Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
CEO Bucin (Draft 1)
Suka
Favorit
Bagikan
12. ACT III - FONDASI DI UJUNG BADAI (Part 01)

FADE IN.


29. INT. RUMAH LIRA – RUANG TAMU – SIANG

Cahaya matahari masuk lewat tirai tipis. Ruang tamu kecil itu rapi, sederhana, dan terasa “rumah” - kontras dengan aura tamu yang mau datang.

 

Pintu diketuk. IBU LIRA membuka.

 

Di depan pintu: MAMA ARKA, mengenakan pakaian formal elegan, langsung menyodorkan sebuah kotak perhiasan kecil berwarna abu-abu, jelas dari brand kelas atas.

 

Ketegangan halus langsung memenuhi ruangan. Bukan tegang kasar - tapi ketegangan elegan antara dua perempuan dewasa yang sama-sama punya martabat.

 

MAMA ARKA

(TERSENYUM SOPAN)

Ibu . . . saya datang dengan membawa sedikit tanda hormat buat Lira.


Ibu Lira menatap kotak itu. Ekspresinya tetap tenang - tapi ada kilatan tipis: tidak nyaman. Tidak tersanjung. Hanya: “Ini terlalu mewah untuk rumah saya.”

 

IBU LIRA

(HALUS, TETAP TEGAS)

Terima kasih sudah datang, Bu. 
Silakan masuk dulu.

 

Mama Arka masuk dan duduk.

Ibu Lira duduk berhadapan - jarak yang sopan, tapi mengatur posisi “ruang”.

 

LIRA muncul dari kamar.

Arkanya datang menyusul, berdiri di belakang Mama Arka - gugup.

 

Mama Arka menyerahkan kotak itu kepada Lira.

 

MAMA ARKA

Ini . . . untukmu, Lira.
Saya menghargai keberanian kamu kemarin.

 

Lira ragu membuka.

Ibu Lira memperhatikan.

 

Begitu kotak dibuka - liontin emas putih dengan berlian kecil motif lotus memantulkan cahaya ke seluruh ruangan (sponsorship, maybe?!).

 

Arka sedikit kaget.

Lira membeku.

Ibu Lira mengangkat alis tipis - nyaris tak terlihat oleh siapa pun, tapi cukup untuk menunjukkan: “Ini bukan dunia kami.”

 

Glitch halus terjadi: Cahaya dari liontin itu berpendar sepersekian detik lebih lama dari seharusnya - seolah ruangan belum siap memuat barang semahal itu. Hanya Lira yang melihat jelas.

 

IBU LIRA

(SOPAN, LEMBUT TAPI TEGAS)

Aduh, Bu . . .
Hadiah ini . . . terlalu besar untuk rumah kami.

 

Mama Arka tampak tersentuh - dan sedikit canggung.

 

MAMA ARKA

Saya tidak bermaksud menyinggung apalagi menghina keluarga ini, Bu.
Saya hanya ingin menunjukkan ketulusan . . . memperbaiki keadaan.

 

Ibu Lira tersenyum kecil - senyum yang manis tapi bernada batasan.

 

IBU LIRA

Saya paham maksud baiknya.
Tapi untuk meminta maaf, cukuplah dengan kata-kata yang jujur.
Kami tidak terbiasa mengukur ketulusan dengan harga barang.


Lira menunduk - malu, tersentuh, bingung.

 

Arka terdiam - bangga dengan Ibu Lira, sekaligus merasa Mama Arka perlu diselamatkan dari canggungnya.

 

Mama Arka menghela napas perlahan.


ARKA

(MENENGAHI)

Maafkan Mama saya, Bu.
Terkadang beliau lupa . . . tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kemewahan.

 

Glitch halus lagi: bayangan Mama Arka di lantai muncul setengah detik terlambat. Ia tidak sadar. Lira memperhatikan - alisnya bergetar.

 

LIRA

Bu . . . terima kasih. 
Tapi saya lebih butuh . . . pengertian, daripada hadiah.

 

Mama Arka menatap Lira—kali ini benar-benar melihatnya sebagai pribadi, bukan calon “kelas sosial”.

 

MAMA ARKA

Baik kalau begitu.
Tapi . . . bolehkah saya meminta kesempatan kedua?
Tanpa liontin ini.


Ibu Lira menutup kotak itu sendiri. Pelan, tapi jelas seperti “menutup bab yang tidak pas”.

 

IBU LIRA

(HANGAT, SEDERHANA)

Kesempatan selalu ada. 
Asal disampaikan dengan saling hormat.

 

Keheningan nyaman turun.

 

Saat Lira akan mengembalikan liontin tersebut. Arka angkat bicara.

 

ARKA

(KE LIRA)

Kamu nggak boleh mengembalikan hadiah tersebut, Lira.
Namun kamu juga nggak harus pakai itu. 

 

Lira tersenyum tipis.

 

LIRA

(TERSENYUM TIPIS)

Baiklah, kalau itu permintaan Pak Arka.

 

Gelas di meja berbunyi klik lagi - seperti dunia mengetukkan jarinya minta perhatian. Lira melihat ke arah suara.

 

LIRA

(PELAN)

Dunia . . . kayaknya kamu belum sinkron hari ini ya?!

 

Arka menelan ludah.

Mama Arka merinding tanpa alasan jelas.

Ibu Lira hanya memandang anaknya - mengerti lebih dari yang ia katakan.

CUT TO:

 

30. EXT. BAGIAN BELAKANG RUMAH LIRA – SIANG

Bagian belakang ini menghadap laut. Tidak terlalu lebar namun juga tidak terlalu sempit. Ada lampu menggantung di sudut atap.


LIRA duduk di lantai kayu, punggung bersandar ke dinding, kakinya menjuntai di sela-sela pagar sederhana. Ia terlihat setengah lelah, setengah terjaga sepenuhnya.


ARKA muncul pelan. Ia tidak mengetuk, tapi langkahnya punya kehati-hatian yang lebih “halus” dari biasanya.


ARKA

Boleh aku duduk?


Lira mengangguk tanpa menoleh.

Arka duduk di lantai, berjarak satu bahu darinya.


Keheningan yang nyaman . . . sebelum glitch datang lagi. Lampu satu-satunya tersebut berkedip sekali, lambat, seperti kelelahan mengikuti emosi penghuninya.


LIRA

(LIRIH)

Lampunya dari kemaren sudah kayak gitu.


Arka menatap lampu itu.


ARKA

Bola lampunya mau mati?


LIRA

Bukan. 

(BEAT)

Cuma . . . kayak kecepatan nyala.


Arka menimbang kata-katanya, tidak menertawakan, tidak menyangkal.


ARKA

Kamu capek, Li.


LIRA

Iya. 
Tapi bukan capek badan.


Arka menunggu.


LIRA

Capek . . .jadi diri yang harus tutup mulut di depan orang yang lebih kuat. 
Capek diukur. 
Capek diatur. 
Capek dianggap nggak cukup.


Arka menelan napas pelan.



ARKA

Aku minta maaf atas sikap Mamaku.


LIRA

Bukan salah kamu. 
Dunia kamu . . . memang lebih besar dari aku. Lebih ribut. Lebih mahal. 

(MENGHELA NAPAS)

Kadang aku ngerasa aku cuma . . . jadi cameo aja.


Arka tersentak mendengar itu - terluka tanpa menunjukkannya.


ARKA

Kamu bukan sedang cameo, Li. 
Kamu cuma nulis ulang hidup aku.


Lira tersenyum kecil. Tipis. Rapuh tapi manis.


LIRA

Tapi kamu lihat kan? 
Barang itu -

(MENEGUK LUDAH, LIRIH)

itu cara halus untuk ngomong: 
aku nggak cukup mewah buat masuk dunia kalian.


Arka bersandar pada lututnya, frustrasi tapi menahan diri.


ARKA

Itu bukan maksud Mama. 
Tapi . . .

(JUJUR)

Iya.
Itu bahasa kelas sosial.
Dan aku nggak bangga soal itu.


Lira memejamkan mata.


LIRA

Kamu nggak harus malu . . . cuma karena kamu lahir di tempat berbeda, Ka.
Tapi aku juga nggak mau dipaksa berubah.


Lampu meja berkedip lagi, kali ini sedikit lebih cepat.

Arka melirik - merasa janggal.


ARKA

Suasana ini kok terasa beda dari biasanya, ya?!


Lira membuka mata.


LIRA

(PELAN, HAMPIR TAKUT)

Kayak . . . ada yang ikut napas kita.


Arka menggigit bibir, tidak ingin membuatnya makin cemas.


ARKA

Li . . . kalo kamu mau, kita bisa pelan-pelan kok. 
Kamu nggak harus jawab semua.
Nggak harus ngerti semua.


LIRA

Tapi satu hal aku ngerti: 
aku takut kehilangan kamu, hanya gara-gara dunia kita beda.


Arka akhirnya mendekat sedikit - tidak menyentuh, tapi jarak di antara mereka tinggal hitungan jari.


ARKA

Kalau kita memang beda dunia . . . aku lebih suka pilih dunia kamu.


Hening. Hening sunyi yang indah. Hening yang sinkron - untuk pertama kalinya sejak siang tadi.


Namun glitch kecil muncul: jendela berkedut pelan tanpa angin. Seperti frame video yang drop satu kali.


Lira menoleh.


LIRA

Ka . . . kamu lihat itu?


ARKA

(JUJUR)

Iya. 
Tapi aku nggak mau itu jadi alasan kamu takut. 
Apapun yang “telat”, apapun yang “nge-lag”, kita perbaikin bareng-bareng.


Lira menunduk, menahan air mata.


LIRA

Kamu beneran nggak capek?


ARKA

Kalau capek, aku akan istirahat di bahu kamu. 

(BEAT)

Tapi aku nggak pergi.


Lira tersenyum - kecil, tapi untuk pertama kalinya malam itu benar-benar tulus. Dia menutup mata perlahan, menyandarkan kepalanya di bahu Arka dan lampu meja berhenti berkedip. Stabil. Tenang.


ARKA

(BERBISIK KEPADA DUNIA)

Begitu lebih baik.


LIRA

Arka . . .


ARKA

Hmmm . . . ?!


LIRA

Aku pengen percaya. 
Tolong ajari aku pelan-pelan.


Arka mengangguk. Lembut. Nyaris tak bersuara.


ARKA

Aku akan selalu di sisimu, Li.


Dunia . . . untuk sesaat . . . ikut diam bersama mereka.

CUT TO:


31. INT. RUMAH LIRA – RUANG TAMU – SORE

Cahaya sore masuk lembut dari celah tirai. Ruang tamu kecil itu terlihat rapi dan terang - terang yang seakan sedikit “terlambat menyala” setelah seseorang bergerak.


IBU LIRA duduk di kursi kayu, tubuh tegak, tangan merapikan ujung sarung. Elegan dalam kesederhanaannya. MAMA ARKA duduk di sofa berseberangan. Ia membawa ketenangan yang tampak dipaksakan - senyum sopannya sedikit kaku, tapi tulus.


Ibu Lira menuang teh. Uap teh sempat berhenti sepersekian detik sebelum naik lagi. Glitch halus. Tidak dibahas, hanya dirasakan.

Keheningan awal bukan canggung. Hening “dua dunia berbeda yang masuk ruang yang sama.”


MAMA ARKA

(PELAN, HATI-HATI)

Ibu . . . apa yang kita bicarakan tadi . . . saya pikirkan lagi.


Ibu Lira mengangguk. Tidak membuka ruang terlalu banyak, tapi cukup untuk menunjukkan ia mendengar.


MAMA ARKA

Saya ingin bicara tentang: 
*apa yang mungkin terjadi selanjutnya* antara Arka dan Lira.


Ibu Lira menaruh cangkirnya pelan. Ada kekuatan halus dalam gerakan itu.


IBU LIRA

Ya. 
Itu memang hal penting yang harus dibicarakan.


Mama Arka menelan pelan, menyusun kata.


MAMA ARKA

Jika hubungan mereka serius . . .
akan banyak hal yang ikut bergerak. 
Keluarga besar.
Lingkungan sosial.
Perusahaan.
Media.


Ibu Lira tak terkejut. Ia sudah menduga ini.


IBU LIRA

Dan Ibu ingin tahu . . . apakah Lira sanggup menghadapi itu?


MAMA ARKA

(JUJUR)

Bukan.
Lebih kepada . . . saya ingin tahu . . . apakah dunia kami yang sanggup menerima dia apa adanya.


Kalimat itu membuat udara berubah sedikit. Sederhana, tapi berat.


Glitch halus muncul lagi: bunyi tik-tik jam dinding tiba dua kali, padahal jarum hanya bergerak sekali.


Ibu Lira memperhatikan sekilas. Mama Arka menahan napas kecil.


IBU LIRA

Lira hidupnya sederhana . . . tapi hatinya tidak kecil. 
Yang saya takutkan . . . justru dunia besar Ibu yang tanpa sengaja bisa meremas hatinya.


Mama Arka mengangguk - mengakui itu tanpa defensif, tanpa alasan.


MAMA ARKA

Itu sebabnya . . . saya ingin bicara dengan Ibu. 
Saya ingin memastikan . . . kalau saya berdiri di sisi yang benar, ketika ada yang merendahkan Lira.


Ibu Lira menatap Mama Arka dalam-dalam. Tatapan seorang ibu yang telah melewati badai hidup.


IBU LIRA

Arka mencintai Lira - saya percaya itu. Tapi cinta saja . . . tidak cukup menghadapi dunia yang keras.


MAMA ARKA

(LIRIH)

Saya tahu. 
Tapi saya bersedia belajar. 
Dan kalau saya salah langkah, 
saya ingin Ibu mengingatkan.


Ibu Lira tersenyum tipis - senyum yang bukan basa-basi, tapi bentuk hormat.


IBU LIRA

Kalau begitu, kita sepakat. 
Kita berdiri di belakang mereka berdua. 
Bukan menyeret. Bukan mendesak.
Tapi menjaga.


Mama Arka terlihat lega - bahu yang biasanya tegang kini turun satu tingkat.


MAMA ARKA

Terima kasih, Ibu.


IBU LIRA

Dan kalau suatu hari dunia Ibu mulai mengatur arah hidup Lira . . . saya akan bicara, dengan cara yang pantas, tapi tegas.


Mama Arka meresapi itu. Tidak takut - justru menghormati.


MAMA ARKA

Saya menghargai itu. 
Terkadang . . . orang seperti saya perlu diingatkan: 
bahwa dunia tidak selalu diukur dengan tangga.


Ibu Lira tersenyum lembut. Sesederhana rumah ini. Setegas fondasinya.


Glitch terakhir muncul: cahaya sore bergeser pelan, seperti frame video drop 1 detik, lalu normal kembali.


Keduanya sadar. Tapi tidak ada yang membahas.


Dua ibu. Dua dunia. Akhirnya bicara masa depan tanpa saling meremehkan.

CUT TO:


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)