Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
ARUNIKA HOSPICE
Suka
Favorit
Bagikan
14. Scene 135 - 142
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

135. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG

Hasbi dan dr.Adyan duduk di bangku taman.

DR.ADYAN

Ibu kamu telepon om, katanya setelah jadi relawan di sini kamu jadi anak baik dan rajin. Nilai-nilai kamu naik drastis.

HASBI

Selama ini, Hasbi memang anak baik, kok. Kalau nilai yang naik, itu karena kemarin-kemarin Hasbi nggak minat belajar. Tapi sebenernya, Hasbi ini anak jenius loh, Om.

DR.ADYAN

Iya. Om percaya, kok.

HASBI

Om, gimana rasanya jadi dokter di Arunika Hospice?

DR.ADYAN

Rasanya ... setiap waktu yang om lalui sangat berharga.

HASBI

Terus, kenapa Om memilih untuk jadi dokter di sini? Padahal, Om bisa bekerja di rumah sakit besar, dapat gaji besar dan hidup terjamin.

DR.ADYAN

Menjadi dokter itu, mau mengabdi di mana pun, akan jadi pekerjaan yang mulia. Bayaran besar dan hidup terjamin hanya bonus saja. Dan sebagai manusia, kita akan mencari tempat di mana kita merasa paling dibutuhkan, dan di mana kita merasa paling nyaman.

(jeda)

Om pernah bekerja di beberapa rumah sakit besar, tapi om tidak pernah merasa senyaman di sini. Di sini, om merasakan suasana kekeluargaan yang erat. Setiap hari, om merasa seperti berada di rumah. Pasti itu juga yang dirasakan para arunika di sini. Meskipun kami tahu kalau waktu kebersamaan kami mungkin saja sangat singkat, tapi waktu yang kami lalui bersama begitu berharga, hingga sesingkat apa pun, itu adalah waktu yang indah, bagi om dan bagi para arunika di sini.

HASBI

Setelah sebulan tinggal di sini, Hasbi mengerti apa yang Om rasakan.

DR.ADYAN

Kenapa, Hasbi? Kamu tertarik untuk jadi dokter?

HASBI

Hasbi ingin jadi seseorang yang bermanfaat untuk banyak orang. Hasbi nggak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Om. Dan Hasbi mulai kepikiran untuk jadi dokter seperti Om. Dokter itu, profesi yang keren, cocok untuk Hasbi. Dan yang terpenting, dokter itu pekerjaan yang mulia dan hebat.

DR.ADYAN

Wah ... akhirnya, keponakan Om tercinta menemukan tujuan hidup. Om yakin kamu bisa. Kamu kan, jenius.

HASBI

(tersenyum)

Makasih, Om.

CUT TO:

136. EXT. HALAMAN DEPAN HOSPICE – SIANG

Saat Hasbi hendak meninggalkan hospice, ia berpapasan dengan Nadia.

NADIA

Hasbi, kan?

HASBI

Iya, Kak. Kak Nadia, ya? Kakak ke mana aja? Kok, baru kelihatan lagi.

NADIA

Saya ada urusan yang harus diselesaikan sebelum terlambat.

(jeda)

Oh ya, ada yang mau saya bicarakan sama kamu.

CUT TO:

137. EXT. JALAN SETAPAK SEKITAR AREA HOSPICE – SIANG

Hasbi dan Nadia berjalan santai sambil mengobrol.

NADIA

Saya dengar dari Alin, kalau kalian berteman dekat.

HASBI

Iya, Kak. Kakak mau bicara soal Alin?

NADIA

Iya. Saya sudah cerita soal niat saya untuk jadi donor organ, kan. Dan kamu juga tahu kalau Alin butuh donor hati. Saya berniat untuk mendonorkan hati saya untuk Alin, dan saya juga akan membiayai operasinya.

HASBI

Kak Nadia sudah bicarakan itu dengan Alin?

NADIA

(mengangguk)

Tapi Alin menolak. Dia merasa tidak pantas untuk menerimanya.

HASBI

Iya. Alin juga sudah cerita sama saya.

NADIA

Saya ingin sekali menitipkan hati saya pada Alin. Saya harap kamu bisa membujuknya untuk mau dioperasi.

HASBI

Kak Nadia kenapa ingin secara khusus mendonorkan organ Kakak pada Alin, bahkan sampai membiayai operasinya? Padahal biayanya kan mahal sekali.

NADIA

Saya itu nggak punya keluarga. Jadi, harta yang saya punya bisa saya berikan pada siapa pun yang saya inginkan. Dan saya punya cukup uang untuk biaya operasi itu. Lalu, kenapa saya memilih Alin, itu karena Alin mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Kami sama-sama hidup sebatang kara.

(jeda)

Tapi, selain itu, saya melihat ada sosok hebat di dalam diri Alin. Meskipun terkesan acuh, sebenarnya dia orang yang sangat peduli pada orang lain. Buktinya, dia memilih jadi relawan di sini, meskipun dengan kondisi seperti itu. Dia punya kebaikan hati yang bahkan dia sendiri tidak menyadarinya. Seperti kamu, Alin juga akan tumbuh menjadi orang dewasa yang baik. Selain itu, Alin punya bakat besar dalam dirinya. Dia cuma belum menyadari itu.

HASBI

Saya setuju dengan Kakak.

NADIA

Bagus. Kalau gitu, tolong bujuk dia, ya! Ini wasiat saya untuk kamu.

HASBI

Kak Nadia punya hati malaikat. Kakak adalah orang yang paling baik hati yang pernah saya kenal. Insyaallah, Allah membalasnya dengan surga terindah.

NADIA

Amin. Makasih, Hasbi. Kamu jadi lebih dewasa sekarang. Kakak bangga sama kamu! (menepuk-nepuk pundak Hasbi)

Nadia tiba-tiba memegang kepalanya dan tampak sangat kesakitan. Lalu, jatuh terduduk di tanah.

HASBI

(panik)

Kak! Kak Nadia!

CUT TO:

138. EXT. DEPAN RUANG DARURAT – SIANG

Hasbi menunggu dr.Adyan di luar ruangan. Gerak-geriknya tampak cemas. Tak lama kemudian, dr.Adyan keluar dari ruangan.

HASBI

Gimana Kak Nadia, Om?

DR.ADYAN

Tumornya berkembang semakin cepat. Waktunya mungkin nggak akan lama lagi

HASBI

Apa Kak Nadia nggak bisa dioperasi, Om?

DR.ADYAN

Sejak awal, tumornya tumbuh menempel di jaringan otak yang berbahaya jika dipisahkan. Dan tumornya juga terdeteksi setelah kondisinya sudah tidak bisa ditangani. Jadi ... tidak ada yang bisa dilakukan.

Alin datang dengan ekspresi cemas.

ALIN

(berkaca-kaca)

Kak Nadia di dalam?

CUT TO:

139. INT. RUANG DARURAT – SIANG

Alin menangis sembari menatap Nadia yang terbaring di atas ranjang.

ALIN

Kak Nadia, Alin belum siap untuk berpisah dengan Kakak.

Hasbi lalu mengikuti Alin masuk ke ruangan.

HASBI

Lin. Ada yang mau saya sampaikan sama kamu. Ini pesan terakhir dari Kak Nadia.

ALIN

Pesan terakhir? Apa?

HASBI

Kak Nadia meminta saya membujuk kamu untuk mau dioperasi.

ALIN

Tapi kamu tahu, kalau saya nggak mau, kan?

HASBI

Iya, saya tahu. Tapi ini wasiat dari Kak Nadia. Kak Nadia bilang, kalau bagian dari dirinya bisa tetap hidup dengan mendonorkan organ-organnya. Dan hatinya, dia khusus menitipkannya padamu, Alin.

Alin menatap Nadia dengan lekat.

CUT TO:

140. INT. RUMAH HASBI – RUANG KELUARGA – MALAM

Andini sedang duduk di sofa dan menonton tivi, lalu Hasbi menghampiri dan duduk di sampingnya.

HASBI

Bapak nggak pulang lagi?

ANDINI

Dia mungkin nggak akan pulang ke sini lagi.

HASBI

(terkejut)

Nggak akan pulang ke sini lagi? Kenapa?

ANDINI

(menatap lekat wajah Hasbi)

Hasbi. Ibu sudah membulatkan tekad untuk berpisah sama Bapak.

HASBI

Maksud Ibu cerai?

ANDINI

(mengangguk)

Bapak memang masih menolak untuk bercerai. Tapi ibu tahu kalau alasannya bukan karena Bapak masih cinta sama ibu. Jadi buat apa ibu mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak ada cinta di dalamnya. Menurut kamu juga begitu, kan?

HASBI

Iya, Bu. Itu juga yang selalu Hasbi coba bilang ke Ibu. Bapak bertahan dengan Ibu hanya untuk menjaga reputasinya sebagai pejabat.

(jeda)

Tapi ... selama ini, apa sebenarnya alasan Ibu masih bertahan? Apa karena Ibu masih mencintai Bapak?

ANDINI

(menghela napas)

Ibu juga nggak yakin. Mungkin ibu memang masih mencintai bapak. Atau mungkin karena kebiasaan? Karena ibu terbiasa hidup dengan bapak, dan merasa nggak siap untuk perubahan situasi dan status ibu.

HASBI

Terus, kenapa sekarang memutuskan untuk bercerai?

ANDINI

Ibu memberanikan diri untuk perubahan itu. Kalau ibu terus bertahan, maka hanya bapak yang mendapatkan keuntungan. Ibu juga mulai berpikir untuk mencari kebahagiaan, seperti yang kamu bilang.

HASBI

(tersenyum lebar)

Hasbi bangga sama Ibu!

ANDINI

(menepuk punggung Hasbi)

Bisa aja kamu.

CUT TO:

141. INT. ARUNIKA HOSPICE – KAMAR ANGGORO – SIANG

Hasbi duduk di hadapan Anggoro.

HASBI

Ada apa, Pak? Bapak bilang ada pengumuman penting.

ANGGORO

Iya, sangat penting. Dan saya pengen, kamu jadi orang pertama yang mendengar rencana saya ini.

HASBI

Rencana apa, Pak?

ANGGORO

Saya ... mau membeli Arunika Hospice, dan menjamin kalau tempat ini akan tetap menjadi hospice sampai kapan pun. Saya jamin, bahkan anak-anak saya pun tidak akan bisa mengambil alih tempat ini.

HASBI

(terbelalak)

Bapak serius?

ANGGORO

Emang saya pernah bercanda?

Hasbi menggeleng.

ANGGORO

Kamu tenang aja, uang saya banyak, kok. Lebih dari cukup untuk membeli hospice ini. Saya jauh lebih suka memberikan uang saya untuk hospice daripada untuk anak-anak saya.

HASBI

(terharu)

Pak Anggoro memang berhati mulia. Semua orang di hospice pasti akan sangat berterima kasih sama Bapak.

ANGGORO

Ini kan demi saya juga.

CUT TO:

142. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG

Hasbi dan Alin duduk bersebelahan di bangku taman.

HASBI

Lin, saya punya kabar gembira.

ALIN

Apa?

HASBI

Pak Anggoro mau membeli hospice. Jadi hospice nggak akan ditutup.

ALIN

Serius?

HASBI

Iya.

(menghela napas)

Memang ya, tempat ini dihuni oleh orang-orang baik.

(jeda)

Kamu juga orang yang baik, Lin. Kak Nadia bilang, kalau kamu akan jadi orang dewasa yang baik. Itu salah satu alasan, Kak Nadia memilih kamu untuk jadi penerima donornya.

ALIN

Apa saya pantas menerimanya?

HASBI

(mengangguk)

Kamu harus hidup, Lin. Demi kamu dan demi saya juga.

ALIN

Demi kamu?

HASBI

Iya. Karena saya juga ingin kamu tetap hidup.

ALIN

Kenapa kamu peduli?

HASBI

Ya ... karena kita teman.

ALIN

Tapi saya nggak yakin sama masa depan saya nanti.

HASBI

Kalau soal itu, kamu bakal tahu nanti. Saya juga gitu, kok. Butuh proses untuk tahu apa yang mau kita lakukan dalam hidup.

ALIN

Terus ... kamu udah tahu, apa yang mau kamu lakukan?

HASBI

(mengangguk)

Saya mau jadi dokter. Saya mau rajin belajar dan lulus dengan cepat. Lalu ... saya mau mengabdi di sini, di Arunika Hospice.

ALIN

(tersenyum lebar)

Itu rencana hidup yang keren.

HASBI

Cocok untuk saya, kan? ...

Suara Hasbi yang sedang berbicara panjang lebar, semakin lama semakin pelan. Kemudian, ekspresi Alin tampak kesakitan, tapi ia juga tampak menahannya. Hasbi tidak menyadari. Lalu, perlahan-lahan mata Alin mulai tertutup dan kepalanya bersandar di pundak Hasbi.

HASBI

Lin! Alin!

Hasbi memanggil nama Alin seraya menepuk pelan pipinya.

DISSOLVE TO:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar