Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EXT. BANDARA SULTAN HASANUDDIN – PAGI
Langit Makassar kebiruan. Pesawat mendarat perlahan. Hiruk-pikuk penumpang dan pengumuman bandara terdengar samar.
RAKA (28), berkaos hitam bertuliskan Urban Legend Hunter, melangkah keluar. Ransel kamera menempel di punggung. Ia menyalakan handycam kecil dan merekam dirinya sendiri.
RAKA (ke kamera)
Hari pertama ekspedisi Toraja. Katanya, di sini kematian bukan akhir. Kita lihat apa yang sebenarnya terjadi di balik ritual legendaris Ma’nene.
Ia menatap lensa, senyum tipis, lalu berhenti merekam.
EXT. TERMINAL KEDATANGAN – PAGIDi parkiran, SOPIR BUDI (40) menunggu sambil memegang papan bertuliskan Raka – Le’lo Village.
BUDI
Mas Raka?
RAKA
Ya. Perjalanan ke Toraja butuh waktu berapa lama?
BUDI
Sekitar delapan jam, kalau lancar. Jalannya berkelok.
Raka menaikkan ransel ke bagasi minibus. Kamera mungil tetap tergantung di dadanya.
EXT. JALAN POROS TORAJA – SIANGMobil melaju menembus pegunungan. Tebing tinggi di kiri, jurang dalam di kanan. Kabut tipis mulai turun meski matahari masih terik.
BUDI
Dulu jalan ini disebut Jalan Arwah. Banyak yang bilang, kalau lewat magrib, suka ada bayangan penumpang tambahan.
Budi tertawa kecil.
RAKA
(catatan kamera)
Jalan Arwah… cocok banget.
EXT. DESA LE’LO – SENJAMatahari hampir tenggelam. Rumah adat Tongkonan dengan atap melengkung menjulang seperti perahu raksasa. Udara dingin bercampur aroma kayu basah.
Di gerbang kayu berukir, YOHANA (25) menunggu. Syal merahnya berkibar pelan.
YOHANA
Selamat datang di Le’lo. Perjalanan melelahkan?
RAKA
Delapan jam yang… penuh cerita.
Mereka berjabat tangan singkat.
YOHANA
Aku pemandumu selama di sini. Ada aturan yang harus kamu patuhi.
RAKA
Tentu. Saya pendengar yang baik—kadang.
Yohana menatap tajam, tak menanggapi candaan.
EXT. JALAN BATU DESA – SENJAMereka berjalan di antara rumah-rumah adat. Anak-anak berlarian, membawa lampion bambu. Gong kecil terdengar dari kejauhan.
YOHANA
Besok pagi upacara Ma’nene dimulai. Jangan merekam doa pembukaan. Itu sakral.
RAKA
(catatan di ponsel)
Tidak merekam doa. Siap.
Yohana menoleh, memastikan.
YOHANA
Aku serius, Raka. Orang yang melanggar… tidak selalu pulang sama.
Raka menelan ludah, namun tetap memasang senyum.
INT. PENGINAPAN KAYU – MALAMPenginapan bergaya rumah adat, temaram diterangi lampu minyak. Lantai kayu berderit setiap kali Raka melangkah.
Ia mengeluarkan kamera DSLR, drone, dan lampu portabel. Menyiapkan baterai sambil bicara ke vlog.
RAKA (ke kamera)
Penginapan malam pertama. Besok kita lihat apakah legenda arwah benar-benar menampakkan diri.
Ketuk… ketuk…
Suara seperti jari mengetuk papan dinding. Raka berhenti.
RAKA
Halo?
Sunyi. Hanya suara jangkrik.
Ia menyalakan kamera, mencoba test shot. Di layar, sekilas bayangan perempuan melintas di belakang. Ia menoleh cepat—kosong.
INT. PENGINAPAN – RUANG MAKAN – MALAMYohana menyajikan kopi Toraja panas. Aroma rempah mengisi ruangan.
YOHANA
Kopi ini dari kebun keluarga.
RAKA
(enak)
Mantap. Eh, Yohana… kenapa larangan merekam doa begitu ketat?
Yohana menatap gelasnya lama.
YOHANA
Doa pembukaan adalah panggilan arwah leluhur. Kamera menangkap lebih dari yang bisa dilihat mata.
Raka tertawa kecil, menutupi rasa merinding.
EXT. LAPANGAN RITUAL – PAGIKerumunan warga berpakaian adat merah-hitam. Gong besar dipukul perlahan. Udara lembap, kabut turun di antara pepohonan.
Jenazah yang diawetkan dikeluarkan dari makam batu. Tubuh kaku namun utuh, seolah tidur panjang.
LANTANG (50-an), tetua adat, mengangkat tangan memimpin doa dalam bahasa Toraja kuno.
Semua orang menunduk. Raka menyalakan kamera kecil tersembunyi di tas, menyalakan mode perekaman diam-diam.
CLOSE UP – LANTANGTatapan Lantang tiba-tiba menembus kerumunan, lurus ke arah Raka. Matanya tajam, seolah menegur.
Raka cepat-cepat menunduk.
EXT. MAKAM BATU – USAI UPACARAKeramaian mencair. Anak-anak berlarian, tawa bercampur bau dupa.
Raka mengangkat kamera lain untuk memotret detail ukiran.
YOHANA
(berbisik keras)
Kau merekam doa tadi?
RAKA
(hampir berbohong)
Sedikit… cuma audio.
YOHANA
Raka! Itu larangan besar.
Raka mengangkat bahu, setengah menyesal namun matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
INT. PENGINAPAN – MALAMHujan gerimis. Raka memindahkan file ke laptop.
Ia memutar rekaman doa.
Suara doa terdengar berlapis, ada bisikan lain—dalam bahasa yang lebih tua, seperti panggilan dari balik bumi.
RAKA
Apa ini…?
Lampu minyak bergetar. Suara langkah pelan di beranda.
Raka menoleh ke jendela. Kabut pekat menutupi halaman.
POV KAMERA RAKAIa mengarahkan kamera ke luar.
Di layar muncul siluet perempuan tua berdiri diam di kabut, memakai pakaian adat hitam-merah.
Ketika Raka menurunkan kamera, halaman kosong.
EXT. HALAMAN PENGINAPAN – MALAMRaka keluar dengan senter. Udara menusuk.
Jejak kaki basah memanjang ke arah hutan bambu.
SFX: bisikan samar, tak jelas, namun menyerupai nyanyian duka.
Raka, meski ragu, mengikuti.
EXT. HUTAN BAMBU – MALAMKabut menebal. Cahaya senter menyorot pepohonan tinggi. Suara serangga menghilang, diganti gumaman lirih.
Potongan kain adat merah tergantung di dahan, berayun meski udara tenang.
Raka menoleh ke sekeliling. Nafasnya cepat.
WIDE SHOT – HUTAN TERBUKADi kejauhan berdiri Tongkonan tua—rumah adat besar yang tampak ditinggalkan. Ukiran kayu merah-hitam pudar ditelan lumut. Atapnya menjulang seperti perahu gelap.
Pintu kayu terbuka sedikit, memancarkan cahaya temaram.
INT. TONGKONAN TUA – MALAMRuang luas, lantai kayu berdebu. Tengkorak kerbau tergantung di dinding. Udara berbau tanah basah dan dupa lama.
Di tengah ruangan, peti kayu terbuka.
Di dalamnya, sosok jenazah perempuan tua duduk tegak, pakaian adat lengkap dengan hiasan emas.
Matanya… terbuka.
SFX: Gendang berdentum keras, seolah dari bawah lantai.
Raka mundur, kamera bergetar di tangannya.
Dari bayangan atap, bisikan yang sama dari rekaman bergema: “Pulang… darahmu…”
Raka terdiam, wajah pucat.
CUT TO BLACK.TEKS LAYAR:
TONGKONAN TERAKHIR – Bagian 1 Tamat