Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kabut kian tebal, seolah menelan jalur pendakian.
Raka dan Yohana melanjutkan perjalanan ditemani Lantang yang menyusul di pagi buta, membawa obor dan tas berisi sesajen.
LANTANG
Kalian tidak bisa mendaki puncak sendirian. Leluhur memilih siapa yang boleh melewati gerbang.
Raka menatapnya, lega sekaligus cemas.
MONTAGE – PERJALANAN PAGILangkah kaki di tanah basah.
Ranting patah menimbulkan gema panjang.
Kabut menggulung seperti asap dupa.
EXT. LERENG BATU – PAGIMereka tiba di lereng berbatu. Tiba-tiba suara teriakan pria terdengar dari kejauhan.
Raka refleks menoleh.
YOHANA
Jangan! Ingat pesan Lantang.
Teriakan itu berubah menjadi jeritan kesakitan. Angin membawa bau besi—bau darah.
EXT. DESA TOROLOKO – PAGI (INTERCUT)Di desa, beberapa warga bersiap menjemur hasil panen.
Seorang PEMUDA DESA (20-an) mendadak terhuyung, mulutnya mengeluarkan busa merah.
Tubuhnya kaku, mata terbalik.
Warga berteriak panik. Gong desa dipukul keras. DONG! DONG! DONG!
EXT. LERENG BATU – SIANGSuara gong terdengar hingga ke gunung. Raka berhenti.
RAKA
Itu gong kematian…
Lantang mengepalkan tangan.
LANTANG
Arwah Poya sudah mengambil korban pertama.
EXT. GUNUNG – SIANGMereka melanjutkan perjalanan. Kabut menipis, diganti hawa panas yang tak wajar.
Di sepanjang jalan, patung Tau-Tau mini tergantung di pohon, seolah mengawasi.
Yohana merinding.
YOHANA
Kenapa patung-patung ini bisa ada di sini?
LANTANG
Itu penanda wilayah roh. Semakin banyak patung, semakin dekat kita ke gerbang.
EXT. BUKIT BERDARAH – SOREMereka tiba di sebuah bukit kecil dengan batu besar di tengah. Batu itu berlumur warna merah tua.
Raka menelusuri permukaan batu: basah—bukan cat, darah segar.
RAKA
Darah manusia…
Suara Poya menggema lembut.
POYA (V.O.)
Satu jiwa… satu pintu.
Raka memejam mata, menahan rasa mual.
INT. DESA – BALAI ADAT – SENGGANG (INTERCUT)Jenazah Pemuda Desa terbujur.
Pastor Samuel dan tetua lain mengelilingi, membaca doa.
Kulit jenazah pucat keabu-abuan, pembuluh darah menonjol hitam.
Seorang IBU TUA berbisik takut.
IBU TUA
Kutukan Danu… sudah dimulai.
EXT. POS PERISTIRAHATAN – SENJARaka, Yohana, dan Lantang mendirikan kemah. Matahari tenggelam, langit memerah pekat.
Suara gong dari desa kembali terdengar, lambat dan berat.
YOHANA
Berapa lama lagi kita sampai puncak?
LANTANG
Kalau arwah mengizinkan, sebelum tengah malam.
Tiba-tiba angin dingin menerpa, membuat obor padam seketika.
EXT. POS PERISTIRAHATAN – MALAMDalam kegelapan, terdengar suara langkah di sekitar kemah.
Raka menyalakan senter. Cahaya menyorot bayangan orang di balik kabut—tinggi, berambut panjang, wajah tak terlihat.
Bayangan itu mendekat. Tanah di sekitarnya basah darah.
LANTANG
(berteriak)
Tunjukkan siapa kau!
Bayangan berhenti, lalu berubah menjadi asap hitam dan menghilang.
INT. KEMAH – MALAMRaka duduk memegang belati pusaka, tangannya bergetar.
RAKA
(berbisik)
Dia terus mengikutiku.
Yohana menggenggam tangannya.
YOHANA
Kita harus bertahan sampai puncak. Ingat pesan ayahmu.
EXT. DESA TOROLOKO – MALAM (INTERCUT)Pastor Samuel menatap langit. Bulan hampir penuh, berwarna merah darah.
Ia menyalakan dupa, berdoa.
PASTOR SAMUEL
Leluhur, lindungi mereka.
Dari bayangan, Nenek Penjual Sirih menatap, tersenyum aneh, giginya merah.
EXT. JALUR BATU TERAKHIR – TENGAH MALAMMereka melanjutkan pendakian terakhir. Kabut semakin pekat, suara gong kini terdengar dari segala arah.
Raka berhenti. Ia melihat bayangan ayahnya di depan, melambaikan tangan.
DANU (bayangan)
Nak… sini.
Raka melangkah maju, tapi Yohana menahan.
YOHANA
Itu bukan ayahmu!
Bayangan menghilang, digantikan oleh tangisan bayi yang menusuk telinga.
EXT. PUNCAK BUNTU LUMU – MALAMAkhirnya mereka tiba di puncak. Sebuah altar batu berdiri di tengah, dikelilingi pohon beringin tua.
Udara berbau besi dan dupa.
Lantang menaruh sesajen: beras merah, sirih, dan seekor ayam hitam.
LANTANG
Mulai sekarang, hanya darahmu yang bisa menutup gerbang, Raka.
Raka menatap belati pusaka yang bergetar halus.
RITUALLantang membaca mantra. Angin kencang berputar membentuk pusaran. Pohon beringin bergoyang meski tak ada badai.
Raka menggenggam belati. Tangan gemetar.
Suara Poya terdengar jelas, bagai bisikan di telinga.
POYA (V.O.)
Darahmu… janji kami…
Raka menusukkan belati ke telapak tangannya. Darah menetes ke batu altar.
Tanah bergetar. Batu altar menyerap darah, memancarkan cahaya merah.
TEROR MELEDAKKabut berubah menjadi wajah-wajah arwah.
Jeritan ribuan suara.
Patung Tau-Tau dari desa muncul di sekeliling altar, menatap Raka.
Yohana menjerit. Lantang terus membaca mantra, suaranya nyaris tertelan angin.
Dari pusaran kabut, wujud penuh Poya muncul: perempuan tua berjubah hitam, mata putih bercahaya, mulut menyeringai.
POYA
Darah pertama… hanya awal.
Gerbang belum tertutup.
Raka menatapnya, tubuhnya bergetar.
EXT. DESA TOROLOKO – MALAM (INTERCUT)Di desa, jenazah Pemuda Desa bangkit sekejap, menjerit tanpa suara, lalu rebah kembali.
Warga menutup mulut, ketakutan.
PUNCAK BUNTU LUMU – KONTINUPoya mendekat, menyentuh darah di altar, lalu menatap Raka.
POYA
Janji tiga darah. Temukan yang lain… atau semua jiwa akan hilang.
Angin mendadak berhenti. Poya menghilang, meninggalkan bau bunga kematian.
Kabut menipis. Patung Tau-Tau runtuh menjadi abu.
Raka terhuyung, nyaris pingsan. Yohana menahan tubuhnya.
YOHANA
Kita… berhasil?
Lantang menatap altar yang masih berdenyut cahaya merah.
LANTANG
Ini baru permulaan. Korban pertama telah jatuh.
Jika darah Arung Lumu dan keturunan Poya tidak ditemukan…
(berbisik)
desa ini tidak akan selamat.
EXT. PUNCAK – MENJELANG SUBUHLangit mulai memucat. Raka menatap tangan berlumur darah, napasnya berat.
Di kejauhan, terdengar ratapan desa yang samar.
RAKA
(kepada diri sendiri)
Berapa jiwa lagi…?
FADE OUT.TEKS LAYAR:
Tongkonan Terakhir – Bagian 5 Tamat