Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lelakon yang sedih ternyata tidak berhenti, malah semakin hari rasanya semakin banyak ujian dan jalan terjal yang kulalui. Kehidupan rumah tangga simbok dan bapakku akhirnya benar- benar hancur. Bapakku memilih minggat. Ia pergi bersama Paimo makelar judi. Sebelum minggat bapakku sempat membuat simbokku syok.
“Sekarang sakkarepmu kalau mau ngomel, ngomel sendiri saja, aku mau pergi ke Wonosobo. Daripada mendengar omelan setiap hari, mendingan kelonan sama Surti, sing Ayu dan masih kinclong, daripada lihat mukamu yang cemberut.”
“Dasar edan. Bapak ora nggenah. Ternyata selama ini kamu selingkuh to.”
“Aku bosan denganmu, aku mau minggat.”
“Sana pergi, aku tidak mau melihat tampangmu lagi, wong lanang ra tanggung jawab babar blass!”
“Sakkarepmu?”
Simbok, spontan mengambil sapu lidi dan memukulkannya ke tubuh Bapak. Spontan Bapak menangkis, dan merebut sapi dari tangan simbok, Simbok yang kurus, ceking langsung jatuh ketika sentakan sapu yang direbut bapak, akhirnya membuat pegangan terlepas. Simbokku terhempas dan kepalanya membentur gagang pintu yang terbuat dari besi.
Darah mengalir dari dahinya, dan aku sontak menyerbu ke Bapak merebut kembali sapu dari tangannya. Namun apa daya karena masih kecil maka aku akhirnya terhempas juga. Aku dan Parti adikku hanya bisa menangis. Aku memeluk simbok yang mukanya bersimbah darah.
Bapakku yang mengetahui simbok berdarah langsung kabur dan tidak pernah kembali lagi.Sebisaku aku mencari dedaunan yang bisa menghentikan perdarahan di pelipis simbok. Tapi darah yang keluar terlalu banyak membuat simbok pingsan tidak sadarkan diri. Aku bingung, dan hanya bisa berteriak meminta bantuan tetangga.
Beberapa tetangga datang dan segera membawa simbok pada dukun terdekat. Malang ketika sampai ke dukun ternyata nyawa Simbok tidak tertolong lagi. Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dipangkuanku.
Sebelum pingsan simbokku sempat berpesan, agar aku ikut tinggal di rumah Simbah. Masku sendiri sudah beberapa lama tinggal bersama Pak Likku di dusun sebelah. Aku hanya berdua dengan adikku Parti yang masih berumur sekitar 4 tahun.
Semakin terjal rasanya jalan harus kutempuh. Ditinggal minggat bapak dan harus kehilangan simbok yang kusayangi. Kenapa hidup seperti tidak adil, ada yang bisa senang – senang mempunyai kendaraan, punya rumah besar, punya kehidupan keluarga yang harmonis,tapi aku aku menjalani hidup dengan keadaan rumah yang berantakan. Hidup miskin. Syukurnya aku dan Parti masih beruntung punya Simbah yang sayang pada cucunya.