Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INT. KAMAR MAEMUNAH - MALAM
Di ambang pintu kamarnya, sebelum Maemunah masuk ke dalam kamar, ia bilang:
MAEMUNAH
(dengan nada yang cukup tinggi)
Bisa nggak sih, Mah, sehari aja tanpa marah-marah! Sehari aja! Nggak capek, apah?
Maemunah menutup pintu kamarnya dengan kesal. Ia lari dan melemparkan tubuhnya di atas ranjang, dan menutup telinganya oleh bantal. Maemunah menangis.
Tak lama dari itu, di luar, kita mendengar seorang masuk ke dalam rumah.
SATIMIN (O.S)
Assalamualikum... Ada apa sih ribut-ribut? Kedengeran tau sampe keluar.
DIAN (O.S)
Anak kamu, tuh, ngelawan terus kalau di kasih tau!
Pintu kamar Maemunah di ketuk.
SATIMIN (O.S)
Nak, nak! Keluar, yuk! Kita makan bakso bareng-bareng. Papah bawa bakso nih.
Maemunah tak menanggapinya.
SATIMIN (O.S)
Nak... Papah masuk, yah.
Satimin membuka pintu kamar Maemunah perlahan. Ia menghampiri Maemunah dan duduk di tepian ranjang.
SATIMIN
(sambil menyingkap bantalnya pelan)
Nak...!
Ketika bantal itu tersingkap, Maemunah menyembunyikan mukanya dengan telapak tangan.
SATIMIN
Hey... kok, diumpetin begitu sih mukanya? Papah jadi nggak bisa lihat anak Papah yang cantik dong.
Dengan pelan Satimin mengangkat tangan Maemunah. Mata Maemunah terpejam. Tapi bibirnya yang semula cemberut, kini dengan malu-malu tersenyum.
SATIMIN
(terkejut)
Subhanallah!
Maemunah seketika membuka matanya, membelalak. Melihat ekspresi ayahnya yang kaget, ia bertanya;
MAEMUNAH
Kenapa?
Mata Satimin tertuju pada sudut kening Maemunah, sembari tangan kanannya meraba apa yang ia lihat.
MAEMUNAH
(panik)
Kenapa, Pah? Ada apa?
SATIMIN
Coba bangun, Nak. Papah lihat!
Maemunah bangun. Kepala Satimin mendekati kening Maemunah.
SATIMIN
Ini kening kamu ke...?
Dan di kecupnya kening itu oleh Satimin.
MAEMUNAH
(tersipu)
I-ihhh... Papaaaah! Kirain ada apa...
Satimin ketawa sembari mengusap lembut rambut Maemunah.
MAEMUNAH (V.O)
Ia selalu punya cara untuk menghiburku. Ia pandai dalam itu. Ia seorang ayah yang baik, yang penyayang, yang romantis dan juga mesra. Ia adalah ayahku!
SATIMIN
Ayo, Nak! Makan bakso yuk, kita makan bareng-bareng...
Maemunah mengangguk dengan manja. Tak lama dari itu, Dian, dari arah luar berteriak.
DIAN (O.S)
Jangan terlalu di manja, Pah, anaknya! Nanti jadi kebiasaan!
INT. KAMAR EUIS - SIANG
Euis tengah fokus mewarnai kuku Maemunah. Dengan warna kuning.
MAEMUNAH
Euis...
EUIS
Hmmmm..
MAEMUNAH
Aku tak pernah membayangkan bahwa hidup akan berjalan seperti ini. Kau tahu, Euis, dulu waktu sekolah, aku membayangkan hidupku sekarang ini tengah belajar di sekolah kedokteran. Aku ingin menjadi seorang dokter spesialis anak. Mengobati anak-anak kecil yang sakit gigi sebab aku senang dengan mereka yang lucu. Tapi sayang, Euis, menjadi dokter harus sekolah tinggi.
EUIS
Lalu kenapa kamu nggak sekolah kedokteran?
MAEMUNAH
Aku pengen sekolah kedokteran... dan aku yakin aku bisa mendapatkan beasiswa untuk itu. Nilai-nilaiku bagus dan aku cukup berprestasi di sekolah. Tapi kau tahu sendiri Mamahku seperti apa. Dia bilang kalau seorang gadis hanya cukup dengan lulusan SMA. Itu pun sudah jauh lebih baik. Karna ujung-ujungnya nanti akan mengurusi kebutuhan ranjang dan dapur. Terus dia bilang yang intinya begini, "mengurusi dapur dan ranjang tidak membutuhkan ijazah apalagi gelar, jadi kamu nggak sekolah pun sebenarnya nggak apa-apa." Dia pikir, aku nggak punya mimpi atau harapan, gituh? Ish! Aku benci Mamahku, Euis! Selain menyebalkan, pemikirannya begitu kolot! Jauh dari kata modern.
EUIS
Ya-begitulah nasib terlahir sebagai seorang perempuan, Mae. Kadang-kadang aku sendiri juga merasa menyesal dilahirkan sebagai perempuan. Tapi disisi lain, aku merasa bangga menjadi perempuan.
MAEMUNAH
Apa contohnya?
Euis berhenti sejenak mewarnai kuku Maemunah.
EUIS
Eu... ada beberapa hal yang perempuan bisa lakukan sementara kaum lelaki tidak bisa lakukan.
MAEMUNAH
Uh-huh... Contohnya?
EUIS
Banyak! Salah satunya pakaian. Perempuan bisa menggunakan pakaian lelaki sementara lelaki tidak bisa menggunakan pakaian perempuan. Eu.. seperti dress atau gaun. Sama halnya ketika berias. Apa bisa lelaki berias di mukanya sendiri? Bisa! Tapi gendernya patut dipertanyakan.
Dengar, Maemunah, sahabatku yang baik, aku kasih tahu kamu. Aku telah banyak bertemu dengan lelaki. Mereka sejatinya tangguh dan perkasa di luar, tapi sejatinya mereka lemah! Dan kurasa, lelaki-lelaki seperti ini adalah lelaki yang gagal sebagai pejantan.
MAEMUNAH
Maksudmu, dalam urusan seks, Euis?
EUIS
Iyah! Banyak para lelaki yang kutemui perkasa di luar, di penampilannya, tapi lemah ketika di ranjang. Ih-ih... terus-terus... apalagi yang udah "itu"nya kecil, terus di sengol dikit, eh, langsung keluar.
MAEMUNAH
Ish! Mengapa jadi ngomongin porno begini, sih?
EUIS
Memangnya kenapa? Nggak ada masalah kan dengan itu. Inilah, Mae, mengapa banyak perempuan-perempuan yang hamil di luar nikah. Kurang edukasi.
MAEMUNAH
Edukasi apanya? Yang tadi itu bukan edukasi, Euis, tapi membanding-bandingkan!
EUIS
Ya! Tapi apa pun itu, Mae, aku cuman pengen kamu merasa bangga menjadi seorang perempuan. Itu saja.
Maemunah melihat kukunya yang sebagian telah diwarnai.
MAEMUNAH
Ihhh... lucuuu! Gemes.
EUIS
(sembari meraih tangan Maemunah)
Sinih, mana tanganmu. Biar aku teruskan.
EXT. DI SEBUAH KAMPUNG PINGGIRAN KOTA - SORE
Hujan baru saja reda. Gerimis. Atap-atap rumah penduduk di pinggiran kota basah oleh air hujan. Dan langit telah menggelap sebelum waktunya. Sebagian rumah mulai menyalakan lampu depan.
Kita melihat Maemunah melompat-lompat menyusuri gang, menghindari jalanan yang becek.
INT. RUMAH MAEMUNAH - CONTINUOUS
RUANG TENGAH.
Dian tengah menggerutu sembari mengepel lantai di ruang tengah. Sudah tidak ada lagi TV di ruangan itu. Di sofa, kita melihat Satimin sedang duduk bersandar lemas yang dengan sabar mendengar ocehan bininya.
DIAN
Masa nggak bawa duit lagi sih, Pah? Terus dari tadi siang ngapain aja? Nggak jelas banget, perasaan. Kalau begini terus, kapan kita naik hajinya? Alah, jangankan naik haji, besok bisa makan atau nggak aja, nggak tau. Huft! Ngutang lagi, ngutang lagi... Punya laki nggak becus nafkahi keluarga!
Maemunah masuk.
DIAN
(kepada Maemunah)
Ini lagi! Abis dari mana kamu jam segini baru pulang? Keluyuran gak jelas, sama kaya bapaknya! Mending kalau pulang bawa duit, ini nggak!
MAEMUNAH
(sembari mengeset kakinya)
Habis dari rumah Euis, Mah.
Maemunah menghampiri Satimin hendak salim. Tapi sekalipun ia telah mengeset kakinya, Maemunah masih meninggalkan jejak kaki kotor di lantai. Dian berang melihat itu. Ia memukul Maemunah dengan alat pel tepat setelah Maemunah melewatinya. BUKKK! Di punggung Maemunah.
SATIMIN
(bangkit)
Astagfirulloh! Mamah!
Maemunah kesakitan. Perlahan, kesakitan itu berubah menjadi murka. Ia berpaling kepada Dian.
MAEMUNAH
(sembari menuding)
Kauuuuuu!!!!
Dan, GLEPAAAKKK! Maemunah menampar Dian. Keras.
DIAN
(memekik)
Anak durhaka!
Satimin mencegah Dian kala Dian ingin menyerang Maemunah dengan pengepelan. Ia segera merebut pengepelan tersebut dan membuangnya jauh. Satimin mendekapnya.
SATIMIN
Sudah, Mah, sudah! Istigfar, Mah. Istigfarrrr!
Dian mencoba memberontak.
DIAN
Lepasin, Pah! Lepasin! Biar aku kasih pelajaran itu anak! Anak kurang ajar! Nggak tau diri!
SATIMIN
(kepada Maemunah)
Kamu cepet masuk ke kamar, Nak!
MAEMUNAH
Nggak! Mae mau tau sampe mana dia memperlakukan Mae kaya apa!?
SATIMIN
Udah sana masuk, Nak! (kepada Dian) Udah, Mah! Istigfar. Malu sama tetangga.
DIAN
Perduli setan dengan tentangga! Lepasin, Pah! Biar aku hajar dia! Anak durhaka! Tercela!
MAEMUNAH
Udah lepasin aja, Pah! Nggak apa-apa Mae jadi anak durhaka kalau emaknya kaya begini!
Satimin menyeret Dian menjauh dari Maemunah, kedalam kamarnya.
DIAN
Anak tercela! Pergi kamu dari sini! Pergi! Anak nggak tau di urus! Nggak tau diri! Pergi sana kamu jauh-jauh! Pergi!
MAEMUNAH
Okeh! Mae pergi sekarang juga! Siapa juga yang mau tinggal sama ibu yang kerjaannya cuman ngomel-ngomel seharian nggak jelas! Puihhh!
Satimin dan Dian masuk ke dalam kamar. Kita mengikuti mereka.
KAMAR DIAN & SATIMIN.
Satimin membawa Dian duduk di tepian ranjang. Lalu mengunci pintu. Kepalanya pening. Stress.
DIAN
... Anak durhaka! Biadab! Nggak tau terima...
SATIMIN
(berteriak sembari menuding Dian)
DIAMMMM!
DIAN
Kamu juga sama aja! Bapak sama anak sama-sama nggak berguna!
SATIMIN
(berteriak sekeras-kerasnya di muka Dian)
DIAAMMMM! AKU BILANG DIAAAMMM! DIAAMMM! DIAAAMM! Jangan sampai aku tampar kamu, Dian!
DIAN
Tam -
Plaaakk! Satimin menampar Dian.
SATIMIN
(dengan nada yang di tekan)
Kamu bisa nggak, ngertiin saya sekali saja! SEKALI! Jangan bisanya cuman ngeluh dan marah-marah! Sabar! Saya juga lagi usaha buat cari kerja. Buat ngasih makan kamu! Jangan kamu pikir saya nggak melakukan apa-apa!
MAEMUNAH (V.O)
Ayahku tak pernah marah, aku yakin, atau bertindak kasar kepada siapa pun sebelumnya. Tidak pernah sama sekali. Tapi bukan berarti orang macam ayahku tidak bisa marah! Ia bisa marah, sebagaimana aku dan juga siapa pun di muka bumi ini. Seseorang akan murka, termasuk ayahku, ketika rasa muak dan kesabaran telah berada di ujung tanduk.
Tiba-tiba Satimin mendadak lemas. Nada bicaranya berubah menjadi lirih. Ia bersimpuh di hadapan Dian.
SATIMIN
(menangis)
Saya sudah berusaha sekuat dan semampu saya mencari uang untuk ngasih makan kamu, untuk menafkahi keluarga kita. Saya sudah berkeliling ke hampir seluruh kota untuk mendapatkan kembali pekerjaan. Tapi, tapi memang Tuhan belum ngasih rezeki-Nya buat kita. Jadi saya mohon sama kamu, sabar... sabarr... Cuman itu kok yang saya minta dari kamu; Sabar...
Kini Dian ikut menangis. Ia memeluk suaminya. Dan pada saat itulah Satimin sayup-sayup mendengar suara di kamar Maemunah.
SATIMIN
Anakku!
Satimin bangkit dan segera ke kamar Maemunah. Kita mengikuti Satimin.
KAMAR MAEMUNAH.
Di ambang pintu kamar, Satimin mendapati putrinya tengah mengemas pakaian ke dalam koper.
SATIMIN
Kamu mau kemana, Nak?
Satimin menghampiri Maemunah.
MAEMUNAH
(menangis)
Mae mau pergi, Pah! Mae udah di usir dari sini.
SATIMIN
Mamah tadi khilaf, Nak.
MAEMUNAH
Mau khilaf atau nggak, Mae tetep mau pergi dari sini, Pah.
SATIMIN
Udah dong, Sayang, Anakku. Jangan pergi. Kamu mau pergi kemana? Kamu emang tega ninggalin papah?
MAEMUNAH
Pah! Mae capek tinggal disini. Ribut terus sama Mamah. Satu-satunya cara biar Mae terbebas dari ini semua ya, Mae harus pergi.
SATIMIN
Sabar, Nak! Kita semua sedang dalam ujian. Kamu harus kuat.
MAEMUNAH
Mae keukeuh mau tetep pergi! Mae udah nggak tahan lagi sama semua ini, sama Mamah! Nggak enak hidup cuman jadi beban. Jadi benalu!
SATIMIN
Hey! Jangan bilang begitu. Papah nggak merasa di bebani sama kamu.
MAEMUNAH
Papah mungkin nggak, cuman Mamah yang ngerasa begitu.
SATIMIN
Papah mohon sama kamu, Nak, jangan pergi!
MAEMUNAH
Sudahlah, Pah! Papah mau ngebujuk gimana pun Mae tetep juga mau pergi. Lagian, Mae udah gede sekarang. Mae mau hidup mandiri. Udah saatnya Papah ngelepas Mae. Papah nggak usah khawatir. Mae bisa jaga diri.
Maemunah menutup resletting kopernya. Mengambil jaket dan pergi membawa koper. Di ambang pintu kamarnya ia berhenti. Menoleh ke arah Satimin. Ia kembali menghampiri Satimin dan memeluknya.
MAEMUNAH
Jaga diri baik-baik, Pah! Doakan selalu keselamatan Mae. Mae pamit... Assalamualikum.
Maemunah pergi, meninggalkan ayahnya yang terpaku.
EXT. DEPAN RUMAH EUIS - MAGRIB
Dari kejauhan, kita melihat Maemunah dengan kopernya berdiri di depan pintu rumah Euis. Euis muncul membukakan pintu. Ia menatap Maemunah sejenak sebelum akhirnya memeluknya.
Euis membawa Maemunah masuk.
PERJALANAN MAEMUNAH & EUIS KE KOTA RAMUNDA - MONTAGE
TERMINAL.
Maemunah dan Euis masuk kedalam ke gedung Terminal dengan menyeret kopernya.
Euis dan Maemunah dikerumuni oleh calo-calo yang menanyakan tujuannya. Tapi Euis dan Maemunah tetap terus berjalan.
Di dalam bis, Euis dan Maemunah berjalan di antara lorong bangku-bangku penumpang. Di tengah, di samping bangku kosong di sebelah kanan, sebelum keduanya duduk, mereka menaruh tas jinjingnya di kabin. Maemunah duduk dekat jendela sementara Euis di sampingnya.
Bis yang di tumpangi Maemunah dan Euis bergerak maju meninggalkan terminal.
JALAN TOL.
Dari luar jendela bis, kita melihat Maemunah memandang ke arah jalan. Air mukanya begitu dingin, kosong, dan hampa.
Di dalam bis, di bagian depan, kita melihat KENEK tengah menyusun uang dari yang nilainya tinggi sampai ke yang terendah. Dari kaca spion, kita melihat SUPIR tengah fokus mengendarai.
Di antara bangku-bangku penumpang yang terisi penuh, kita melihat Euis sedang terlelap dengan kepala yang condong ke lorong bis, sementara Maemunah masih memandang ke arah jalan.
Dari ketinggian, di antara langit senja, jembatan kereta api dan bukit-bukit, kita melihat bis yang di tumpangi Maemunah dan Euis melintas di atas jembatan.
PELABUHAN.
Bis masuk ke gerbang pelabuhan.
Di dek kapal, Maemunah sendirian tengah memandang laut. Tak lama dari itu, datang Euis berdiri di sampingnya dan mendekap Maemunah.