Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tongkonan Terakhir
Suka
Favorit
Bagikan
6. Bagian 6 - “Sumpah Leluhur”
FADE IN:EXT. PUNCAK BUNTU LUMU – SUBUH

Kabut mulai menipis, langit berwarna abu-abu kebiruan.

Raka, Yohana, dan Lantang masih terduduk di sekitar altar batu yang ternoda darah Raka.

Belati pusaka tergeletak, bilahnya berkilau samar meski matahari belum terbit.

YOHANA

(lembut)

Kita harus kembali ke desa. Kau kehilangan banyak darah.

Raka menatap tangannya yang berlumur kering darah.

Matanya kosong, seolah mendengarkan suara yang tak terdengar orang lain.

POYA (V.O.)

Janji belum ditepati… tiga darah…

Raka menggeleng pelan, menahan pusing.

EXT. JALUR TURUN GUNUNG – PAGI

Mereka menuruni jalur terjal. Tanah basah, akar licin.

Suara burung-burung terdengar aneh—melengking seperti seruling patah.

Lantang berjalan di depan, wajahnya tegang.

LANTANG

Arwah Poya hanya menerima persembahan darah pertama.

Sisa dua darah… Arung Lumu dan Poya sendiri.

Kita harus menemukannya sebelum bulan merah penuh esok malam.

Raka menatap Lantang.

RAKA

Bagaimana kita menemukan keturunan Arung Lumu?

Lantang diam sejenak.

LANTANG

Itu bagian paling berbahaya. Keluarga itu… diasingkan sejak lama.

EXT. DESA TOROLOKO – SIANG

Mereka tiba di desa yang diliputi kegelisahan.

Warga berkumpul di balai, jenazah Pemuda Desa telah dibaringkan dengan kain putih.

Suara gong duka berdentum lambat.

Pastor Samuel menghampiri, wajahnya muram.

PASTOR SAMUEL

Sejak kalian mendaki, satu jiwa melayang.

Tubuhnya kaku seperti batu. Tidak ada darah yang tersisa.

Yohana menunduk, rasa bersalah jelas.

RAKA

(berbisik)

Arwah menuntut darah…

Pastor menatap Raka tajam.

PASTOR SAMUEL

Itu baru awal. Kau harus menutup perjanjian, Raka.

INT. BALAI ADAT – SIANG

Raka, Yohana, Lantang, dan Pastor Samuel duduk melingkar.

Di tengah, terdapat gulungan lontar kuno yang baru dibawa Pastor.

Pastor membuka gulungan dengan hati-hati. Tulisan tua beraksara Toraja memenuhi permukaannya.

PASTOR SAMUEL

Ini naskah “Sumpah Patti’ Tallu.”

Tiga darah: Danu, Poya, Arung Lumu.

Jika salah satu menolak, arwah penjaga bangkit.

Gerbang antara dunia hidup dan mati terbuka.

Raka menatap gulungan itu. Di sudutnya terdapat cap darah yang masih gelap meski naskah berusia ratusan tahun.

LANTANG

Arung Lumu… keturunannya tinggal jauh di balik hutan barat, di sebuah dusun yang sudah ditinggalkan.

Orang menyebutnya Dusun Silau.

Pastor menghela napas.

PASTOR SAMUEL

Dusun itu terkutuk. Banyak yang tak pernah kembali.

EXT. DESA – SENJA

Langit berubah oranye kemerahan. Angin membawa bau besi.

Warga menyalakan obor di sepanjang jalan.

Raka berjalan sendirian menuju pemakaman tua.

Di antara deretan patung Tau-Tau, ia melihat bayangan ayahnya lagi.

DANU (bayangan)

Anakku… sumpah darah adalah beban kita.

Jangan biarkan yang lain binasa.

Raka melangkah maju, tapi bayangan menghilang, meninggalkan setetes darah segar di tanah.

INT. RUMAH LANTANG – MALAM

Obor menyala redup. Angin malam berdesir.

Raka menatap belati pusaka di meja.

YOHANA

Kita akan pergi ke Dusun Silau besok?

Lantang mengangguk pelan.

LANTANG

Ya. Tapi ada ritual yang harus kau lakukan malam ini.

Raka mengerutkan kening.

LANTANG

Kau harus bersumpah di hadapan leluhur.

Jika kau mundur, semua jiwa desa akan mati.

EXT. HALAMAN RUMAH LANTANG – MALAM

Di bawah langit berbintang, sebuah lingkaran batu sudah dipersiapkan.

Dupa menyala, asapnya menari-nari.

Pastor Samuel berdiri di luar lingkaran, menunduk khidmat.

Lantang menyalakan obor besar di tengah. Ia menatap Raka.

LANTANG

Berdirilah di tengah lingkaran.

Angkat belati pusaka. Ucapkan janji leluhur.

Raka masuk lingkaran. Obor menyala terang, angin tiba-tiba berhenti.

RAKA

(keras, tegas)

Demi darah Danu, aku bersumpah menutup gerbang roh.

Demi jiwa yang telah pergi, aku tidak akan mundur.

Tiba-tiba angin kencang berputar, membuat api menari liar.

Suara Poya menggema di seluruh halaman.

POYA (V.O.)

Janji diterima… tapi darah terakhir… harus dibayar.

Api lingkaran memanjang ke langit, lalu padam seketika, meninggalkan bara merah.

EXT. DESA – MALAM

Setelah ritual, Raka dan Yohana berjalan kembali ke penginapan.

Desa sepi, hanya suara serangga malam.

Tiba-tiba dari kejauhan, suara gamelan kematian terdengar—pelan, lalu semakin keras.

Raka berhenti.

Dari balik rumah, muncul Nenek Penjual Sirih, tatapan matanya kosong.

NENEK PENJUAL SIRIH

Dusun Silau menunggu… darah kedua… darah ketiga…

Ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi merah darah, lalu menghilang dalam bayangan.

Yohana menggenggam tangan Raka erat-erat.

INT. PENGINAPAN – TENGAH MALAM

Raka terbangun karena suara bisikan.

Kamera vlogging yang ia letakkan di meja menyala sendiri, menampilkan rekaman baru:

Seorang lelaki tua—mirip kakek Raka—berdiri di depan Tongkonan, menatap kamera.

KAKEK (rekaman)

Cucu… sumpah ini bukan hanya penjaga gerbang.

Ini warisan kutukan.

Jika kau gagal, darah kita akan menjadi jalan bagi mereka.

Gambar bergetar, lalu padam.

EXT. DESA TOROLOKO – SUBUH

Langit memerah sebelum fajar.

Raka, Yohana, dan Lantang bersiap dengan bekal dan obor.

Pastor Samuel memberi mereka sebuah salib kayu kecil.

PASTOR SAMUEL

Ini pelindung. Tapi ingat, di Dusun Silau, tidak ada doa yang cukup kuat bila hatimu goyah.

Raka menerima salib, menatap Pastor dengan rasa terima kasih bercampur takut.

EXT. JALUR BARAT – PAGI

Mereka memulai perjalanan menuju Dusun Silau.

Hutan barat terkenal lebat dan tak ramah.

Kabut menggantung rendah, sinar matahari sulit menembus.

YOHANA

Apa kita bisa kembali sebelum malam?

LANTANG

Kalau arwah mengizinkan.

Mereka melangkah masuk ke dalam hutan, bayangan pepohonan menutup jalan seperti gerbang ke dunia lain.

EXT. HUTAN BARAT – SIANG

Hutan semakin gelap meski matahari tinggi.

Suara burung aneh menggema. Sesekali terdengar ratapan perempuan dari kejauhan.

Raka berhenti, menatap sekeliling.

RAKA

Suara itu… seperti memanggil.

Lantang menoleh tajam.

LANTANG

Jangan ditanggapi. Itu roh penyesat.

EXT. SUNGAI MERAH – SENJA

Mereka tiba di sebuah sungai kecil. Airnya berwarna merah kecokelatan, berbau besi pekat.

Yohana menutup hidung.

YOHANA

Ini… darah?

Lantang mengangguk pelan.

LANTANG

Tanda bahwa kita mendekati Dusun Silau.

EXT. TEPI DUSUN SILAU – SENJA

Kabut lebih tebal. Dari balik pepohonan, tampak rumah-rumah panggung tua yang lapuk, sebagian roboh.

Tidak ada suara kehidupan.

Raka menatap ngeri.

RAKA

Apakah… ada orang di sini?

Angin berhembus pelan. Dari kejauhan, lonceng kecil berdentang sendiri.

EXT. DUSUN SILAU – MALAM

Mereka memasuki dusun. Patung-patung kayu rusak berdiri di setiap sudut, mata ukirannya tampak mengikuti gerakan mereka.

Tiba-tiba, dari salah satu rumah, muncul cahaya obor.

Seorang WANITA MUDA berbalut kain hitam keluar perlahan.

Wanita itu menatap Raka tajam.

WANITA MUDA

Kau… darah Danu.

Raka melangkah maju, tertegun.

RAKA

Kau keturunan Arung Lumu?

Wanita itu tidak menjawab, hanya menatap dengan mata berkilau merah samar.

EXT. DUSUN SILAU – KONTINU

Angin mendadak kencang, mengguncang rumah-rumah lapuk.

Patung-patung kayu mulai mengeluarkan darah dari mata ukiran.

Yohana menjerit tertahan.

Wanita muda itu mendekat, wajahnya berubah pucat, mata semakin merah.

WANITA MUDA

Sumpah leluhur… harus ditepati.

Darahku… atau desamu lenyap.

Ia mengangkat belati tua yang mirip dengan pusaka Raka.

FADE OUT.

TEKS LAYAR:

Tongkonan Terakhir – Bagian 6 Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)