanto, bahkan dengan rohaniwan Katolik yang peduli kebudayaan. Mereka memberi pencerahan, membulatkan tekat untuk terjun total sebagai seniman. Aku sering membantu mereka meramaikan kesenian tradisional, melatih anak – anak main teater, melatih menggambar meskipun kadang tidak dibayar. Di rumah Simbah yang hanya gedek dengan kamar yang ditutupi kain seadanya aku memulai tekad. Menggambar dengan arang, melukis dengan cat seadanya. Kadang aku harus menahan lapar karena seharian tidak ada yang bisa dimakan. Simbah kadang malah kenyang hanya dengan minum kopi hitam dan rokok tingwenya.

Tentu saja aku kadang perutku berbunyi, kruk – kruk. Perutnya seperti menjerit – jerit. Itu kujalani tanpa mengeluh. Aku ingat nasihat Simbah, tidak mengeluh walau melewati jalan terjal, itulah kehidupan. Simbah mengingatkan Gusti Ora Sare (Tuhan tidak tidur).

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar