Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
El Jamal : Kota, Darah, & Kejahatan Di Dalamnya
Suka
Favorit
Bagikan
6. BAB II : KITA BUKAN PELACUR (PART II)

INT. KAMAR MAEMUNAH - MALAM

Di ambang pintu kamarnya, sebelum Maemunah masuk ke dalam kamar, ia bilang:

MAEMUNAH

(dengan nada yang cukup tinggi)

Bisa nggak sih, Mah, sehari aja tanpa marah-marah! Sehari aja! Nggak capek, apah?

Maemunah menutup pintu kamarnya dengan kesal. Ia lari dan melemparkan tubuhnya di atas ranjang, dan menutup telinganya oleh bantal. Maemunah menangis.

Tak lama dari itu, di luar, kita mendengar seorang masuk ke dalam rumah.

SATIMIN (O.S)

Assalamualikum... Ada apa sih ribut-ribut? Kedengeran tau sampe keluar.

DIAN (O.S)

Anak kamu, tuh, ngelawan terus kalau di kasih tau!

Pintu kamar Maemunah di ketuk.

SATIMIN (O.S)

Nak, nak! Keluar, yuk! Kita makan bakso bareng-bareng. Papah bawa bakso nih.

Maemunah tak menanggapinya.

SATIMIN (O.S)

Nak... Papah masuk, yah.

Satimin membuka pintu kamar Maemunah perlahan. Ia menghampiri Maemunah dan duduk di tepian ranjang.

SATIMIN

(sambil menyingkap bantalnya pelan)

Nak...!

Ketika bantal itu tersingkap, Maemunah menyembunyikan mukanya dengan telapak tangan.

SATIMIN

Hey... kok, diumpetin begitu sih mukanya? Papah jadi nggak bisa lihat anak Papah yang cantik dong.

Dengan pelan Satimin mengangkat tangan Maemunah. Mata Maemunah terpejam. Tapi bibirnya yang semula cemberut, kini dengan malu-malu tersenyum.

SATIMIN

(terkejut)

Subhanallah!

Maemunah seketika membuka matanya, membelalak. Melihat ekspresi ayahnya yang kaget, ia bertanya;

MAEMUNAH

Kenapa?

Mata Satimin tertuju pada sudut kening Maemunah, sembari tangan kanannya meraba apa yang ia lihat.

MAEMUNAH

(panik)

Kenapa, Pah? Ada apa?

SATIMIN

Coba bangun, Nak. Papah lihat!

Maemunah bangun. Kepala Satimin mendekati kening Maemunah.

SATIMIN

Ini kening kamu ke...?

Dan di kecupnya kening itu oleh Satimin.

MAEMUNAH

(tersipu)

I-ihhh... Papaaaah! Kirain ada apa...

Satimin ketawa sembari mengusap lembut rambut Maemunah.

MAEMUNAH (V.O)

Ia selalu punya cara untuk menghiburku. Ia pandai dalam itu. Ia seorang ayah yang baik, yang penyayang, yang romantis dan juga mesra. Ia adalah ayahku!

SATIMIN

Ayo, Nak! Makan bakso yuk, kita makan bareng-bareng...

Maemunah mengangguk dengan manja. Tak lama dari itu, Dian, dari arah luar berteriak.

DIAN (O.S)

Jangan terlalu di manja, Pah, anaknya! Nanti jadi kebiasaan!

INT. KAMAR EUIS - SIANG

Euis tengah fokus mewarnai kuku Maemunah. Dengan warna kuning.

MAEMUNAH

Euis...

EUIS

Hmmmm..

MAEMUNAH

Aku tak pernah membayangkan bahwa hidup akan berjalan seperti ini. Kau tahu, Euis, dulu waktu sekolah, aku membayangkan hidupku sekarang ini tengah belajar di sekolah kedokteran. Aku ingin menjadi seorang dokter spesialis anak. Mengobati anak-anak kecil yang sakit gigi sebab aku senang dengan mereka yang lucu. Tapi sayang, Euis, menjadi dokter harus sekolah tinggi.

EUIS

Lalu kenapa kamu nggak sekolah kedokteran?

MAEMUNAH

Aku pengen sekolah kedokteran... dan aku yakin aku bisa mendapatkan beasiswa untuk itu. Nilai-nilaiku bagus dan aku cukup berprestasi di sekolah. Tapi kau tahu sendiri Mamahku seperti apa. Dia bilang kalau seorang gadis hanya cukup dengan lulusan SMA. Itu pun sudah jauh lebih baik. Karna ujung-ujungnya nanti akan mengurusi kebutuhan ranjang dan dapur. Terus dia bilang yang intinya begini, "mengurusi dapur dan ranjang tidak membutuhkan ijazah apalagi gelar, jadi kamu nggak sekolah pun sebenarnya nggak apa-apa." Dia pikir, aku nggak punya mimpi atau harapan, gituh? Ish! Aku benci Mamahku, Euis! Selain menyebalkan, pemikirannya begitu kolot! Jauh dari kata modern.

EUIS

Ya-begitulah nasib terlahir sebagai seorang perempuan, Mae. Kadang-kadang aku sendiri juga merasa menyesal dilahirkan sebagai perempuan. Tapi disisi lain, aku merasa bangga menjadi perempuan.

MAEMUNAH

Apa contohnya?

Euis berhenti sejenak mewarnai kuku Maemunah.

EUIS

Eu... ada beberapa hal yang perempuan bisa lakukan sementara kaum lelaki tidak bisa lakukan.

MAEMUNAH

Uh-huh... Contohnya?

EUIS

Banyak! Salah satunya pakaian. Perempuan bisa menggunakan pakaian lelaki sementara lelaki tidak bisa menggunakan pakaian perempuan. Eu.. seperti dress atau gaun. Sama halnya ketika berias. Apa bisa lelaki berias di mukanya sendiri? Bisa! Tapi gendernya patut dipertanyakan.

Dengar, Maemunah, sahabatku yang baik, aku kasih tahu kamu. Aku telah banyak bertemu dengan lelaki. Mereka sejatinya tangguh dan perkasa di luar, tapi sejatinya mereka lemah! Dan kurasa, lelaki-lelaki seperti ini adalah lelaki yang gagal sebagai pejantan.

MAEMUNAH

Maksudmu, dalam urusan seks, Euis?

EUIS

Iyah! Banyak para lelaki yang kutemui perkasa di luar, di penampilannya, tapi lemah ketika di ranjang. Ih-ih... terus-terus... apalagi yang udah "itu"nya kecil, terus di sengol dikit, eh, langsung keluar.

MAEMUNAH

Ish! Mengapa jadi ngomongin porno begini, sih?

EUIS

Memangnya kenapa? Nggak ada masalah kan dengan itu. Inilah, Mae, mengapa banyak perempuan-perempuan yang hamil di luar nikah. Kurang edukasi.

MAEMUNAH

Edukasi apanya? Yang tadi itu bukan edukasi, Euis, tapi membanding-bandingkan!

EUIS

Ya! Tapi apa pun itu, Mae, aku cuman pengen kamu merasa bangga menjadi seorang perempuan. Itu saja.

Maemunah melihat kukunya yang sebagian telah diwarnai.

MAEMUNAH

Ihhh... lucuuu! Gemes.

EUIS

(sembari meraih tangan Maemunah)

Sinih, mana tanganmu. Biar aku teruskan.

EXT. DI SEBUAH KAMPUNG PINGGIRAN KOTA - SORE

Hujan baru saja reda. Gerimis. Atap-atap rumah penduduk di pinggiran kota basah oleh air hujan. Dan langit telah menggelap sebelum waktunya. Sebagian rumah mulai menyalakan lampu depan.

Kita melihat Maemunah melompat-lompat menyusuri gang, menghindari jalanan yang becek.

INT. RUMAH MAEMUNAH - CONTINUOUS

RUANG TENGAH.

Dian tengah menggerutu sembari mengepel lantai di ruang tengah. Sudah tidak ada lagi TV di ruangan itu. Di sofa, kita melihat Satimin sedang duduk bersandar lemas yang dengan sabar mendengar ocehan bininya.

DIAN

Masa nggak bawa duit lagi sih, Pah? Terus dari tadi siang ngapain aja? Nggak jelas banget, perasaan. Kalau begini terus, kapan kita naik hajinya? Alah, jangankan naik haji, besok bisa makan atau nggak aja, nggak tau. Huft! Ngutang lagi, ngutang lagi... Punya laki nggak becus nafkahi keluarga!

Maemunah masuk.

DIAN

(kepada Maemunah)

Ini lagi! Abis dari mana kamu jam segini baru pulang? Keluyuran gak jelas, sama kaya bapaknya! Mending kalau pulang bawa duit, ini nggak!

MAEMUNAH

(sembari mengeset kakinya)

Habis dari rumah Euis, Mah.

Maemunah menghampiri Satimin hendak salim. Tapi sekalipun ia telah mengeset kakinya, Maemunah masih meninggalkan jejak kaki kotor di lantai. Dian berang melihat itu. Ia memukul Maemunah dengan alat pel tepat setelah Maemunah melewatinya. BUKKK! Di punggung Maemunah.

SATIMIN

(bangkit)

Astagfirulloh! Mamah!

Maemunah kesakitan. Perlahan, kesakitan itu berubah menjadi murka. Ia berpaling kepada Dian.

MAEMUNAH

(sembari menuding)

Kauuuuuu!!!!

Dan, GLEPAAAKKK! Maemunah menampar Dian. Keras.

DIAN

(memekik)

Anak durhaka!

Satimin mencegah Dian kala Dian ingin menyerang Maemunah dengan pengepelan. Ia segera merebut pengepelan tersebut dan membuangnya jauh. Satimin mendekapnya.

SATIMIN

Sudah, Mah, sudah! Istigfar, Mah. Istigfarrrr!

Dian mencoba memberontak.

DIAN

Lepasin, Pah! Lepasin! Biar aku kasih pelajaran itu anak! Anak kurang ajar! Nggak tau diri!

SATIMIN

(kepada Maemunah)

Kamu cepet masuk ke kamar, Nak!

MAEMUNAH

Nggak! Mae mau tau sampe mana dia memperlakukan Mae kaya apa!?

SATIMIN

Udah sana masuk, Nak! (kepada Dian) Udah, Mah! Istigfar. Malu sama tetangga.

DIAN

Perduli setan dengan tentangga! Lepasin, Pah! Biar aku hajar dia! Anak durhaka! Tercela!

MAEMUNAH

Udah lepasin aja, Pah! Nggak apa-apa Mae jadi anak durhaka kalau emaknya kaya begini!

Satimin menyeret Dian menjauh dari Maemunah, kedalam kamarnya.

DIAN

Anak tercela! Pergi kamu dari sini! Pergi! Anak nggak tau di urus! Nggak tau diri! Pergi sana kamu jauh-jauh! Pergi!

MAEMUNAH

Okeh! Mae pergi sekarang juga! Siapa juga yang mau tinggal sama ibu yang kerjaannya cuman ngomel-ngomel seharian nggak jelas! Puihhh!

Satimin dan Dian masuk ke dalam kamar. Kita mengikuti mereka.

KAMAR DIAN & SATIMIN.

Satimin membawa Dian duduk di tepian ranjang. Lalu mengunci pintu. Kepalanya pening. Stress.

DIAN

... Anak durhaka! Biadab! Nggak tau terima...

SATIMIN

(berteriak sembari menuding Dian)

DIAMMMM!

DIAN

Kamu juga sama aja! Bapak sama anak sama-sama nggak berguna!

SATIMIN

(berteriak sekeras-kerasnya di muka Dian)

DIAAMMMM! AKU BILANG DIAAAMMM! DIAAMMM! DIAAAMM! Jangan sampai aku tampar kamu, Dian!

DIAN

Tam -

Plaaakk! Satimin menampar Dian.

SATIMIN

(dengan nada yang di tekan)

Kamu bisa nggak, ngertiin saya sekali saja! SEKALI! Jangan bisanya cuman ngeluh dan marah-marah! Sabar! Saya juga lagi usaha buat cari kerja. Buat ngasih makan kamu! Jangan kamu pikir saya nggak melakukan apa-apa!

MAEMUNAH (V.O)

Ayahku tak pernah marah, aku yakin, atau bertindak kasar kepada siapa pun sebelumnya. Tidak pernah sama sekali. Tapi bukan berarti orang macam ayahku tidak bisa marah! Ia bisa marah, sebagaimana aku dan juga siapa pun di muka bumi ini. Seseorang akan murka, termasuk ayahku, ketika rasa muak dan kesabaran telah berada di ujung tanduk.

Tiba-tiba Satimin mendadak lemas. Nada bicaranya berubah menjadi lirih. Ia bersimpuh di hadapan Dian.

SATIMIN

(menangis)

Saya sudah berusaha sekuat dan semampu saya mencari uang untuk ngasih makan kamu, untuk menafkahi keluarga kita. Saya sudah berkeliling ke hampir seluruh kota untuk mendapatkan kembali pekerjaan. Tapi, tapi memang Tuhan belum ngasih rezeki-Nya buat kita. Jadi saya mohon sama kamu, sabar... sabarr... Cuman itu kok yang saya minta dari kamu; Sabar...

Kini Dian ikut menangis. Ia memeluk suaminya. Dan pada saat itulah Satimin sayup-sayup mendengar suara di kamar Maemunah.

SATIMIN

Anakku!

Satimin bangkit dan segera ke kamar Maemunah. Kita mengikuti Satimin.

KAMAR MAEMUNAH.

Di ambang pintu kamar, Satimin mendapati putrinya tengah mengemas pakaian ke dalam koper.

SATIMIN

Kamu mau kemana, Nak?

Satimin menghampiri Maemunah.

MAEMUNAH

(menangis)

Mae mau pergi, Pah! Mae udah di usir dari sini.

SATIMIN

Mamah tadi khilaf, Nak.

MAEMUNAH

Mau khilaf atau nggak, Mae tetep mau pergi dari sini, Pah.

SATIMIN

Udah dong, Sayang, Anakku. Jangan pergi. Kamu mau pergi kemana? Kamu emang tega ninggalin papah?

MAEMUNAH

Pah! Mae capek tinggal disini. Ribut terus sama Mamah. Satu-satunya cara biar Mae terbebas dari ini semua ya, Mae harus pergi.

SATIMIN

Sabar, Nak! Kita semua sedang dalam ujian. Kamu harus kuat.

MAEMUNAH

Mae keukeuh mau tetep pergi! Mae udah nggak tahan lagi sama semua ini, sama Mamah! Nggak enak hidup cuman jadi beban. Jadi benalu!

SATIMIN

Hey! Jangan bilang begitu. Papah nggak merasa di bebani sama kamu.

MAEMUNAH

Papah mungkin nggak, cuman Mamah yang ngerasa begitu.

SATIMIN

Papah mohon sama kamu, Nak, jangan pergi!

MAEMUNAH

Sudahlah, Pah! Papah mau ngebujuk gimana pun Mae tetep juga mau pergi. Lagian, Mae udah gede sekarang. Mae mau hidup mandiri. Udah saatnya Papah ngelepas Mae. Papah nggak usah khawatir. Mae bisa jaga diri.

Maemunah menutup resletting kopernya. Mengambil jaket dan pergi membawa koper. Di ambang pintu kamarnya ia berhenti. Menoleh ke arah Satimin. Ia kembali menghampiri Satimin dan memeluknya.

MAEMUNAH

Jaga diri baik-baik, Pah! Doakan selalu keselamatan Mae. Mae pamit... Assalamualikum.

Maemunah pergi, meninggalkan ayahnya yang terpaku.

EXT. DEPAN RUMAH EUIS - MAGRIB

Dari kejauhan, kita melihat Maemunah dengan kopernya berdiri di depan pintu rumah Euis. Euis muncul membukakan pintu. Ia menatap Maemunah sejenak sebelum akhirnya memeluknya.

Euis membawa Maemunah masuk.

PERJALANAN MAEMUNAH & EUIS KE KOTA RAMUNDA - MONTAGE

TERMINAL.

Maemunah dan Euis masuk kedalam ke gedung Terminal dengan menyeret kopernya.

Euis dan Maemunah dikerumuni oleh calo-calo yang menanyakan tujuannya. Tapi Euis dan Maemunah tetap terus berjalan.

Di dalam bis, Euis dan Maemunah berjalan di antara lorong bangku-bangku penumpang. Di tengah, di samping bangku kosong di sebelah kanan, sebelum keduanya duduk, mereka menaruh tas jinjingnya di kabin. Maemunah duduk dekat jendela sementara Euis di sampingnya.

Bis yang di tumpangi Maemunah dan Euis bergerak maju meninggalkan terminal.

JALAN TOL.

Dari luar jendela bis, kita melihat Maemunah memandang ke arah jalan. Air mukanya begitu dingin, kosong, dan hampa.

Di dalam bis, di bagian depan, kita melihat KENEK tengah menyusun uang dari yang nilainya tinggi sampai ke yang terendah. Dari kaca spion, kita melihat SUPIR tengah fokus mengendarai.

Di antara bangku-bangku penumpang yang terisi penuh, kita melihat Euis sedang terlelap dengan kepala yang condong ke lorong bis, sementara Maemunah masih memandang ke arah jalan.

Dari ketinggian, di antara langit senja, jembatan kereta api dan bukit-bukit, kita melihat bis yang di tumpangi Maemunah dan Euis melintas di atas jembatan.

PELABUHAN.

Bis masuk ke gerbang pelabuhan.

Di dek kapal, Maemunah sendirian tengah memandang laut. Tak lama dari itu, datang Euis berdiri di sampingnya dan mendekap Maemunah.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar