Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tongkonan Terakhir
Suka
Favorit
Bagikan
2. TONGKONAN TUA
FADE IN:

INT. TONGKONAN TUA – MALAM

Kamera di tangan Raka masih merekam. Nafasnya terengah, keringat menetes meski udara dingin.

Di depan, jenazah perempuan itu tetap duduk tegak. Matanya terbuka, menatap kosong.

Bisikan bergema dari sudut ruangan, berlapis-lapis, seperti banyak suara berbicara dalam bahasa kuno.

BISIKAN (V.O.)

Pulang… darahmu… pulang…

Raka mundur, menabrak tiang kayu. Senter jatuh, menimbulkan bunyi keras yang menggema.

Tiba-tiba, pintu Tongkonan menutup kerasBANG!

Raka menjerit, berlari ke pintu. Terkunci.

EXT. HUTAN BAMBU – MALAM

Di luar, Yohana berlari menyusuri jejak kaki Raka. Napasnya memburu.

Ia menoleh ke kiri-kanan, mendengar suara gendang samar dari arah Tongkonan tua.

INT. TONGKONAN TUA – MALAM

Raka menyalakan lampu kamera. Cahaya bergetar.

Di sekelilingnya, ukiran kayu dinding seolah bergerak, motif kerbau berubah jadi wajah-wajah manusia yang menyeringai.

RAKA

(tiada daya)

Ini… ini tidak nyata…

Dari sudut ruangan, sosok perempuan tua perlahan berdiri dari peti. Gerakannya kaku, tapi matanya menatap langsung pada Raka.

SOSOK PEREMPUAN

(dengan suara dua lapis)

Anak darah… kau kembali.

Raka terhuyung mundur.

EXT. DEPAN TONGKONAN – MALAM

Yohana tiba. Ia mengetuk pintu keras.

YOHANA

Raka! Buka pintunya!

Dari dalam, suara bisikan dan dentuman gendang bercampur.

Yohana menempelkan telinga, wajahnya pucat.

INT. TONGKONAN TUA – MALAM

Raka mencoba menjerit, tapi suaranya tertahan seolah tenggorokannya dicekik.

Perempuan itu melangkah mendekat. Kini wajahnya terlihat jelas: Nenek Poya, rambut putih kusut, pakaian adat penuh debu.

NENEK POYA

Kau bawa darah yang hilang…

Raka akhirnya bisa bersuara.

RAKA

Siapa kau?!

NENEK POYA

Aku darahmu. Cucu yang mengingkari leluhur.

Raka menatap kaget.

FLASHBACK – VISI CEPAT (Raka’s POV)

Sekilas gambar: Seorang pria muda (mirip Raka) di masa lampau, berpakaian adat, meninggalkan desa dengan seorang wanita asing.

Tetua adat berteriak, ritual terhenti, dan Nenek Poya jatuh di tanah menangis.

KEMBALI KE ADEGAN

Raka tersentak. Air mata tanpa sadar menetes.

RAKA

Ayahku…?

Nenek Poya mengangguk perlahan.

NENEK POYA

Ayahmu meninggalkan tanah ini. Menghapus nama keluarga. Dosanya belum dibayar.

Pintu mendadak terbuka sendiri. Yohana masuk, memegang lampu minyak.

YOHANA

Raka!

Namun saat lampu menyorot ruangan, peti kosong. Tidak ada Nenek Poya. Hanya debu dan ukiran tua.

Raka terdiam, tubuh gemetar.

EXT. HUTAN – PERJALANAN PULANG – MALAM

Kabut makin tebal. Yohana menggandeng lengan Raka.

YOHANA

Kamu lihat dia, kan?

RAKA

Dia… bilang dia nenekku.

Yohana menatap serius.

YOHANA

Kita harus ke rumah tetua. Sekarang.

INT. RUMAH LANTANG – MALAM

Rumah adat besar, lampu obor menyala redup.

LANTANG menunggu, duduk di kursi kayu dengan tongkat. Wajahnya tegang.

LANTANG

Kau sudah membuka gerbang yang tertutup puluhan tahun.

Raka menelan ludah.

RAKA

Siapa Nenek Poya?

Lantang menghela nafas panjang.

LANTANG

Dia saudara perempuan kakekmu. Waktu muda, kakekmu menikah dengan orang luar dan melanggar janji leluhur. Poya meninggal saat upacara pengampunan, sebelum dosa itu terhapus.

Ia menatap Raka dalam-dalam.

LANTANG

Kau cucu yang membawa darah yang sama. Karena itu dia menuntutmu kembali.

Raka memegang kepala, pusing.

EXT. DESA – MALAM

Tiba-tiba, gong besar di lapangan berbunyi sendiri—DUMM… DUMM…

Warga keluar rumah, panik. Langit mendadak gelap meski bulan purnama seharusnya terang.

WARGA 1

Itu pertanda leluhur murka!

INT. RUMAH LANTANG – MALAM

Lantang berdiri cepat.

LANTANG

Kita harus lakukan Rambu Singgi—ritual pemanggil roh damai.

YOHANA

Tapi itu butuh izin semua tetua.

LANTANG

Kalau tidak, arwah akan menjemput darahnya… malam ini.

Lantang menatap Raka.

LANTANG

Kau pusat ritual itu. Tanpa kau, semuanya sia-sia.

Raka menatap mereka, ragu.

EXT. LAPANGAN RITUAL – TENGAH MALAM

Api obor melingkari lapangan. Warga mengenakan pakaian hitam dengan hiasan merah. Gong dan gendang dipukul berirama cepat.

Raka duduk di tengah lingkaran. Lantang dan para tetua mulai melantunkan mantra.

SFX: Angin kencang tiba-tiba menerpa. Api obor menari liar.

Bayangan perempuan muncul di udara—Nenek Poya, kini lebih jelas dan besar.

NENEK POYA

(dentum suara)

Janji darah… ditebus!

Api obor satu per satu padam. Lapangan gelap. Hanya cahaya bulan.

Raka berdiri, menatap roh itu.

RAKA

Aku… cucumu. Aku minta maaf atas dosa ayahku.

Nenek Poya melayang mendekat, mata bercahaya.

NENEK POYA

Darah harus kembali.

Ia mengangkat tangan. Angin menekan semua orang hingga berlutut.

INT. PIKIRAN RAKA – VISION

Raka melihat dirinya kecil, bermain di rumah ayahnya di Makassar. Ayahnya menyembunyikan ukiran kayu Toraja dalam lemari.

Suara ayahnya: “Jangan pernah kembali ke Toraja, Nak. Mereka tidak akan mengerti kita.”

Gambar berganti: Ayahnya berdiri di depan Tongkonan, menolak tetua adat. Hujan badai. Nenek Poya menangis.

KEMBALI KE LAPANGAN

Air mata Raka mengalir.

RAKA

Aku akan kembalikan nama keluarga!

Ia mengambil pisau adat yang disodorkan Lantang, menusuk jarinya sendiri, meneteskan darah ke tanah.

RAKA (lantang)

Dengan darahku, aku mengakui leluhurku.

Tanah bergetar. Angin berhenti mendadak. Api obor menyala kembali seketika.

Nenek Poya menatap Raka lama. Senyumnya perlahan muncul—lalu tubuhnya memudar menjadi kabut tipis.

EXT. LAPANGAN – SUBUH

Langit memerah. Warga menarik napas lega. Burung-burung kembali berkicau.

Yohana mendekat, menepuk bahu Raka.

YOHANA

Kau sudah menebusnya.

Raka masih menatap tanah bekas darahnya.

RAKA

Tapi kenapa aku? Kenapa sekarang?

Lantang mendekat.

LANTANG

Arwah memilih waktunya sendiri.

Ia menatap kabut sisa di udara.

LANTANG

Dan ini belum benar-benar berakhir.

EXT. TONGKONAN TUA – PAGI

Raka, Yohana, dan Lantang berjalan menuju Tongkonan tempat pertemuan pertama.

Pintu yang semalam tertutup kini terbuka lebar. Sinar matahari pagi menyorot ke dalam.

Di tengah ruangan, peti kayu sudah tertutup rapat. Di atasnya tergeletak kamera Raka—padahal ia yakin kamera itu tadi dibawanya.

Raka meraihnya. Layar menyala sendiri.

Di dalam memori, video baru muncul dengan stempel waktu jam setelah ritual.

Raka memutar.

Video menampilkan dirinya sendiri sedang tidur di penginapan, dengan Nenek Poya berdiri di sudut, menatap kamera.

Raka menutup mulut, gemetar.

EXT. DESA – SIANG

Warga memulai aktivitas. Anak-anak tertawa. Seolah malam panjang tak pernah terjadi.

Yohana berdiri di samping Raka.

YOHANA

Dia masih mengawasi. Leluhur tidak pernah pergi sepenuhnya.

Raka menatap jauh ke pegunungan yang diselimuti kabut.

RAKA

Mungkin… dia cuma memastikan aku tidak melupakan darahku lagi.

EXT. PUNCAK BUKIT – SENJA

Raka memasang tripod, merekam penutupan vlog. Angin lembut bertiup.

RAKA (ke kamera)

Perjalanan ini… lebih dari sekadar konten urban legend. Ini tentang akar, tentang darah.

Ia menatap lensa, mata berkaca-kaca.

RAKA

Toraja mengajarkanku: kematian bukan akhir. Leluhur selalu menunggu… dan menuntut kita pulang.

Ia mematikan kamera.

Di belakangnya, samar, bayangan Nenek Poya muncul sejenak di kabut—tersenyum.

FADE OUT.

TEKS LAYAR:

TONGKONAN TERAKHIR – Bagian 2 Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)