Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
58. INT/EXT. SELASAR ARUNIKA HOSPICE – DEPAN KAMAR TERTUTUP – SIANG
Hasbi dan Alin duduk di bangku depan kamar arunika dengan pintu tertutup rapat. Hanya ada mereka berdua di area itu. Di antara mereka ada sekotak pizza. Alin sedang serius menggambar di kertas menggunakan pensil.
HASBI
(menyerahkan es krim di tangan kanan)
Ini buat kamu.
ALIN
(meletakkan gambar dan pensilnya di pangkuan, lalu menerima es krim)
Kamu nggak bagi-bagi sama yang lain?
HASBI
Udah, kok. Saya udah bagiin juga ke yang lain tadi.
ALIN
Emang kamu punya uang?
HASBI
Dibayarin Pak Anggoro.
ALIN
Pak Anggoro? Serius?
HASBI
Iya. Kenapa heran?
ALIN
Setahu saya, beliau memang donatur tetap di sini. Tapi ... kalau bagi-bagi makanan secara khusus, ini pertama kalinya.
HASBI
Oh, ya? Berarti saya spesial, dong.
ALIN
Mungkin yang kamu lakukan kemarin itu, berkesan untuk beliau.
HASBI
(tertawa bangga)
Itu ... memang kelebihan saya. Membuat orang lain terkesan.
(mengamati gambar Alin)
Kalau diperhatikan, gambar-gambar yang kamu buat bukan fokus ke potret, tapi lebih ke detail pakaian mereka.
ALIN
(mengangguk)
Dibanding potret, saya lebih suka membayangkan saat objek gambar saya memakai pakaian-pakaian yang indah. Makanya, fokus gambar saya ada di pakaian mereka.
HASBI
Kalau gitu, daripada menggambar potret, kayaknya kamu lebih cocok buat desain pakaian.
ALIN
(menggeleng)
Kalau soal itu, saya nggak yakin.
HASBI
Oh ya, ngomong-ngomong itu ruangan apa? Kayaknya pintunya selalu tertutup. (menunjuk ruangan di hadapan mereka)
ALIN
Itu ... kamar salah satu arunika.
HASBI
Kayaknya saya nggak pernah lihat dia keluar kamar.
ALIN
Iya. Dia nggak mau orang-orang tahu kalau dia sakit.
HASBI
Kenapa gitu?
ALIN
Karena dia nggak mau dikasihani.
HASBI
(melihat ke lengan Alin yang tampak memar-memar)
Tangan kamu kenapa?
ALIN
(buru-buru menutupi dengan lengan bajunya yang tergulung)
Kepentok.
(mengalihkan pembicaraan)
Oh ya, kamu nggak berniat kabur lagi, kan?
HASBI
Kan udah saya bilang, saya bukan mau kabur. Lagian, waktu saya mau jelasin, kamu malah tiba-tiba ngilang.
ALIN
Ya, udah nggak usah dibahas! Lagian, mau kabur pun itu bukan urusan saya.
HASBI
Lah ... kamu yang bahas duluan.
CUT TO:
59. EXT. HALAMAN HOSPICE – SIANG
Hasbi sedang melintas di halaman hospice. Lalu, dari kejauhan ia melihat Alin sedang berbincang dengan Emir. Tampak oleh Hasbi, Alin begitu senang berinteraksi dengan Emir. Alin berbicara panjang lebar sembari tertawa dan bercanda dengan Emir.
HASBI
(tersenyum)
Ternyata dia bisa tertawa juga. Dan tawanya semanis itu.
(ekspresi masam)
Tapi ... kenapa dia nggak pernah begitu di depan gue? Mengecewakan.
CUT TO:
60. INT. RUMAH NICO – KAMAR – SIANG
Nico sedang main game di pc yang ada di meja belajarnya.
NICO
(melepaskan tangan dari atas keyboard, lalu menghela napas panjang)
Boring, nih. Ajakin Hasbi main kali, ya, biar seru.
Nico mengambil ponsel di samping keyboard dan menelepon.
CUT TO:
61. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG
Hasbi sedang menyirami bunga. Ia mendengar suara dering ponsel yang disimpan di saku celana. Hasbi mengangkat telepon dari Nico.
HASBI
Kenapa?
INTERCUT – PERCAKAPAN TELEPON
NICO
Lu lagi ngapain?
HASBI
Nyiram bunga.
NICO
(terbahak-bahak)
Serius lu? Gue aja seumur-umur nggak pernah nyiram bunga.
HASBI
Ketawa aja lu! Bantuin sini!
(jeda)
Lu ngapain telepon?
NICO
Mau ngajakin mabar.
HASBI
Oh ...
NICO
Oh ... doang?
HASBI
Ya, lu tahu sendiri jawabannya.
NICO
Iya tahu, lu sibuk.
HASBI
Kalau udah tahu, tutup teleponnya.
NICO
Ok.
Keduanya menutup telepon.
Nico meletakkan ponselnya di meja, lalu beranjak menuju tempat tidur dan melemparkan tubuh di atasnya.
Sementara itu, Hasbi lanjut menyiram bunga. Nadia (25), seorang arunika menghampiri.
NADIA
(memandang bunga-bunga dengan kagum)
Mereka mekar dengan baik.
(melihat ke Hasbi)
Kamu relawan baru, ya?
HASBI
Iya, Kak.
NADIA
Kamu hebat. Masih sangat muda, tapi sudah punya jiwa sosial yang tinggi.
HASBI
(menggaruk belakang kepalanya)
Ah ... nggak juga kok, Kak.
NADIA
Setiap orang punya tugas masing-masing di dunia. Dan yang terbaik adalah mereka yang bermanfaat untuk banyak orang. Contohnya seperti kamu.
(jeda)
Oh ya, saya Nadia. Kamu?
HASBI
Saya Hasbi, Kak.
NADIA
Hasbi ... kamu masih sekolah atau kuliah?
HASBI
Sekolah, Kak. Cuma sekarang lagi libur. Ya ... diliburkan lebih tepatnya.
NADIA
(tersenyum)
Ah ... nggak apa-apa, itu proses jadi dewasa. Di masa depan, kamu pasti jadi orang hebat.
HASBI
(tertawa canggung)
Kayaknya itu nggak mungkin, Kak.
NADIA
Jangan bilang nggak mungkin. Kamu cuma belum mengenal diri kamu sendiri, makanya kamu belum punya tujuan hidup.
HASBI
(meletakkan selang air di tangannya)
Saya nggak pernah berpikir bisa jadi sesuatu yang berguna buat orang lain. Bahkan berguna untuk diri sendiri pun enggak.
NADIA
Dulu ... sebelum saya sakit, saya hampir jadi wakil Indonesia untuk kompetisi menari Internasional. Sekalipun saya tidak juara, setidaknya saya akan bangga karena berhasil memperkenalkan budaya Indonesia melalui tari jaipong yang rencananya akan saya tampilkan di depan juri dan penonton dari seluruh dunia. Dengan menari dan mengharumkan nama Indonesia ke seluruh dunia, membuat saya merasa telah menjadi seseorang yang bermanfaat.
HASBI
Kak Nadia penari jaipong?
NADIA
(mengangguk)
Tapi sayangnya, Tuhan berkehendak lain dengan memberikan saya penyakit ini sebelum bisa tampil di sana. Awalnya, saya merasa dunia saya telah hancur. Seketika, saya menjadi orang yang tidak berguna, bahkan untuk diri saya sendiri.
(jeda)
Tapi ... seiring berkembangnya tumor di kepala saya ini, saya justru semakin ikhlas menerima keadaan. Bahkan, saya menemukan tujuan hidup saya yang baru. Sesuatu yang bahkan tidak terlintas sebelumnya dalam pikiran saya. Yaitu menyelamatkan orang lain.
HASBI
Menyelamatkan orang lain?
NADIA
(mengangguk)
Dengan mendonorkan organ tubuh saya jika meninggal nanti.
(jeda)
Satu hal lain yang saya syukuri adalah, penyakit ini hanya tumbuh di kepala saya, dan membuat organ lainnya sangat sehat dan berpotensi untuk bisa didonorkan. Dengan begitu, bagian dari diri saya juga bisa tetap hidup.
Hasbi terdiam dengan mata berkaca-kaca.
NADIA
Kamu ... nggak lagi nangis, kan?
HASBI
(mengucek-ucek mata)
Ah ... ada serangga masuk mata, Kak.
NADIA
Oh, kirain.
(jeda)
Aduh, maaf ya! Saya jadi curcol. Padahal baru aja kenalan.
HASBI
Nggak apa-apa kok, Kak. Kita yang tinggal di Arunika Hospice kan keluarga.
NADIA
(tertawa)
Kalau gitu, anggap saya kakak kamu, ya!
HASBI
Iya, Kak. Saya bangga bisa bertemu dengan seseorang berhati malaikat seperti Kak Nadia.
NADIA
(tersenyum)
Semua orang di Arunika Hospice seperti itu, kan? Termasuk kamu.
Lalu, Alin terlihat melintas agak jauh dari mereka. Nadia mengamati wajah Hasbi dan mendapati Hasbi sedang menatap Alin sampai sosoknya tidak tampak.
NADIA
(tersenyum)
Cantik, ya?
HASBI
(kikuk)
Hah? Siapa? Oh, bunga? Iya, cantik.
NADIA
Bukan bunga, tapi cewek yang kamu tatap sampai menghilang ke balik tembok.
HASBI
Oh, Alin.
NADIA
Iya. Kalau dilihat-lihat kalian cocok, loh. Sama-sama baik hati, cantik dan ganteng.
HASBI
Ah, apaan sih Kak. Dia emang cantik tapi ketus.
NADIA
Itu karena kamu belum kenal deket. Dia itu anak baik dan manis.
HASBI
Masa, sih?
NADIA
Beneran. Nanti juga kamu tahu.
CUT TO:
62. INT. KAMAR RELAWAN – MALAM
Hasbi memainkan game di ponsel, sembari merebahkan tubuh di atas kasur. Tak lama kemudian, ia berhenti bermain dan meletakkan ponselnya di meja.
HASBI
Kenapa jadi nggak seru, ya?
Hasbi lalu kembali merebahkan tubuh di kasur, dan tak lama kemudian, ia sudah tertidur pulas.
CUT TO:
63. EXT. HALAMAN DEPAN HOSPICE – SIANG
Sebuah mobil box berisi beberapa karung kentang terparkir. Hasbi yang sedang melintas di dekatnya, dihampiri oleh Rani yang duduk di atas kursi roda dan didorong oleh sang putra.
RANI
Nak, minta tolong angkut kentangnya ke dapur, ya!
PUTRA RANI
(sambil mengajak Hasbi ke belakang mobil box)
Kita angkut sama-sama, ya.
HASBI
Siap, Kak!
(sambil mengangkut)
Ini kiriman dari mana, Kak?
PUTRA RANI
Saya baru panen, jadi kirim sebagian untuk di sini.
HASBI
Wah ... jadi ini dari Kakak?
PUTRA RANI
Cuma sedikit, kok.
Hasbi membantu putra Rani mengangkut sampai karung terakhir. Setelah itu, Hasbi menghampiri Rani.
RANI
Makasih, ya!
(jeda)
Ngomong-ngomong, saya baru lihat kamu.
HASBI
Saya Hasbi, Bu.
RANI
Nak Hasbi. Saya Rani, dan ini anak saya yang paling besar. Dia bagi-bagi sedikit hasil panennya.
HASBI
Makasih untuk kirimannya.
RANI
Sama-sama. Saya permisi dulu ke dalam, ya.
HASBI
Iya, Bu.
Tak lama kemudian, dr.Adyan datang menghampiri Hasbi.
DR.ADYAN
Kamu boleh istirahat dulu sekarang!
HASBI
Ah, nggak apa-apa Om. Om, kayaknya sekarang Hasbi udah mulai terbiasa kerja keras. Hasbi nggak ngerasa pegel-pegel sama sekali.
DR.ADYAN
Oh, ya? Bagus, dong!
HASBI
Dan tahu nggak Om, tadi malem Hasbi akhirnya nggak insomnia lagi.
DR.ADYAN
(tertawa)
Wah ... kayaknya kamu udah mulai betah di sini, ya.
HASBI
Apa iya, ya?
(jeda)
Ngomong-ngomong, anak Bu Rani baik banget, dia kirim kentang sebanyak itu.
DR.ADYAN
Iya. Semua anak Bu Rani, kompak merawat ibunya. Mereka seperti itu sejak Bu Rani tinggal di sini. Padahal menurut Bu Rani, dulu mereka berselisih dan lama tidak saling bertemu.
HASBI
Oh, ya?
DR.ADYAN
Suaminya bilang, meskipun sakit, Bu Rani justru jadi lebih bahagia sekarang.
HASBI
Karena anak-anak mereka akur lagi?
DR.ADYAN
(mengangguk)
Selalu ada hikmah untuk setiap kejadian dalam hidup, kan.
CUT TO: