Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Sandyakala Payodanagari "Gardajita"
Suka
Favorit
Bagikan
2. BAB 2

11. INT. DESA TLATAR - RUMAH WIDARPA – PAGI

Rumah Widarpa sangat sederhana berupa gubuk dari anyaman bambu. Dibangun jauh dari rumah-rumah lain, lebih dekat dengan hutan dan sungai. Menjorok ke dalam dari jalan utama dan tertutupi rerimbunan pohon bambu. 

Laras tengah menulis di atas selembar lontar saat terdengar ringkikan kuda di luar. Dia berhenti untuk membuka pintu. Terlihat Widarpa, kakeknya meloncat turun dari kuda lalu berjalan masuk dengan tergesa-gesa. Melewati Laras di ambang pintu yang tidak diberi kesempatan menyapa.

 WIDARPA

Cepat berkemas! Bawa barang berhargamu.

LARAS

(menyusul masuk)

Kakek, apa yang terjadi? Kakek baru saja kembali setelah beberapa bulan.

WIDARPA

(serius)

Jangan banyak bertanya, Laras. Lakukan apa yang Kakek suruh.

Melihat tatapan kakeknya, Laras tidak bertanya lagi. Gadis itu masuk ke biliknya, mengambil selembar kain, membentangkannya di atas dipan. Laras merogoh kantong kecil berisi koin uang di bawah tumpukan pakaian, sebuah peti kecil di atas meja, dan sepotong pakaian. Laras keluar membereskan lembaran lontar yang dia tulis tadi. Masuk ke dalam bilik lagi dan membungkusnya bersama barang-barang lain.

Laras keluar dari bilik. Kakeknya juga sudah bersiap dengan bungkusan kain di pundaknya.

WIDARPA

Kau sudah membawa kotak obat dan catatanmu?

Laras mengangguk. Widarpa menyeret lengan Laras membawanya keluar menuju kudanya.

WIDARPA

Pergilah ke rumah Ki Abinawa. Katakan Prawara sudah mati dan minta perlindungan padanya.

LARAS

(cemas)

Bagaimana dengan Kakek? Kemana Kakek akan pergi?

WIDARPA

Kakek harus pergi ke suatu tempat. Kakek akan menyusulmu segera setelah urusan Kakek selesai. Jangan mengikuti jalan setapak, lewatlah tengah hutan. Dan jangan beritahu pada siapapun tentang identitasmu. Pergilah sekarang!

Laras sudah bersiap pergi tetapi kakeknya berpesan lagi.

WIDARPA

Jika kau terpaksa hidup dalam persembunyian, kau tidak boleh melupakan jalan takdirmu. Kemanapun kau pergi. Ingat itu.

Laras mengangguk khawatir mendengar ucapan kakeknya.

CUT TO:

12. INT. KEDATON PRABU DHANANJAYA – KAMAR – PAGI

Pangeran Gentala masuk ke dalam kamar dimana Mahapatih Danadyaksa duduk bersila di depan ranjang. Mengetahui kedatangan pangeran, mahapatih memberikan hormat.

PANGERAN GENTALA

Bagaimana keadaan Gusti Prabu?

MAHAPATIH DANASYAKSA

Ampun Gusti Pangeran. Gusti Prabu masih belum sadarkan diri.

Pangeran Gentala menarik napas berat, berjalan mendekati jendela diikuti oleh mahapatih. Menatap langit di luar sambil memikirkan sesuatu yang lain.

PANGERAN GENTALA

Lalu, bagaimana dengan keadaan di Panjalu, Paman?

MAHAPATIH DANADYAKSA

Ampun Gusti Pangeran, hamba sudah mendengar kabar jika para pendeta dan brahmana meninggalkan Dahanapura mencari perlindungan ke wilayah lain. Bukan tidak mungkin mereka akan mencari dukungan dan melakukan perlawanan pada Gusti Prabu Dandhang Gendis.

PANGERAN GENTALA

Paman benar. Lalu wilayah mana yang sudah menunjukkan tanda-tanda akan melakukan perlawanan?

MAHAPATIH DANADYAKSA

Tumapel, Gusti.

PANGERAN GENTALA

(bergumam)

Tumapel… Sepertinya perang akan pecah sebentar lagi.

Mahapatih tampak mencurigai sesuatu tentang junjungannya itu.

 CUT TO:

13. INT. DESA TLATAR - RUMAH WIDARPA – SIANG

Nalendra menemukan rumah Widarpa sesuai petunjuk yang dia dapatkan. Lelaki itu turun dari kudanya dan melihat jejak kaki kuda yang meninggalkan halaman menuju jalan utama. Nalendra tetap masuk ke dalam rumah lebih dulu. Memeriksa tidak ada seorang pun yang bersembunyi di sana, Nalendra keluar. Naik ke punggung kudanya lagi lalu hendak melaju di jalan utama. Namun matanya yang jeli menangkap jejak lain menuju hutan. Setelah mengamati sejenak, Nalendra tetap mengikuti jejak kuda.

CUT TO:

14. EXT. DESA TLATAR – RUMAH WIDARPA - SORE

Yada dan kedua rekannya, Wira dan Giriputra, tiba di rumah Widarpa. Mereka turun dari kuda dan memeriksa sekitar dengan sikap waspada. Wira, yang bertubuh paling besar diantara dua rekannya, masuk ke dalam rumah. Giriputra memeriksa ke halaman samping dan belakang. Sedangkan Yada memeriksa jejak kaki manusia dan kuda di halaman rumah.

GIRIPUTRA

(kembali ke halaman depan)

Apakah kita terlambat?

WIRA

(keluar dari rumah)

Tidak ada siapapun di sini. Mereka sudah pergi.

GIRIPUTRA

Mereka?

WIRA

Ada pakaian perempuan di dalam. Tabib itu tidak tinggal sendiri.

Yada yang mengikuti jejak kaki kuda menuju hutan diikuti kedua rekannya. 

WIRA

Haruskah kita mengikuti jejak ke dalam hutan ini? Sepertinya mereka sengaja menutupi jejak kaki ini dengan jejak kuda. Bisa saja tabib itu berlari ke hutan dan membiarkan perempuan yang tinggal bersamanya menunggangi kuda agar menyelamatkan diri dengan cepat.

GIRIPUTRA

Itu mungkin saja. Tetapi pembunuh bayaran itu mengikuti jejak kuda ini 

(menunjuk jejak kaki kuda di jalan utama)

Apa mungkin jejak kaki ini sengaja dibuat untuk pengalihan? Agar tabib itu bisa pergi bersama perempuan yang tinggal bersamanya dengan berkuda? 

WIRA

Ini membuatku bingung. Mana yang pengalihan dan mana yang bukan. Bagaimana menurutmu, Yada?

YADA

Semua kemungkinan yang kalian katakan, pasti salah satunya benar. Kita ikuti jejak kuda ini.

WIRA

Apa alasanmu memilih jalan ini?

YADA

Kita ikuti kemana pembunuh bayaran itu pergi. Tugas kita adalah mencegah tugasnya.

Wira dan Giri Putra mengangguk-angguk setuju. Mereka bertiga kembali naik ke kuda masing-masing dan melaju ke jalan.

CUT TO:

15. EXT. HUTAN – MALAM

Di dalam hutan, Laras setengah berlari dalam gelap malam. Dia mulai mengurangi kecepatan langkahnya karena kelelahan. Berhenti sejenak bersandar pada sebuah pohon untuk mengambil napas. Tanpa sadar dia mulai tertidur.

CUT TO:

16. EXT. PINGGIR SUNGAI – MALAM

Widarpa berhenti di dekat sungai untuk istirahat. Sementara kudanya minum dari air sungai, Widarpa tetap waspada. Kewaspadaannya beralasan. Bukan suatu kebetulan rekannya, Prawara, mati mendadak setelah mengetahui kehamilan Gusti Prameswari. Sialnya Prawara membagikan rahasia itu pada Widarpa sebelum dia meninggalkan kedaton.

WIDARPA

Oh Dewata, mengapa aku harus mengetahui perkara ini?

Tak lama kemudian, Widarpa tersentak mendengar derap kuda datang dan tiba-tiba saja seekor sudah muncul dari balik pepohonan bersama penunggangnya yang berpakaian segelap malam. Lelaki itu, Nalendra, turun dari kudanya sambil menghunus pedang. Widarpa lari ke dalam hutan lagi meninggalkan kudanya. 

Dalam pelarian, Widarpa merogoh sesuatu dari dalam lilitan kain di pinggangnya, sebuah suar. Sambil berlari sambil berusaha menyalakan suar. Begitu api menyala pada sumbunya, Widarpa menembakkannya ke langit. Berharap siapapun bisa melihat dan membaca sinyal berupa pijar-pijar api yang tebentuk di langit malam itu. Nalendra yang turut membaca sinyal itu lebih mudah menemukan buruannya. 

Widarpa tersungkur setelah sebuah kerikil melesat mengenai punggungnya. Bukan kerikil biasa. 

Nalendra mempercepat langkahnya sambil menghunus pedang. Widarpa membalikkan badan, merogoh belati yang terselip di pinggang. Nalendra sudah mengayunkan pedang saat tiga kuda berlari mendekat. Nalendra dan Widarpa menoleh, Widarpa urung mengeluarkan belatinya. Namun Nalendra tetap menjalankan rencana. Sebuah tebasan pedang cepat. 

Ketiga penunggang kuda yang datang, Yada, Wira, dan Giriputa, meloncat turun menghunus pedang masing-masing. Nalendra meloncat mundur setelah jelas melihat darah mengucur dari leher Widarpa. Wira dan Giriputra mengejar Nalendra. Yada buru-buru memeriksa Widarpa lalu menekan lehernya. 

YADA

Aku pemimpin Mahawira, Gusti Pangeran Gentala mengutusku. Bertahanlah aku akan membawamu ke tabib terdekat.

Widarpa menolak. Tersengal-sengal dan dalam sekaratnya, Widarpa mengeluarkan belati, menyerahkannya pada Yada.

WIDARPA

Laras, tolong lindungi dia. Bawalah ke Payodapura bersamamu, minta perlindungan dari Gusti Pangeran.

Yada ingin membantah tetapi suara benturan pedang mengalihkannya. Tak jauh darinya, Wira dan Giriputra bertarung melawan Nalendra. Baru sebentar kedua prajurit Mahawira itu sudah terkapar. Nalendra berencana menghabisi keduanya sekaligus, tetapi mendadak Yada sudah muncul menghadangnya. Yada dan Nalendra berhadapan.

YADA

Siapa yang memberimu perintah?

Nalendra yang tidak berniat berbincang segera melancarkan serangan yang ditangkis oleh Yada. Giliran Yada yang menyerang dan ditangkis oleh Nalendra dengan mudah. Pertarungan berlangsung cepat. Yada dengan tenaga dalam yang besar dan serangan keras. Sedangkan Nalendra dengan gerak tubuh yang sederhana dan ringan, serta permainan pedang yang lincah. Tak butuh waktu lama Nalendra berhasil menggores tipis pinggang kanan Yada membuat pria itu terkejut dan meloncat mundur. 

Baru saja menunduk melihat pinggangnya yang berdarah dan tidak memperhitungkan serangan berikutnya, Yada sudah mendapat tendangan tepat mengenai pinggangnya yang terluka. Yada terhempas ke belakang.

Nalendra yang tidak ingin memperpanjang pertarungan segera menloncat menghilang di balik kegelapan.

CUT TO:

17. EXT. DESA KALIGEDE - PAGI

Laras sampai di Desa Kaligede saat hari sudah pagi. Tiba di rumah Ki Abinawa, teman kakeknya itu menunggu di halaman bersama tiga lelaki berpakaian abu-abu. Laras mencengkeram buntalan kainnya erat.

KI ABINAWA

Laras, selamat datang, Nak. Kemarilah. Kami sudah menunggumu.

Laras bertanya-tanya. Merasa ragu dia mengambil satu langkah mundur.

KI ABINAWA

Laras, jangan khawatir. Mereka adalah prajurit Mahawira utusan Gusti Pangeran Gentala.

Meski mendengar nama itu, Laras tetap tampak curiga. Memahami raut itu, Yada pun melempar sebuah belati kecil yang jatuh tepat di depan Laras. Laras yang mengenali belati itu segera memungutnya.

LARAS

(menuduh)

Apa yang sudah kalian lakukan pada kakekku?

KI ABINAWA

Laras, mereka datang kemari untuk memenuhi permintaan kakekmu. Kakekmu ingin kau ikut bersama mereka ke Payodapura.

LARAS

(cemas)

Lalu dimana kakekku?

KI ABINAWA

(tanpa ragu)

Dia sedang pergi ke suatu tempat, kau akan bertemu dengannya nanti. Selama pergi, kakekmu ingin mereka ini yang melindungimu.

Dalam hati Yada dan kedua rekannya membenarkan ucapan Ki Abinawa yang tidak berbohong dalam menceritakan kondisi kakek Laras.

YADA

Jangan melupakan jalan takdirmu. Itu yang kakekmu katakan andai kau tidak percaya pada kami.

Laras curiga, waspada, sekaligus cemas.

CUT TO:


Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar