Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
ARUNIKA HOSPICE
Suka
Favorit
Bagikan
8. Scene 64 - 72
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

64. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG

Hasbi melihat Emir yang sedang duduk sendirian di bangku taman. Hasbi menghampirinya.

HASBI

Hai, Emir. Kamu lagi ngapain?

EMIR

Kak Hasbi. Emir lagi lihat langit.

HASBI

Emang ada apa di langit?

EMIR

Kata mama, langit itu luas sekali, banyak bintang, planet-planet. Tapi, dari sini Emir nggak lihat apa-apa. Cuma ada awan.

HASBI

Mata manusia memang nggak bisa melihat sejauh itu, tapi kamu bisa pakai teleskop untuk bisa lihat bintang lebih dekat. Dan kamu harus lihat malam-malam, karena kalau siang, sinar matahari terlalu terang, jadi bintangnya nggak kelihatan.

EMIR

Pakai teleskop, ya. Emir tahu, Kak. Emir pernah lihat di komik. Tapi ... Emir harus beli di mana? Harganya juga pasti mahal, Emir nggak punya uang.

HASBI

Kamu suka banget sama bintang dan luar angkasa, ya?

EMIR

Iya, Kak. Emir pengen jadi astronot.

HASBI

Keren!

EMIR

Tapi kata mama, Emir nggak harus jadi astronot. Kata mama, semua pekerjaan itu hebat. Dan mungkin, Emir juga nggak bisa jadi orang dewasa.

(jeda)

Mama bilang, kalau Allah memanggil Emir cepat-cepat, artinya Allah sangat sayang sama Emir.

Hasbi memalingkan wajahnya, air mata tampak menetes. Hasbi cepat-cepat mengusapnya dengan tangan. Lalu kembali menghadap wajah Emir.

EMIR

Kalau Kak Hasbi, cita-citanya apa?

HASBI

Emmm ... (terdiam)

kakak belum tahu.

EMIR

Kok, nggak tahu?

HASBI

Belum kepikiran.

EMIR

Kalau gitu, Kak Hasbi harus mikirin dari sekarang.

HASBI

Gitu, ya?

Emir mengangguk. Hasbi mengusap kepala Emir.

Lalu, Emir terlihat pusing dan keluar darah dari hidungnya.

HASBI

(panik)

Emir ... Emir ...

EMIR

Emir pusing, Kak.

Darah dari hidup Emir bersimbah di bajunya. Hasbi menggendong Emir dan berlari menuju ruang darurat.

CUT TO:

65. INT. RUANG DARURAT HOSPICE – SIANG

Hasbi meletakkan Emir di ranjang dengan tergesa. Tak lama kemudian, dr.Adyan dan Bu Ajeng masuk ke ruangan. Keduanya dengan cekatan menangani Emir.

DR.ADYAN

(pada Hasbi)

Jangan dibaringkan, dudukkan saja! Kamu tunggu di luar!

HASBI

I-iya, Om.

CUT TO:

66. INT/EXT. SELASAR – DEPAN RUANG DARURAT – SIANG

Alifah berlari dengan panik mendekati Hasbi yang tampak cemas menunggu di depan ruang darurat.

ALIFAH

Emir di dalam?

HASBI

Iya, Bu. Tadi dia mimisan.

ALIFAH

(menangis)

Pak Adyan masih di dalam? Belum ada kabar?

HASBI

Iya, Bu.

Tak lama kemudian, dr.Adyan dan Bu Ajeng keluar.

ALIFAH

Emir gimana, Pak?

DR.ADYAN

Mimisannya sudah berhenti, sekarang Emir sedang proses transfusi darah. Bu Alifah tenang aja, Emir nggak apa-apa. Silakan Ibu dampingi Emir, nanti kalau ada apa-apa segera hubungi saya.

ALIFAH

Baik, Pak Adyan. Terima kasih.

CUT TO:

67. INT. RUMAH HASBI – RUANG MAKAN – MALAM

Andini dan Farhat sedang makan malam. Keduanya hanya makan dengan perlahan tanpa ada percakapan. Setelah makanan habis, Andini membereskan meja dan mencuci piring. Sementara itu, Farhat menonton tivi.

Setelah Andini selesai mencuci piring dan hendak masuk ke kamar, Farhat memanggilnya.

FARHAT

Bu, minggu depan ada acara penyuluhan keluarga berencana, Bapak diundang untuk datang. Dan karena ini penyuluhan tentang keluarga, alangkah baiknya kalau Ibu temani bapak.

ANDINI

(mengangguk)

Ya, tentu ibu harus datang, karena itu memang tugas ibu sebagai Ibu Camat, kan.

Andini lalu bergegas masuk ke kamar. Farhat pun mematikan tivi dan masuk ke kamar yang berbeda.

CUT TO:

68. INT. ARUNIKA HOSPICE – KANTIN – SIANG

Hasbi sedang mengepel lantai. Ia terdengar menghela napas berkali-kali, lalu dengan lemas duduk di bangku dengan kepala menunduk. Alin yang memperhatikan dari jauh, menghampiri Hasbi.

ALIN

Kamu kenapa, sih?

HASBI

(menghela napas)

Hidup ini nggak adil, ya.

ALIN

Kenapa tiba-tiba?

HASBI

Anak sekecil Emir, yang bahkan belum memulai langkah pertamanya untuk meraih cita-cita, harus pergi dari dunia lebih cepat.

ALIN

Setiap orang punya takdirnya masing-masing.

HASBI

Iya. Tapi tetep aja rasanya nggak adil.

(jeda)

Dan nggak kebayang gimana rasanya orang tua Emir yang harus ditinggal anaknya lebih dulu. Apa mereka sanggup?

Hasbi yang sejak tadi berbicara sambil menunduk, mengangkat kepalanya dan mendapati Alin sudah tidak ada di sampingnya.

HASBI

(bicara sendiri)

Dia ngilang tiba-tiba lagi. Kebiasaan.

CUT TO:

69. INT. KAMAR RELAWAN – MALAM

Hasbi merebahkan tubuhnya di kasur dan menatap langit-langit kamar. Melamun.

EMIR (O.S)

Kalau Kak Hasbi, cita-citanya apa?

DR.ADYAN (O.S)

Kamu itu masih dalam masa pencarian jati diri. Kamu bahkan belum menentukan mau jadi apa nanti. Iya, kan?

NADIA (O.S)

Ah ... nggak apa-apa, itu proses jadi dewasa. Di masa depan, kamu pasti jadi orang hebat.

HASBI

(menghela napas panjang, lalu bicara sendiri)

Mau jadi apa gue di masa depan? Apa cita-cita dan tujuan hidup gue?

FADE OUT.

70. INT. RUANG KANTOR DR.ADYAN – SIANG

Nassar (45), putra Faisal—pemilik hospice— datang menemui dr.Adyan. Keduanya duduk berhadapan.

NASSAR

Lama nggak jumpa ya, Bapak Dokter Adyan Pratama. Gimana nih kabarnya?

DR.ADYAN

Alhamdulillah sehat. Pak Nassar sendiri bagaimana?

NASSAR

Saya sehat, Pak. Tapi ... ada sedikit masalah dan ini mendesak.

DR.ADYAN

Ada yang bisa saya bantu, Pak?

NASSAR

Begini ... Pak Adyan tahu kan, kalau saya ahli waris satu-satunya dari Pak Faisal. Lahan beserta bangunan hospice ini pun termasuk dari peninggalan beliau. Karena sekarang hospice adalah milik saya, maka saya berhak untuk menentukan apa pun yang ingin saya lakukan pada harta milik saya ini, kan?

DR.ADYAN

(raut cemas)

Secara hukum memang demikian.

NASSAR

Karena itu, saya memutuskan untuk menutup hospice dalam waktu dekat. Lahan dan bangunan ini akan saya jual. Jadi, saya minta bantuan Bapak untuk mempersiapkan diri dan secepat mungkin mengosongkan tempat ini.

DR.ADYAN

Tapi Pak, bagaimana dengan para arunika?

NASSAR

Maksud Bapak para pasien? Itu bukan urusan saya, Pak. Mereka, kan, bisa pulang ke rumah masing-masing. Ini kan cuma tempat mereka singgah untuk sementara. Jadi harusnya nggak masalah, kan.

DR.ADYAN

Tapi Pak, tempat ini bukan sekedar tempat singgah. Tempat ini sangat berarti buat kami. Tempat ini adalah rumah kami.

NASSAR

Kalau gitu, Bapak beli saja hospice ini! Gampang, kan?

DR.ADYAN

Andai saya punya uang sebanyak itu, saya pasti sudah melakukannya sejak dulu.

NASSAR

Makanya. Barangkali Bapak lupa, jadi saya ingatkan lagi, kalau Bapak bukan pemilik hospice, dan hanya pengelola saja.

DR.ADYAN

Pak Faisal pasti nggak setuju tempat ini dijual. Tempat ini adalah impian beliau yang harus kami jaga, dan harus tetap berdiri untuk selamanya.

NASSAR

Saya tahu, tapi saya nggak punya pilihan lain. Saya butuh uang supaya bisnis saya tetap berjalan. Lagi pula, hal yang Bapak sebutkan tadi tidak tertulis di wasiatnya. Anda juga tahu itu dengan jelas.

DR.ADYAN

Sayangnya memang begitu. Tapi andai saja beliau sempat menulis ulang wasiatnya, beliau tidak akan melakukan ini.

NASSAR

Sudahlah, Pak Adyan! Saya ke sini bukan meminta ijin atau persetujuan Bapak, tapi memberi kabar. Jadi, pembahasan ini tidak perlu kita lanjutkan. Saya meminta Bapak dan semuanya untuk bersiap-siap.

(beranjak dari kursi)

Saya permisi dulu!

CUT TO:

71. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG

Hasbi sedang menemani Anggoro untuk berkeliling taman belakang hospice. Hasbi melangkah pelan sembari mendorong kursi roda Anggoro.

ANGGORO

Tumben kamu diem aja dari tadi? Lagi sariawan?

HASBI

Enggak kok, Pak. Saya lagi banyak pikiran aja.

ANGGORO

Wajar, lah! Kalau nggak punya pikiran, berarti otak kamu nggak berfungsi.

HASBI

Tapi ... sebelum datang ke sini, saya nggak punya pikiran, Pak. Saya nggak mikirin pelajaran, nggak mikirin rencana masa depan, apalagi mikirin cita-cita.

ANGGORO

Jadi semenjak di sini, baru kepikiran, begitu?

HASBI

Iya. Dan saya juga baru sadar, kalau selama ini saya terlalu banyak menyia-nyiakan waktu.

ANGGORO

Belum terlambat. Kamu masih sangat muda dan masih banyak waktu untuk merencanakan masa depan.

HASBI

Siapa yang tahu, Pak.

ANGGORO

Memang nggak ada yang menjamin kalau masih muda, terus artinya umur masih panjang. Tapi ... kita tetap harus punya tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.

HASBI

Bapak kan pengusaha sukses, apa itu cita-cita Bapak sejak kecil?

ANGGORO

(menggeleng)

Saya baru mulai bisnis di umur 30-an. Sebelum itu, saya juga luntang-lantung, nggak punya tujuan hidup.

HASBI

Lalu ... bagaimana akhirnya Bapak menemukan tujuan hidup?

ANGGORO

Semua berproses, kok. Ya ... seperti yang kamu jalani sekarang.

CUT TO:

72. EXT. TERAS HOSPICE – SIANG

Hasbi sedang berjalan keluar, lalu melihat Alin dan Nadia sedang berbincang sembari duduk di bangku teras. Hasbi tidak bisa mendengar pembicaraan keduanya, tapi tampak jelas bahwa keduanya sedang serius. Nadia tampak menggenggam tangan Alin dengan erat, lalu mengusap-usap punggungnya.

Alin beranjak dari kursi dan melangkah pergi. Alin mendekat ke arah Hasbi.

HASBI

Kalian serius banget. Ngomongin apa, sih?

(melihat wajah Alin tampak pucat)

Kamu sakit?

Alin menggeleng pelan. Namun, tak lama kemudian, tubuh Alin oleng dan hampir terjatuh, tapi Hasbi berhasil meraih tubuh Alin. Alin tampak tidak sadarkan diri di pangkuan Hasbi.

HASBI

(mengguncang pelan tubuh Alin)

Alin ... Alin ... sadar, Lin!

CUT TO:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar