Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Judul : Pasar Kedua di Bawah Bayangan Sukma
FADE IN:
Scene (89)
EXT. PASAR MALING PING – MALAM
Kabut turun tebal di antara kios tua dan lampu-lampu redup.
Pasar Maling Ping terkenal kejam.
Preman di sini bukan sembarangan — mereka geng lama yang bahkan polisi segan menegur.
Suara musik dangdut dari warung remang bercampur dengan suara tawa mabuk dan piring pecah.
Di tengah keramaian itu, sebuah bayangan hitam muncul di ujung jalan — SUKMA.
Langkahnya tenang. Matanya menatap lurus.
Pedagang mulai berbisik.
PEDAGANG 1 (berbisik)
“Itu orang Gunung Kencana... katanya orang mati yang bangkit lagi.”
PEDAGANG 2
“Dia datang ke Maling Ping buat apa? Mau nyari mati?”
Scene (90)
INT. POS PREMAN MALING PING – MALAM
Pemimpin geng, RAKSA (35), sedang menghitung uang hasil pungutan.
Tubuh besar, bertato dari leher sampai lengan. Di sekelilingnya ada belasan anak buah bersenjata tajam.
RAKSA (sombong)
“Gunung Kencana boleh punya Sukma, tapi ini wilayah kita.
Gak ada yang boleh ngatur pasar Maling Ping selain aku.”
Seorang anak buah berlari panik masuk.
ANAK BUAH
“Bang! Orang itu datang... yang dari Gunung Kencana!”
Raksa tertawa keras.
RAKSA
“Suruh masuk! Biar dia tahu siapa yang sebenarnya berkuasa di dunia ini.”
Scene (91)
EXT. DEPAN POS PREMAN – MALAM
Sukma berdiri di depan pos.
Lampu jalan berkedip-kedip, menyorot wajahnya yang dingin.
SUKMA (pelan)
“Aku gak mau perang. Aku cuma mau ketertiban.
Pasar ini penuh kezaliman — dan aku akan bersihkan.”
RAKSA (menyeringai)
“Kau pikir kau siapa? Nabi?”
Raksa menebas Sukma dengan parang besar —
CLANG! Suara logam memantul keras. Parang itu patah dua.
Raksa mundur kaget.
RAKSA (teriak)
“Tembak dia!”
Puluhan anak buah menembak.
Peluru memantul dari tubuh Sukma, berputar di udara seperti dihantam badai.
Sukma mengangkat tangannya — angin hitam berputar, menumbangkan semua orang di sekitar.
SUKMA (datar)
“Aku sudah melewati kematian. Kalian hanya main di ambang neraka.”
Raksa mencoba kabur, tapi tubuhnya ditarik ke tanah oleh bayangan hitam di kakinya.
Sukma menatapnya tanpa emosi.
SUKMA (dingin)
“Kau akan hidup. Tapi bukan sebagai penguasa.”
Raksa pingsan — tubuhnya gemetar hebat.
Ketika terbangun, tubuhnya lumpuh sebagian.
Anak buahnya menunduk di depan Sukma.
Scene (92)
EXT. PASAR MALING PING – PAGI
Keesokan harinya, semua preman Maling Ping berseragam rapi.
Mereka tidak lagi memungut uang, tapi menjaga pedagang.
Bendera putih bertuliskan huruf “S” berkibar di pintu gerbang pasar.
PEDAGANG TUA (berbisik)
“Dulu pasar ini tempat darah tumpah... sekarang tenang.
Tapi tiap malam... angin berbau tanah dari kuburan.”
Scene (93)
INT. RUMAH AYU – SIANG
Ayu membaca berita di TV:
"Pasar Maling Ping Kini Aman – Dikuasai Sosok Misterius Sukma."
Wajahnya pucat, matanya penuh air mata.
Ia menutup TV dan berlari ke masjid mencari Ustaz Hudri.
AYU (gemetar)
“Ustaz... Sukma makin jauh dari aku. Dia bukan manusia yang dulu...”
Hudri menatap serius.
USTAZ HUDRI
“Aku sudah bilang... kekuatan itu bukan anugerah, tapi kutukan.
Semakin dia gunakan, semakin arwah gelap dalam dirinya tumbuh.”
AYU
“Tapi dia menolong banyak orang...”
USTAZ HUDRI
“Iblis pun bisa menolong — kalau itu bisa menyesatkan manusia.”
Scene (94)
EXT. GUNUNG KENCANA – MALAM
Sukma berdiri di tepi bukit, memandang dua pasar yang kini ia kuasai:
Gunung Kencana dan Maling Ping.
Dua titik cahaya tampak seperti wilayah kekuasaannya.
Matanya menatap tajam ke langit.
SUKMA (V.O.)
“Dunia ini dulu menelanku... Sekarang aku menaklukkannya.”
Suara bisikan samar terdengar di telinganya — suara dari alam gaib.
SUARA GAIB (pelan)
“Kau belum selesai, Sukma... masih banyak tempat yang harus tunduk.”
Sukma memejamkan mata.
Angin berputar di sekelilingnya.
Tatapan matanya berubah — kali ini, bukan sekadar manusia.
Scene (95)
INT. MASJID DESA – MALAM
Ustaz Hudri menutup kitab tua berdebu.
USTAZ HUDRI (pelan)
“Kekuatan kebal itu berasal dari kematian... dan kematian tidak pernah memberi sesuatu tanpa menagih balasan.”
Scene (96)
EXT. PASAR MALING PING – TENGAH MALAM
Rana, wartawan yang mengikuti kisah Sukma, diam-diam memotret pasar.
Lensa kameranya menangkap bayangan Sukma di atas kios — tapi dalam pantulan jendela, ia melihat dua sosok Sukma.
Satu manusia... satu hitam seperti asap.
RANA (berbisik)
“Astaga... jadi benar kata Ustaz Hudri.
Sukma bukan sepenuhnya manusia lagi.”
FADE OU