Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
CEO Bucin (Draft 1)
Suka
Favorit
Bagikan
11. ACT II - KETIKA CINTA MULAI NGATUR TAKDIR (Part 08)

26. INT. KAFÉ TEPISIR – PAGI

Kafé kecil di Balikpapan, modern industrial minimalis.


Pagi baru buka — sunyi, suara mesin espresso masih grogi bangun tidur.


MAMA ARKA duduk di sudut paling strategis: punggung ke dinding, tatapan menguasai ruang. Auranya dingin seperti kontrak merger.

LIRA masuk perlahan. Seragam kerja rapi, rambut diikat, tapi ada gugup yang bahkan dunia pun ikutan tegang.


Ketika ia melangkah masuk, kaca kafe berembun pelan - bukan karena cuaca, tapi karena atmosfer intens dari dua dunia yang akan bentrok.


Lira berdiri di depan meja. Jarak satu meter dari Mama Arka, tapi intensitasnya seperti jarak satu inci dari badai.


Lira duduk pelan, punggung tegak. Dia putri kampung, tapi sorot matanya jujur dan kuat. Dunia suka itu. Sayangnya . . . Mama Arka bukan dunia.



MAMA ARKA

(TENANG, TAPI TAJAM)

Silakan duduk.
Mau pesan apa?


LIRA

Kopi biasa saja, Bu.


FLASHBACK CEPATseperti cut-cut dracin vertikal, ritme cepat, sound “dug-dug” intens.


INT. KAMAR TAMU RUMAH ARKA – MALAM

Arka berdiri di depan Mama-nya, wajah tegang.


Mama Arka

Besok pulang ke Jakarta.
Tidak ada negosiasi.


Arka mengepal rahang.


Rani yang ngupung di depan pintu, pura-pura sibuk, tapi matanya memanas. Sementara Danu memegangi pintu seperti juru damai.


Kembali ke kafe. Kembali ke SCENE 26


Pelayang datang - gemetar sedikit karena aura meja itu padat kayak plot episode 9 drakor. Dua kopi hangat diletakkan.

Sunyi panjang.


MAMA ARKA

(SETENANG CEO MAU PECAT DIREKSI)

Terima kasih sudah datang, Lira.


LIRA

(HALUS, SOPAN)

Saya yang berterima kasih, Bu . . . karena sudah memberi kesempatan untuk bicara.


MAMA ARKA

Saya tidak datang untuk bicara.
Saya datang untuk memastikan.


Lira menunduk sebentar - mengumpulkan keberanian. Ketika ia mendongak, dunia di sekitar mereka sedikit nge-zoom otomatis.


LIRA

Apa yang ingin Ibu pastikan?


Mama Arka menyilangkan tangan. Pose yang bisa bikin direksi perusahaan multinasional batal napas.


MAMA ARKA

Arka berubah sejak ada kedekatannya denganmu.
Dan perubahan itu . . . tidak sesuai rencana hidup yang sudah ia bangun selama tiga puluh tahun.


BEAT.


Dunia ikut berhenti setengah detik.


Lira memegang cangkir, tapi tidak minum.


LIRA

(PERLAHAN, JUJUR)

Saya tidak berniat mengubah hidup Bapak Arka, Bu.


Mama Arka mencondongkan badan sedikit. Ini bukan percakapan. Ini audit emosional tingkat eksekutif.


MAMA ARKA

Niatmu memang bukan itu.
Tapi dampaknya . . . tidak kecil.


Ada jeda kecil. Lira harus memutuskan: diam, atau jujur.


Akhirnya Lira memilih jujur - cara paling sakit tapi paling tulus.


LIRA

Mungkin karena saya tidak datang dari dunia yang biasa Arka jalani.
Saya dibesarkan di kampung pesisir . . . hidup saya sederhana.
Dan saya pun tidak menyangka . . . dunia Arka bisa bersinggungan dengan dunia saya.


Mama Arka menatapnya lama. Lebih lama dari batas kenyamanan manusia normal.


MAMA ARKA

(SANGAT LAMBAT)

Kamu tahu?!
Arka harus pulang Jakarta hari ini?


Wajah Lira berubah. Ada sesuatu yang seperti dicabut dari dadanya.


LIRA

(BERBISIK)

. . . hari ini?


Mama Arka mengangguk.


MAMA ARKA

Saya menyuruhnya pulang.
Ada tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada . . .

(BEAT, DINGIN)

perasaan yang belum jelas.


JLEB.


Lira menunduk. Jantungnya berdegup pelan tapi berat. Dunia berdesis seperti elektrik halus di lampu kafe.


MAMA ARKA

(PELAN, MENUSUK)

Dan saya ingin kamu paham . . . hubungan apa pun antara kamu dan Arka . . . tidak boleh mengganggu masa depannya.


Lira menarik napas gemetar — tapi tidak membantah.


LIRA

Saya tidak pernah berniat ganggu beliau, Bu.


MAMA ARKA

Tapi kamu ada di dekatnya.
Dan itu cukup.


Ada jeda.


Lira menatap keluar jendela sebentar—mata berkabut, tapi tidak menangis. Kemudian ia kembali menatap Mama Arka. Dengan tenang.

Dengan keberanian yang sederhana, tapi kuat.


LIRA

(HALUS, LIRIH,

TAPI JUJUR SAMPAI MENUSUK)

Kalau Pak Arka harus pulang . . . itu tidak ada kaitannya dengan saya, Bu.


Mama Arka terkejut kecil — Lira tidak membela diri. Tidak ngotot. Tidak dramatis.


LIRA

Saya hanya staf biasa.
Dan saya tidak punya hak . . . untuk menahan orang sekuat Arka Maheswara dalam hidup saya.


BEAT.


Mama Arka tidak menyangka kedewasaan itu.


LIRA

Tapi kalau Ibu ingin saya menjauh . . . saya bisa.


Lampu kafe berkedip pelan. Gelombang kecil muncul di gelas air — dunia bereaksi keras, tidak suka.


MAMA ARKA

(NADA MELEMBUT, TANPA SADAR)

Kamu . . . tidak bertanya apa pun?


Lira tersenyum kecil. Senyum yang pahit tapi dewasa.


LIRA

Kalau seseorang ditakdirkan memang bukan untuk saya . . . saya tidak mau memaksa dunia.


Dunia berdesis keras — lampu berkedip dua kali. Seolah menolak.


Mama Arka sedikit tersentak. Untuk pertama kalinya . . . dia kehilangan kontrol sepersekian detik.


TELEPON BERDERING — Nama di layar: ARKA.


Mama Arka menatap layar, lalu menatap Lira.


Lira menunduk, tidak berani lihat.


Mama Arka mengangkat telepon.


ARKA (V.O.)

(SUARA BERAT, GELISAH)

Ma . . . aku masih di kota.
Aku mau pamit.


Mama Arka melirik Lira yang menahan napas.


ARKA (V.O.)

Aku harus ketemu seseorang dulu.


MAMA ARKA

Orang yang ingin kamu pamiti . . . ada bersama Mama sekarang.
Datang saja ke CAFE . . . (nama cafe sponsor)


CUT TO.

Mama Arka mematikan telepon.


Dunia ikut sunyi.


MAMA ARKA

(DINGIN, TAPI RETAK TIPIS)

Dia akan datang ke sini.


Lira membeku.


MAMA ARKA

Dan aku ingin melihat . . . apa yang akan Arka pilih . . . ketika kalian berdua berada di ruangan yang sama.


Lampu berkedip lagi—lebih keras. Dunia menahan napas. Narator bahkan tidak berani ngomong.


Dan . . . pintu kafe terbuka.


Arka berdiri di ambang pintu. Nafasnya pendek. Matanya langsung mencari Lira.

CUT TO:


27. INT. KAFÉ TEPISIR – CONTINUOUS

Pintu kafe tertutup otomatis di belakang Arka.


Suara klik pintu terdengar seperti gong pembuka duel takdir.


Udara menegang. Bahkan mesin espresso berhenti bunyi — kayak baristanya pun ikut takut salah gerak.


LIRA menunduk, memeluk tangannya sendiri.


MAMA ARKA tegak, wajah elegan dan dingin seperti CEO mau nekan rival di ruang rapat.


ARKA berdiri kaku. Mata langsung jatuh ke Lira. Bukan ke Mama. Bukan ke kursi. Ke Lira. Dunia nge-zoom halus sekali.


Arka melangkah.


Satu langkah.


Dua langkah.


Mama Arka menggeser cangkirnya setengah sentimeter — gesture kecil, tapi “ini wilayahku”.


Arka berhenti tepat di depan mereka.


Mama Arka tidak menjawab. Dia hanya menatap Arka dengan tatapan “kau akan menjelaskan, atau Mama yang jelaskan”.


Lira menunduk makin dalam, kedua tangan mengepal di paha.


Arka memandang Lira. Suara hatinya kacau, tapi matanya jernih: ada rasa takut kehilangan di situ.


ARKA

(LEBIH PELAN, KE LIRA)

Kamu . . . dipanggil Mamaku?


Lira tidak bisa jawab cepat. Napasnya naik - turun cepat - panas, sakit, lembut, semuanya bercampur.


LIRA

(PELAN, SOPAN, SUARA SERAK SEDIKIT)

Iya, Pak.


Arka menutup mata sepersekian detik. Seperti orang yang baru kena hantam kenyataan tepat di ulu hati.


MAMA ARKA

(DINGIN, LANGSUNG MENUSUK)

Kamu seharusnya dalam perjalanan ke Jakarta sekarang.


Arka menghela napas—berat, keras, kayak menahan ledakan.


ARKA

Aku belum siap pulang, Ma.


MAMA ARKA

(KAKU)

Iya. Mama sudah lihat.
Karena kamu sibuk . . . di sini.


Tatapannya melesat ke Lira. Lira langsung menunduk rendah sekali.

Dunia berdesis halus, getaran kecil di meja.


ARKA

(TEGAS, TAPI HATI-HATI)

Mama jangan salahin Lira.
Dia nggak ada hubungan dengan keputusanku -


MAMA ARKA

(MEMOTONG, TAJAM)

Justru itu yang ingin Mama lihat.
Siapa yang membuatmu berubah, dan siapa yang tidak.


Arka menegang. Pandangannya naik: dari meja . . . ke wajah Mama . . . lalu kembali ke Lira.


Vibe drakor naik: Kamera imajiner kita geprek fokus ke wajah Lira — mata merah sedikit, tapi tegar.


LIRA

(SUARA PECAH HALUS)

Bu . . . Kalau Ibu merasa . . . semua ini salah saya, saya minta ma’af yang sebesar-besarnya.

(MENGGIGIT BIBIRNYA)

Dan kalo permintaan ma’af saya dirasa kurang tulus . . . sekarang jug saaya harus berlutut untuk membutikan ketulusan saya.


Tanpa disuruh, Lira bergerak untuk berlutut.


Arka membalik tubuh ke Lira dalam satu gerakan cepat.


ARKA

(KERAS, EMOSIONAL, TAK BISA NAHAN)

Tidak!


Kafe langsung sunyi. Barista spontan pura-pura nyusun gelas.


ARKA

(MENATAP LIRA, JUJUR, DADANYA NAIK)

Jangan lakukan itu. Lira
Jangan minta maaf atas sesuatu yang bukan salah kamu.


Lira tertahan napas. Matanya goyah. Walau ia berusaha memberontak, namun Arka tetap memaksa Lira untuk bangkit dan duduk kembali di bangkunya.


MAMA ARKA

(SINIS HALUS, MENUSUK)

Bagus.
Memang itu yang Mama ingin lihat.


Arka menoleh ke Mamanya. Bahunya tegang, rahang mengeras.


ARKA

Ma . . . . kalo Mama ingin cari kambing hitam . . . salahkan saya, Ma.
Tolong jangan . . .

(JEDA, MENGATUR NAPAS)

jangan bawa Lira ke situasi kayak gini.


Mama Arka menyilangkan tangan.


MAMA ARKA

Terlambat, Arka.


Lira sudah di tengahnya. Zoom halus ke wajah Lira. Otot lehernya menegang. Matanya berkaca, tapi ia tahan sekuat mungkin.


MAMA ARKA

(SUARA TENANG TAPI MEMOTONG NADI)

Lira . . . kalau kamu peduli pada Arka . . . Kamu seharusnya tahu batas.


Lira tertelan napas.


LIRA

(SUARANYA LIRIH, TAPI JUJUR DAN DEWASA)

Saya selalu tahu batas, Bu.
Tapi saya juga tahu . . .

(HAMPIR MENANGIS)

kadang . . . perasaan datang tanpa permisi.


Arka menatap Lira seperti baru lihat sisi hatinya meledak di depan mata. Dunia berkedip, lampu kafe redup dua detik.


MAMA ARKA

(KAKU, FINAL)

Kau mau Arka bahagia?
Atau kau mau Arka terbelah dua?


Pertanyaan itu jatuh seperti pedang. Lira membeku.


Arka menatap Mamanya dengan amarah yang ia tekan sekeras mungkin.


LIRA

Bu . . . Saya terdidik oleh kedua orang tua saya . . . untuk selalu menjadi lilin buat orang lain, Bu.
Namun kalo itu juga, ibu anggap saya masih jadi beban Pak Arka . . . saya bersedia mundur dari semua hal yang bisa membuat saya dekat dekat Pak Arka.


ARKA

(TEGAS, MENAHAN EMOSI)

Tidak! Please jangan katakan itu. Lira.
Kamu bukan beban!
Aku nggak pernah menjadikanmu bebanku!


Lira menutup mata — setetes air mata tumpah akhirnya.


MAMA ARKA

(DINGIN, MEMANDANG ARKA)

Maka buktikan.
Buktikan bahwa hubungan ini . . . bukan kelemahan.


BEAT PANJANG.


Nafas Arka tercekat.


Arka duduk pelan, menatap dua perempuan paling penting dalam titik hidupnya saat ini.


ARKA

(SUARA RENDAH, SERIUS,

INI TITIK BALIK)

Ma . . .
Aku bukan lari dari tanggung jawab.
Aku nggak lari dari perusahaan.
Tapi aku juga . . .

(MENATAP LIRA)

nggak mau lagi pura-pura nggak merasakan apa-apa.


Lira terkejut.


Muka Mama Arka tegang.


ARKA

(JUJUR, PELAN,

MEMATIKAN SETIAP ALASAN)

Aku . . . ingin jalani ini semua . . . dengan Lira.


KAFE SUNYI. DUNIA FREEZE SETENGAH DETIK. NARATOR pun sampai nggak berani muncul.


Mama Arka menatap Arka lamaaa sekali.


Lira menutup mulut dengan tangan—shock, takut, bahagia, semuanya campur.


MAMA ARKA

(SANGAT PELAN, NYARIS TAK TERDENGAR)

Kamu . . . sudah memilih?!


Arka mengangguk, pelan tapi pasti.


Lira menatap meja, tubuhnya gemetar… tapi untuk pertama kalinya—ada sinar kecil di matanya.


Mama Arka berdiri. Anggun. Elegan. Tapi aura badai masih terasa.


MAMA ARKA

Baiklah kalau begitu,
Besok Mama ingin bicara pada kalian berdua.


Arka menegang. Lira menahan napas.


MAMA ARKA

Jika kamu bisa meyakinkan Mama . . .
Mungkin . . . hanya mungkin . . . Mama tidak akan menghalangi.


Ia berbalik. Melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia bicara tanpa menoleh


MAMA ARKA

(PELAN)

Dan ingat . . . Cinta tanpa dasar itu seperti rumah tanpa pondasi.
Dan Mama ingin tahu . . . seberapa kuat pondasi kalian.


Pintu terbuka. Mama Arka keluar.


Tertutup pelan. Sunyi.


Arka duduk pelan. Tangannya gemetar sedikit.


Lira menatapnya—takut, hangat, terkejut.


Arka mencondongkan tubuh.


ARKA

(LEMBUT, PENUH BEBAN TAPI YAKIN)

Kita . . . besar kemungkinan . . . baru saja masuk babak paling sulit.


Lira menggigit bibir, mengangguk pelan.


LIRA

(TERSENYUM KECIL

TAPI MATA MASIH BERKACA)

Saya . . . ikut, Pak.
Selama Bapak . . . nggak lepaskan tangan saya.


Dunia berdesis, lampu berkedip hangat.


Narator akhirnya muncul. Pelan. Geli.


NARATOR (V.O.)

Hei penonton . . .Selamat datang di BABAK 10.
Pertarungan cinta level final boss baru dimulai.


FADE OUT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)