Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tongkonan Terakhir
Suka
Favorit
Bagikan
5. Bagian 5 - “Darah Pertama”
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator
FADE IN:EXT. HUTAN MENUJU BUNTU LUMU – SUBUH

Kabut kian tebal, seolah menelan jalur pendakian.

Raka dan Yohana melanjutkan perjalanan ditemani Lantang yang menyusul di pagi buta, membawa obor dan tas berisi sesajen.

LANTANG

Kalian tidak bisa mendaki puncak sendirian. Leluhur memilih siapa yang boleh melewati gerbang.

Raka menatapnya, lega sekaligus cemas.

MONTAGE – PERJALANAN PAGI

Langkah kaki di tanah basah.

Ranting patah menimbulkan gema panjang.

Kabut menggulung seperti asap dupa.

EXT. LERENG BATU – PAGI

Mereka tiba di lereng berbatu. Tiba-tiba suara teriakan pria terdengar dari kejauhan.

Raka refleks menoleh.

YOHANA

Jangan! Ingat pesan Lantang.

Teriakan itu berubah menjadi jeritan kesakitan. Angin membawa bau besi—bau darah.

EXT. DESA TOROLOKO – PAGI (INTERCUT)

Di desa, beberapa warga bersiap menjemur hasil panen.

Seorang PEMUDA DESA (20-an) mendadak terhuyung, mulutnya mengeluarkan busa merah.

Tubuhnya kaku, mata terbalik.

Warga berteriak panik. Gong desa dipukul keras. DONG! DONG! DONG!

EXT. LERENG BATU – SIANG

Suara gong terdengar hingga ke gunung. Raka berhenti.

RAKA

Itu gong kematian…

Lantang mengepalkan tangan.

LANTANG

Arwah Poya sudah mengambil korban pertama.

EXT. GUNUNG – SIANG

Mereka melanjutkan perjalanan. Kabut menipis, diganti hawa panas yang tak wajar.

Di sepanjang jalan, patung Tau-Tau mini tergantung di pohon, seolah mengawasi.

Yohana merinding.

YOHANA

Kenapa patung-patung ini bisa ada di sini?

LANTANG

Itu penanda wilayah roh. Semakin banyak patung, semakin dekat kita ke gerbang.

EXT. BUKIT BERDARAH – SORE

Mereka tiba di sebuah bukit kecil dengan batu besar di tengah. Batu itu berlumur warna merah tua.

Raka menelusuri permukaan batu: basah—bukan cat, darah segar.

RAKA

Darah manusia…

Suara Poya menggema lembut.

POYA (V.O.)

Satu jiwa… satu pintu.

Raka memejam mata, menahan rasa mual.

INT. DESA – BALAI ADAT – SENGGANG (INTERCUT)

Jenazah Pemuda Desa terbujur.

Pastor Samuel dan tetua lain mengelilingi, membaca doa.

Kulit jenazah pucat keabu-abuan, pembuluh darah menonjol hitam.

Seorang IBU TUA berbisik takut.

IBU TUA

Kutukan Danu… sudah dimulai.

EXT. POS PERISTIRAHATAN – SENJA

Raka, Yohana, dan Lantang mendirikan kemah. Matahari tenggelam, langit memerah pekat.

Suara gong dari desa kembali terdengar, lambat dan berat.

YOHANA

Berapa lama lagi kita sampai puncak?

LANTANG

Kalau arwah mengizinkan, sebelum tengah malam.

Tiba-tiba angin dingin menerpa, membuat obor padam seketika.

EXT. POS PERISTIRAHATAN – MALAM

Dalam kegelapan, terdengar suara langkah di sekitar kemah.

Raka menyalakan senter. Cahaya menyorot bayangan orang di balik kabut—tinggi, berambut panjang, wajah tak terlihat.

Bayangan itu mendekat. Tanah di sekitarnya basah darah.

LANTANG

(berteriak)

Tunjukkan siapa kau!

Bayangan berhenti, lalu berubah menjadi asap hitam dan menghilang.

INT. KEMAH – MALAM

Raka duduk memegang belati pusaka, tangannya bergetar.

RAKA

(berbisik)

Dia terus mengikutiku.

Yohana menggenggam tangannya.

YOHANA

Kita harus bertahan sampai puncak. Ingat pesan ayahmu.

EXT. DESA TOROLOKO – MALAM (INTERCUT)

Pastor Samuel menatap langit. Bulan hampir penuh, berwarna merah darah.

Ia menyalakan dupa, berdoa.

PASTOR SAMUEL

Leluhur, lindungi mereka.

Dari bayangan, Nenek Penjual Sirih menatap, tersenyum aneh, giginya merah.

EXT. JALUR BATU TERAKHIR – TENGAH MALAM

Mereka melanjutkan pendakian terakhir. Kabut semakin pekat, suara gong kini terdengar dari segala arah.

Raka berhenti. Ia melihat bayangan ayahnya di depan, melambaikan tangan.

DANU (bayangan)

Nak… sini.

Raka melangkah maju, tapi Yohana menahan.

YOHANA

Itu bukan ayahmu!

Bayangan menghilang, digantikan oleh tangisan bayi yang menusuk telinga.

EXT. PUNCAK BUNTU LUMU – MALAM

Akhirnya mereka tiba di puncak. Sebuah altar batu berdiri di tengah, dikelilingi pohon beringin tua.

Udara berbau besi dan dupa.

Lantang menaruh sesajen: beras merah, sirih, dan seekor ayam hitam.

LANTANG

Mulai sekarang, hanya darahmu yang bisa menutup gerbang, Raka.

Raka menatap belati pusaka yang bergetar halus.

RITUAL

Lantang membaca mantra. Angin kencang berputar membentuk pusaran. Pohon beringin bergoyang meski tak ada badai.

Raka menggenggam belati. Tangan gemetar.

Suara Poya terdengar jelas, bagai bisikan di telinga.

POYA (V.O.)

Darahmu… janji kami…

Raka menusukkan belati ke telapak tangannya. Darah menetes ke batu altar.

Tanah bergetar. Batu altar menyerap darah, memancarkan cahaya merah.

TEROR MELEDAK

Kabut berubah menjadi wajah-wajah arwah.

Jeritan ribuan suara.

Patung Tau-Tau dari desa muncul di sekeliling altar, menatap Raka.

Yohana menjerit. Lantang terus membaca mantra, suaranya nyaris tertelan angin.

Dari pusaran kabut, wujud penuh Poya muncul: perempuan tua berjubah hitam, mata putih bercahaya, mulut menyeringai.

POYA

Darah pertama… hanya awal.

Gerbang belum tertutup.

Raka menatapnya, tubuhnya bergetar.

EXT. DESA TOROLOKO – MALAM (INTERCUT)

Di desa, jenazah Pemuda Desa bangkit sekejap, menjerit tanpa suara, lalu rebah kembali.

Warga menutup mulut, ketakutan.

PUNCAK BUNTU LUMU – KONTINU

Poya mendekat, menyentuh darah di altar, lalu menatap Raka.

POYA

Janji tiga darah. Temukan yang lain… atau semua jiwa akan hilang.

Angin mendadak berhenti. Poya menghilang, meninggalkan bau bunga kematian.

Kabut menipis. Patung Tau-Tau runtuh menjadi abu.

Raka terhuyung, nyaris pingsan. Yohana menahan tubuhnya.

YOHANA

Kita… berhasil?

Lantang menatap altar yang masih berdenyut cahaya merah.

LANTANG

Ini baru permulaan. Korban pertama telah jatuh.

Jika darah Arung Lumu dan keturunan Poya tidak ditemukan…

(berbisik)

desa ini tidak akan selamat.

EXT. PUNCAK – MENJELANG SUBUH

Langit mulai memucat. Raka menatap tangan berlumur darah, napasnya berat.

Di kejauhan, terdengar ratapan desa yang samar.

RAKA

(kepada diri sendiri)

Berapa jiwa lagi…?

FADE OUT.

TEKS LAYAR:

Tongkonan Terakhir – Bagian 5 Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)