Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Bangkit Setelah Tujuh Hari di Kubur
Suka
Favorit
Bagikan
1. Hari-Hari Terakhir Sukma
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Penulis : Rana Kurniawan



Scene 1: Hari-Hari Terakhir Sukma


FADE IN:

EXT. DESA CURAHEM – PAGI


Cahaya matahari menembus kabut tipis. Desa Curahem tampak tenang — rumah-rumah kayu berjajar di sepanjang jalan tanah, suara ayam berkokok, anak-anak berlari ke sekolah.


SUKMA (32), berpakaian kerja lusuh, menuntun motor tuanya melewati gang sempit. Wajahnya sederhana, tapi matanya menyimpan beban yang berat.


SUKMA (V.O.)

“Setiap pagi di Curahem terasa sama... tapi entah kenapa, akhir-akhir ini aku selalu merasa ada yang mengikutiku.”



INT. RUMAH SUKMA – DAPUR – PAGI


AYU (29), istrinya, sedang menyiapkan sarapan. Perempuan lembut dengan senyum teduh, tapi matanya sering sembab — entah karena letih, atau karena terlalu sering menangis diam-diam.


AYU

(menatap Sukma lembut)

“Kamu kerja lagi ke proyek, Mas? Katanya kemarin sempat ribut sama mandor.”



SUKMA

(menarik napas panjang)

“Iya, cuma salah paham. Aku nggak mau masalah kecil jadi besar.”


Ayu meletakkan nasi di piring. Sukma menatap tangannya sebentar, lalu menggenggamnya.


SUKMA

“Kalau nanti aku telat pulang... jangan khawatir, ya.”


AYU

(mengernyit)

“Kamu ngomong apa sih? Jangan ngomong aneh-aneh.”


Sukma hanya tersenyum samar, lalu berangkat kerja. Kamera menyorot wajah Ayu yang masih memandangi punggung suaminya dari jendela.



EXT. LOKASI PROYEK BANGUNAN – SIANG


Panas terik. Debu beterbangan. Sukma bekerja sebagai buruh bangunan, mengangkat batu dan semen.

Di sela istirahat, ia duduk di bawah pohon bersama TOPAN (24), pemuda kampung yang ceria tapi polos.


TOPAN

“Mas, kemarin aku dengar kamu mau pindah kerja ke kota, ya?”


SUKMA

“Rencana aja, Pan. Tapi belum pasti. Di sini juga masih banyak yang harus aku beresin.”


TOPAN

“Berarti belum tentu pergi dong... ya bagus. Soalnya Curahem tanpa Mas Sukma, sepi.”


Mereka tertawa kecil.

Namun dari kejauhan, RANA (26) — wartawan muda dari kota — memperhatikan Sukma sambil mencatat sesuatu di buku catatannya.


RANA (V.O.)

“Dia korban kecelakaan itu. Tapi sebelum hari itu... dia sempat datang ke rumah seseorang. Aku harus tahu siapa.”



INT. MASJID DESA – SORE


Suara adzan berkumandang. USTAZ HUDRI (45) sedang menata sajadah. Sukma masuk dengan langkah lelah, tapi tetap sopan.


USTAZ HUDRI

“Kamu kelihatan murung, Sukma. Ada yang kamu pendam?”


SUKMA

(menunduk)

“Entahlah, Ustaz. Kadang saya merasa... hidup saya sudah habis waktunya.”


USTAZ HUDRI

(menepuk bahunya)

“Jangan bicara begitu. Allah yang tahu kapan waktumu. Selagi hidup, perbanyak kebaikan.”


Sukma mengangguk. Tapi wajahnya tetap berat — seolah sedang menyembunyikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.



EXT. DESA CURAHEM – MALAM


Hujan gerimis turun. Sukma berjalan sendirian di jalan sepi, motor tuanya mogok. Ia berhenti di depan pemakaman Curahem, menatap nisan-nisan di balik kabut.


Dari arah makam terdengar suara lirih seperti bisikan angin memanggil namanya.


SUARA HALUS (V.O.)

“Sukmaaa...”


Ia menoleh cepat — tapi tak ada siapa pun.

Ia menyalakan motornya dan mempercepat langkah.


Dari balik pepohonan, sosok bayangan samar berdiri — Pak Karta (60), penjaga makam, memperhatikan Sukma pergi dengan tatapan khawatir.



INT. RUMAH SUKMA – MALAM


Ayu tertidur di kursi ruang tamu. Pintu berderit pelan. Sukma masuk pelan-pelan, tubuhnya basah kuyup. Ia menatap istrinya dengan lembut, lalu mendekat, menyelimuti Ayu.


SUKMA (pelan)

“Maaf, Yu... aku nggak bisa lama di sini...”


Sukma beranjak ke kamar, membuka laci, dan menatap sebuah foto lama — dirinya bersama seorang pria lain yang wajahnya disobek sebagian.

Tatapannya berubah tajam.



CUT TO CLOSE-UP:


Air hujan di jendela perlahan menetes seperti darah.


FADE OUT:




Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)