Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
135. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG
Hasbi dan dr.Adyan duduk di bangku taman.
DR.ADYAN
Ibu kamu telepon om, katanya setelah jadi relawan di sini kamu jadi anak baik dan rajin. Nilai-nilai kamu naik drastis.
HASBI
Selama ini, Hasbi memang anak baik, kok. Kalau nilai yang naik, itu karena kemarin-kemarin Hasbi nggak minat belajar. Tapi sebenernya, Hasbi ini anak jenius loh, Om.
DR.ADYAN
Iya. Om percaya, kok.
HASBI
Om, gimana rasanya jadi dokter di Arunika Hospice?
DR.ADYAN
Rasanya ... setiap waktu yang om lalui sangat berharga.
HASBI
Terus, kenapa Om memilih untuk jadi dokter di sini? Padahal, Om bisa bekerja di rumah sakit besar, dapat gaji besar dan hidup terjamin.
DR.ADYAN
Menjadi dokter itu, mau mengabdi di mana pun, akan jadi pekerjaan yang mulia. Bayaran besar dan hidup terjamin hanya bonus saja. Dan sebagai manusia, kita akan mencari tempat di mana kita merasa paling dibutuhkan, dan di mana kita merasa paling nyaman.
(jeda)
Om pernah bekerja di beberapa rumah sakit besar, tapi om tidak pernah merasa senyaman di sini. Di sini, om merasakan suasana kekeluargaan yang erat. Setiap hari, om merasa seperti berada di rumah. Pasti itu juga yang dirasakan para arunika di sini. Meskipun kami tahu kalau waktu kebersamaan kami mungkin saja sangat singkat, tapi waktu yang kami lalui bersama begitu berharga, hingga sesingkat apa pun, itu adalah waktu yang indah, bagi om dan bagi para arunika di sini.
HASBI
Setelah sebulan tinggal di sini, Hasbi mengerti apa yang Om rasakan.
DR.ADYAN
Kenapa, Hasbi? Kamu tertarik untuk jadi dokter?
HASBI
Hasbi ingin jadi seseorang yang bermanfaat untuk banyak orang. Hasbi nggak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Om. Dan Hasbi mulai kepikiran untuk jadi dokter seperti Om. Dokter itu, profesi yang keren, cocok untuk Hasbi. Dan yang terpenting, dokter itu pekerjaan yang mulia dan hebat.
DR.ADYAN
Wah ... akhirnya, keponakan Om tercinta menemukan tujuan hidup. Om yakin kamu bisa. Kamu kan, jenius.
HASBI
(tersenyum)
Makasih, Om.
CUT TO:
136. EXT. HALAMAN DEPAN HOSPICE – SIANG
Saat Hasbi hendak meninggalkan hospice, ia berpapasan dengan Nadia.
NADIA
Hasbi, kan?
HASBI
Iya, Kak. Kak Nadia, ya? Kakak ke mana aja? Kok, baru kelihatan lagi.
NADIA
Saya ada urusan yang harus diselesaikan sebelum terlambat.
(jeda)
Oh ya, ada yang mau saya bicarakan sama kamu.
CUT TO:
137. EXT. JALAN SETAPAK SEKITAR AREA HOSPICE – SIANG
Hasbi dan Nadia berjalan santai sambil mengobrol.
NADIA
Saya dengar dari Alin, kalau kalian berteman dekat.
HASBI
Iya, Kak. Kakak mau bicara soal Alin?
NADIA
Iya. Saya sudah cerita soal niat saya untuk jadi donor organ, kan. Dan kamu juga tahu kalau Alin butuh donor hati. Saya berniat untuk mendonorkan hati saya untuk Alin, dan saya juga akan membiayai operasinya.
HASBI
Kak Nadia sudah bicarakan itu dengan Alin?
NADIA
(mengangguk)
Tapi Alin menolak. Dia merasa tidak pantas untuk menerimanya.
HASBI
Iya. Alin juga sudah cerita sama saya.
NADIA
Saya ingin sekali menitipkan hati saya pada Alin. Saya harap kamu bisa membujuknya untuk mau dioperasi.
HASBI
Kak Nadia kenapa ingin secara khusus mendonorkan organ Kakak pada Alin, bahkan sampai membiayai operasinya? Padahal biayanya kan mahal sekali.
NADIA
Saya itu nggak punya keluarga. Jadi, harta yang saya punya bisa saya berikan pada siapa pun yang saya inginkan. Dan saya punya cukup uang untuk biaya operasi itu. Lalu, kenapa saya memilih Alin, itu karena Alin mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Kami sama-sama hidup sebatang kara.
(jeda)
Tapi, selain itu, saya melihat ada sosok hebat di dalam diri Alin. Meskipun terkesan acuh, sebenarnya dia orang yang sangat peduli pada orang lain. Buktinya, dia memilih jadi relawan di sini, meskipun dengan kondisi seperti itu. Dia punya kebaikan hati yang bahkan dia sendiri tidak menyadarinya. Seperti kamu, Alin juga akan tumbuh menjadi orang dewasa yang baik. Selain itu, Alin punya bakat besar dalam dirinya. Dia cuma belum menyadari itu.
HASBI
Saya setuju dengan Kakak.
NADIA
Bagus. Kalau gitu, tolong bujuk dia, ya! Ini wasiat saya untuk kamu.
HASBI
Kak Nadia punya hati malaikat. Kakak adalah orang yang paling baik hati yang pernah saya kenal. Insyaallah, Allah membalasnya dengan surga terindah.
NADIA
Amin. Makasih, Hasbi. Kamu jadi lebih dewasa sekarang. Kakak bangga sama kamu! (menepuk-nepuk pundak Hasbi)
Nadia tiba-tiba memegang kepalanya dan tampak sangat kesakitan. Lalu, jatuh terduduk di tanah.
HASBI
(panik)
Kak! Kak Nadia!
CUT TO:
138. EXT. DEPAN RUANG DARURAT – SIANG
Hasbi menunggu dr.Adyan di luar ruangan. Gerak-geriknya tampak cemas. Tak lama kemudian, dr.Adyan keluar dari ruangan.
HASBI
Gimana Kak Nadia, Om?
DR.ADYAN
Tumornya berkembang semakin cepat. Waktunya mungkin nggak akan lama lagi
HASBI
Apa Kak Nadia nggak bisa dioperasi, Om?
DR.ADYAN
Sejak awal, tumornya tumbuh menempel di jaringan otak yang berbahaya jika dipisahkan. Dan tumornya juga terdeteksi setelah kondisinya sudah tidak bisa ditangani. Jadi ... tidak ada yang bisa dilakukan.
Alin datang dengan ekspresi cemas.
ALIN
(berkaca-kaca)
Kak Nadia di dalam?
CUT TO:
139. INT. RUANG DARURAT – SIANG
Alin menangis sembari menatap Nadia yang terbaring di atas ranjang.
ALIN
Kak Nadia, Alin belum siap untuk berpisah dengan Kakak.
Hasbi lalu mengikuti Alin masuk ke ruangan.
HASBI
Lin. Ada yang mau saya sampaikan sama kamu. Ini pesan terakhir dari Kak Nadia.
ALIN
Pesan terakhir? Apa?
HASBI
Kak Nadia meminta saya membujuk kamu untuk mau dioperasi.
ALIN
Tapi kamu tahu, kalau saya nggak mau, kan?
HASBI
Iya, saya tahu. Tapi ini wasiat dari Kak Nadia. Kak Nadia bilang, kalau bagian dari dirinya bisa tetap hidup dengan mendonorkan organ-organnya. Dan hatinya, dia khusus menitipkannya padamu, Alin.
Alin menatap Nadia dengan lekat.
CUT TO:
140. INT. RUMAH HASBI – RUANG KELUARGA – MALAM
Andini sedang duduk di sofa dan menonton tivi, lalu Hasbi menghampiri dan duduk di sampingnya.
HASBI
Bapak nggak pulang lagi?
ANDINI
Dia mungkin nggak akan pulang ke sini lagi.
HASBI
(terkejut)
Nggak akan pulang ke sini lagi? Kenapa?
ANDINI
(menatap lekat wajah Hasbi)
Hasbi. Ibu sudah membulatkan tekad untuk berpisah sama Bapak.
HASBI
Maksud Ibu cerai?
ANDINI
(mengangguk)
Bapak memang masih menolak untuk bercerai. Tapi ibu tahu kalau alasannya bukan karena Bapak masih cinta sama ibu. Jadi buat apa ibu mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak ada cinta di dalamnya. Menurut kamu juga begitu, kan?
HASBI
Iya, Bu. Itu juga yang selalu Hasbi coba bilang ke Ibu. Bapak bertahan dengan Ibu hanya untuk menjaga reputasinya sebagai pejabat.
(jeda)
Tapi ... selama ini, apa sebenarnya alasan Ibu masih bertahan? Apa karena Ibu masih mencintai Bapak?
ANDINI
(menghela napas)
Ibu juga nggak yakin. Mungkin ibu memang masih mencintai bapak. Atau mungkin karena kebiasaan? Karena ibu terbiasa hidup dengan bapak, dan merasa nggak siap untuk perubahan situasi dan status ibu.
HASBI
Terus, kenapa sekarang memutuskan untuk bercerai?
ANDINI
Ibu memberanikan diri untuk perubahan itu. Kalau ibu terus bertahan, maka hanya bapak yang mendapatkan keuntungan. Ibu juga mulai berpikir untuk mencari kebahagiaan, seperti yang kamu bilang.
HASBI
(tersenyum lebar)
Hasbi bangga sama Ibu!
ANDINI
(menepuk punggung Hasbi)
Bisa aja kamu.
CUT TO:
141. INT. ARUNIKA HOSPICE – KAMAR ANGGORO – SIANG
Hasbi duduk di hadapan Anggoro.
HASBI
Ada apa, Pak? Bapak bilang ada pengumuman penting.
ANGGORO
Iya, sangat penting. Dan saya pengen, kamu jadi orang pertama yang mendengar rencana saya ini.
HASBI
Rencana apa, Pak?
ANGGORO
Saya ... mau membeli Arunika Hospice, dan menjamin kalau tempat ini akan tetap menjadi hospice sampai kapan pun. Saya jamin, bahkan anak-anak saya pun tidak akan bisa mengambil alih tempat ini.
HASBI
(terbelalak)
Bapak serius?
ANGGORO
Emang saya pernah bercanda?
Hasbi menggeleng.
ANGGORO
Kamu tenang aja, uang saya banyak, kok. Lebih dari cukup untuk membeli hospice ini. Saya jauh lebih suka memberikan uang saya untuk hospice daripada untuk anak-anak saya.
HASBI
(terharu)
Pak Anggoro memang berhati mulia. Semua orang di hospice pasti akan sangat berterima kasih sama Bapak.
ANGGORO
Ini kan demi saya juga.
CUT TO:
142. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG
Hasbi dan Alin duduk bersebelahan di bangku taman.
HASBI
Lin, saya punya kabar gembira.
ALIN
Apa?
HASBI
Pak Anggoro mau membeli hospice. Jadi hospice nggak akan ditutup.
ALIN
Serius?
HASBI
Iya.
(menghela napas)
Memang ya, tempat ini dihuni oleh orang-orang baik.
(jeda)
Kamu juga orang yang baik, Lin. Kak Nadia bilang, kalau kamu akan jadi orang dewasa yang baik. Itu salah satu alasan, Kak Nadia memilih kamu untuk jadi penerima donornya.
ALIN
Apa saya pantas menerimanya?
HASBI
(mengangguk)
Kamu harus hidup, Lin. Demi kamu dan demi saya juga.
ALIN
Demi kamu?
HASBI
Iya. Karena saya juga ingin kamu tetap hidup.
ALIN
Kenapa kamu peduli?
HASBI
Ya ... karena kita teman.
ALIN
Tapi saya nggak yakin sama masa depan saya nanti.
HASBI
Kalau soal itu, kamu bakal tahu nanti. Saya juga gitu, kok. Butuh proses untuk tahu apa yang mau kita lakukan dalam hidup.
ALIN
Terus ... kamu udah tahu, apa yang mau kamu lakukan?
HASBI
(mengangguk)
Saya mau jadi dokter. Saya mau rajin belajar dan lulus dengan cepat. Lalu ... saya mau mengabdi di sini, di Arunika Hospice.
ALIN
(tersenyum lebar)
Itu rencana hidup yang keren.
HASBI
Cocok untuk saya, kan? ...
Suara Hasbi yang sedang berbicara panjang lebar, semakin lama semakin pelan. Kemudian, ekspresi Alin tampak kesakitan, tapi ia juga tampak menahannya. Hasbi tidak menyadari. Lalu, perlahan-lahan mata Alin mulai tertutup dan kepalanya bersandar di pundak Hasbi.
HASBI
Lin! Alin!
Hasbi memanggil nama Alin seraya menepuk pelan pipinya.
DISSOLVE TO: