Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tongkonan Terakhir
Suka
Favorit
Bagikan
10. Bagian 10 - “Dendam Poya”
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator
FADE IN:EXT. DESA TOROLOKO – MALAM

Desa yang tadi siang sempat terang kembali diliputi malam kelam mendadak.

Langit memerah seperti luka terbuka.

Suara serangga mendadak hilang, digantikan gong duka yang berdentum pelan—pelan—lalu cepat, seperti detak jantung raksasa.

Raka berdiri di depan Tongkonan Terakhir, ditemani Yohana, Lantang, Laras, dan Pastor Samuel.

Warga desa berkerumun jauh di belakang, menatap dengan wajah takut.

YOHANA

(berbisik)

Kukira sudah selesai…

LANTANG

Poya hanya tertidur.

Ritual kita kemarin… hanya menutup pintu.

Dia masih menuntut balas.

Raka menatap puncak atap Tongkonan yang menjulang. Di ujungnya, silhouette Poya perlahan terlihat, semakin jelas setiap dentuman gong.

INT. TONGKONAN TERAKHIR – MALAM

Mereka masuk.

Di dalam, ukiran kayu di dinding tampak bergerak seperti bernafas.

Lampu minyak menyala sendiri, cahayanya merah.

Di tengah ruangan, peti batu tua retak, dari celahnya menyembur asap hitam.

Pastor Samuel mengangkat salib, namun salib itu bergetar dan memanas.

PASTOR SAMUEL

(tahan sakit)

Kebenciannya… lebih tua dari yang kita duga.

VISI LELUHUR

Kabut pekat menelan mereka.

Tiba-tiba Raka terlempar ke masa lalu:

– Upacara adat Toraja ratusan tahun silam.

– Leluhur Raka menolak perjodohan, menantang adat, menumpahkan darah di altar.

– Poya, saat masih manusia, dikorbankan untuk menjaga keseimbangan, namun ia bangkit kembali karena pengkhianatan.

Suara Poya menggema di seluruh ruangan.

POYA (V.O.)

Janji darah dilanggar…

Aku menunggu tujuh turunan…

Kau yang terakhir.

Raka tersentak kembali ke waktu kini, napas tersengal.

RITUAL BALASAN

Lantang menyalakan dupa.

Yohana menyiapkan belati pusaka retak.

Laras memegang kendi berisi air dari sumber suci.

LANTANG

Kita harus menutup siklus.

Bukan dengan darah semata,

tapi dengan pengakuan.

RAKA

Aku… harus mengaku.

Raka maju ke tengah ruangan, berdiri di atas simbol ukir.

RAKA

(keras)

Aku, keturunan Danu,

mengakui kesalahan leluhur kami.

Kami menolak perjodohan,

kami menolak adat,

kami menolak pengorbanan.

Suara gemuruh dari atap.

Peti batu meledak, asap hitam membentuk wujud Poya—tinggi, mata putih, jubah kabut.

POYA

Pengakuan tidak menebus!

Darah adalah kebenaran!

PERTARUNGAN SPIRITUAL

Angin topan muncul di dalam Tongkonan.

Ukiran kayu terlepas, beterbangan seperti bilah tajam.

Yohana menjerit ketika pecahan kayu nyaris mengenainya.

Pastor Samuel membaca doa Latin.

Lantang melantunkan mantra Toraja kuno.

Dua kekuatan spiritual menyatu, menciptakan cahaya biru di tengah ruangan.

Poya meraung, mencoba memadamkan cahaya.

Bayangan arwah tak bermata muncul dari lantai, berusaha menarik Raka.

Raka menancapkan belati pusaka ke tanah.

Cahaya dari belati memancar, meski retakannya membuat kilatan liar.

RAKA

(berteriak)

Ini berakhir sekarang!

POYA MENAWAR

Poya mendekat, suaranya kini seperti bisikan menggoda.

POYA

Berikan gadis itu—

satu nyawa untuk seribu.

Hanya itu yang kubutuhkan.

Ia menoleh ke Laras, yang tubuhnya membeku ketakutan.

Yohana maju, berdiri di depan Laras.

YOHANA

Tidak!

Kami semua akan melawanmu.

Poya menjerit, dinding Tongkonan bergetar.

PENGORBANAN YANG BENAR

Raka menutup mata, mendengar suara ayahnya, Danu, bergema lembut.

DANU (V.O.)

Anakku…

Pengorbanan bukan darah…

tapi keberanian menyerahkan jiwa

untuk kebenaran.

Raka membuka mata, memandang Poya.

RAKA

Jika yang kau mau adalah jiwa yang bertanggung jawab—

Ambil jiwaku.

Ia menancapkan belati ke dadanya tanpa ragu.

Darah mengalir deras ke lantai ukir.

Yohana menjerit. Laras menutupi wajah.

PERUBAHAN TAK TERDUGA

Namun, alih-alih roboh, tubuh Raka dipenuhi cahaya putih.

Lantang menatap tak percaya.

LANTANG

Ia… diterima.

Poya mundur, menutupi wajahnya dari cahaya.

POYA

Tidak!

Kau menolak hukum darah!

Cahaya semakin terang, memenuhi ruangan.

Arwah-arwah tak bermata menjerit dan lenyap.

PENEBUSAN

Cahaya meresap ke Poya.

Sosoknya bergetar, wajahnya perlahan berubah:

dari raksasa menakutkan menjadi perempuan tua berwajah lembut, mata penuh kesedihan.

POYA (pelan)

Aku… lelah.

Raka, masih bercahaya, mendekat.

RAKA

Kembalilah ke leluhur.

Istirahatlah.

Poya mengangguk perlahan.

Tubuhnya berubah menjadi ribuan partikel cahaya, menyatu dengan atap Tongkonan, lalu hilang.

HENING

Angin berhenti.

Lampu minyak menyala normal.

Belati pusaka jatuh dari dada Raka—tanpa luka.

Yohana memeluknya erat.

YOHANA

Kau… hidup?

Raka menatap dadanya—kulitnya utuh, hanya bercak cahaya samar.

RAKA

(tersenyum lelah)

Mungkin… kita semua baru saja lahir kembali.

EXT. DESA TOROLOKO – FAJAR

Matahari pertama menembus kabut.

Warga desa keluar, menatap langit yang kini biru bersih.

Gong duka berhenti sepenuhnya.

Lantang menunduk hormat ke arah Tongkonan.

LANTANG

Ritual selesai.

Gerbang telah tertutup selamanya.

Pastor Samuel menghela napas lega, menatap Raka.

PASTOR SAMUEL

Keberanianmu menebus tujuh turunan.

Laras menggenggam tangan Yohana.

LARAS

Terima kasih… kalian semua.

MOMEN TENANG

Raka berjalan sendiri ke tepi desa.

Ia menatap ke arah Tongkonan Terakhir, kini tampak damai.

Namun di balik ketenangan, ia masih mendengar bisikan samar:

seperti suara ayahnya, lembut, “Jaga warisan ini…”

Yohana menyusul, menggenggam tangannya.

YOHANA

Kita sudah selesai, kan?

Raka menatap langit.

RAKA

Untuk sekarang.

FADE OUT.

TEKS LAYAR:

Tongkonan Terakhir – Bagian 10 Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)