Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit masih merah gelap meski seharusnya matahari telah lama naik.
Kabut merah mengambang setinggi pinggang, menelan jalan desa.
Gong duka berdentum tak beraturan, seolah dipukul oleh tangan gaib.
Raka, Yohana, Lantang, Laras, dan Pastor Samuel menuruni jalur gunung, tiba di gerbang desa.
Mereka tertegun:
– Pohon-pohon bambu di sekitar desa berubah hitam seperti terbakar.
– Atap rumah-rumah meneteskan cairan merah pekat.
– Suara tangis dan tawa anak-anak bercampur, datang dari segala arah tanpa wujud.
YOHANA
(berbisik)
Ini… bukan lagi dunia kita.
EXT. JALAN DESA – KONTINUMereka melangkah perlahan.
Setiap rumah yang dilewati memunculkan bayangan penghuni: siluet samar yang melakukan aktivitas sehari-hari—menenun, menumbuk padi—tetapi tanpa mata dan mulut.
Ketika Raka mendekat, bayangan itu memudar seperti asap.
LANTANG
Arwah yang belum tenang.
Gerbang sudah terbuka sepenuhnya.
INT. BALAI DESA – PAGIBalai desa kini gelap dan berbau busuk.
Beberapa warga yang tersisa berkumpul, wajah mereka pucat, mata merah karena tak tidur.
Seorang WANITA MUDA menjerit histeris, menunjuk ke sudut ruangan.
Raka menoleh—di sana patung Tau-Tau bergeser sendiri, kepalanya menoleh ke arah mereka.
Pastor Samuel menggenggam salib.
PASTOR SAMUEL
(tahan panik)
Kita harus menguatkan hati.
Ketakutan memberi mereka kekuatan.
EXT. ALUN-ALUN DESA – PAGISuara gong tiba-tiba berhenti.
Hening menakutkan.
Laras merasakan sesuatu, menoleh ke arah tongkonan utama desa.
Dari pintu rumah adat, bayangan raksasa Poya perlahan muncul, kini tampak lebih jelas daripada sebelumnya:
Tubuh setinggi pohon kelapa, mata putih menyala, jubahnya seperti kabut berdarah.
Poya berbicara dengan suara yang mengguncang tanah.
POYA
Janji dilanggar.
Darah akan diambil… seluruhnya.
Warga menjerit dan berlarian, tapi jalan desa menutup sendiri oleh dinding kabut pekat.
KEKACAUANPatung-patung Tau-Tau di setiap rumah hidup:
– Beberapa menuruni tangga, langkah kayu berderak.
– Mata ukiran menyala seperti bara.
– Suara nyanyian kematian terdengar dari mulut tak bergerak.
Raka menebas satu patung dengan belati pusaka.
Patung pecah, tapi potongan kayunya meneteskan darah hitam.
YOHANA
(gemetar)
Mereka… hidup!
INT. RUMAH WARGA – SIANGMereka berlindung di rumah besar milik kepala desa.
Suara jeritan dari luar semakin keras.
Pastor Samuel menatap Raka.
PASTOR SAMUEL
Ini bukan hanya kutukan.
Poya memanfaatkan energi takut kita.
Kita harus pecah belenggu itu.
Raka menghela napas.
RAKA
Bagaimana?
Lantang membuka kantong kulit, mengeluarkan tiga batu ritual berukir.
LANTANG
Hanya dengan menggabungkan darah tiga garis di pusat desa.
Tapi… kita kehilangan waktu.
Laras menunduk, tangannya gemetar.
MOMEN PERPECAHANWarga yang ketakutan mulai menuduh.
WARGA 1
Semua ini karena kalian!
Bawa gadis itu keluar!
Serahkan dia pada roh!
Keributan meledak.
Beberapa pria mendekati Laras dengan wajah marah.
Raka berdiri melindungi Laras, belati terangkat.
RAKA
Siapa pun yang menyentuhnya akan berhadapan dengan saya!
Ketegangan memuncak.
Tiba-tiba jendela pecah, bayangan Poya menembus masuk seperti asap, membuat semua orang mundur.
POYA
Darahlah yang kuinginkan.
Tak seorang pun dapat lari.
Bayangan itu menghilang, meninggalkan hawa dingin menusuk tulang.
EXT. SUMBER AIR DESA – SENJARaka, Yohana, Lantang, Laras, dan Pastor Samuel pergi ke sumber air suci di tengah desa, lokasi yang disebut naskah lontar sebagai “jantung bumi”.
Air yang biasanya jernih kini berubah merah gelap.
Lantang menancapkan tiga batu ritual di tepi sumber.
LANTANG
Di sini gerbangnya paling tipis.
Jika kita gagal menutupnya malam ini…
desa ini tak akan kembali.
PERLAWANAN PERTAMAKabut menebal.
Bayangan arwah keluar dari air, ratusan jumlahnya—anak-anak, orang tua, prajurit kuno—semua wajah tanpa mata.
Mereka bergerak mendekat tanpa suara.
Pastor Samuel mengangkat salib, Yohana menyalakan obor, Lantang membaca mantra.
Raka menebas bayangan terdekat, belati menyala putih.
Setiap tebasan membuat arwah memekik dan menghilang, tetapi jumlah mereka tak berkurang.
KEMUNCULAN POYAAir sumber bergolak.
Poya muncul sepenuhnya, lebih besar dari sebelumnya, menembus langit merah.
POYA
Darah!
Atau desa ini menjadi kerajaan kematian!
Tanah bergetar. Batu ritual retak.
Raka berdiri di depan, napas berat.
RAKA
Kalau hanya darah yang kau mau, ambil darahku!
Ia menorehkan belati ke lengan sendiri. Darah menetes ke air, tetapi Poya tertawa.
POYA
Darahmu sudah kuambil.
Tak cukup!
KEPUTUSAN BARULaras melangkah maju.
LARAS
Kalau ini takdir, aku akan menutup gerbang.
Yohana menahan bahunya.
YOHANA
Tidak! Kita bisa—
Sebelum Yohana selesai, bayangan arwah ayah Raka, Danu, muncul di antara mereka.
DANU (bayangan)
Anakku… ada jalan lain.
Raka tertegun.
RAKA
Ayah…?
Bayangan Danu menatap Poya dengan marah.
DANU
Sumpah leluhur bukan tentang pembantaian.
Itu tentang pengorbanan… hati, bukan darah.
Suara Danu menggema, membuat air sumber berkilau putih sesaat.
PEMBAHARUAN HARAPANLantang menatap Raka.
LANTANG
Mungkin… jika kita satukan niat dan doa, bukan darah, kita bisa mengurungnya.
Pastor Samuel mengangguk cepat.
PASTOR SAMUEL
Ya—persembahan iman dan keberanian!
Raka menatap semua orang.
RAKA
Kita lakukan bersama.
Mereka berdiri melingkar, memegang tangan, mengangkat suara dalam doa dan mantra yang menyatu:
– Lantang dalam bahasa Toraja kuno.
– Pastor dengan doa Latin.
– Yohana dan Laras memanggil leluhur.
Cahaya putih perlahan muncul dari tanah.
BALASAN POYAPoya meraung, angin memekakkan telinga.
Kabut merah menggila, patung Tau-Tau di seluruh desa meledak satu per satu.
Bayangan arwah menyerang lingkaran, tapi setiap kali menyentuh cahaya putih, mereka lenyap seperti asap.
Poya melayang tinggi, tubuhnya retak, cahaya putih menembus jubahnya.
POYA
Takkan… selesai… tanpa darah!
Ia menjerit, suara terakhir mengguncang bumi.
Kabut merah tersedot kembali ke sumber air, seperti ditelan lubang hitam.
HENINGAngin berhenti.
Langit perlahan berubah keabu-abuan, tanda fajar sejati akhirnya datang.
Air sumber kembali jernih.
Warga desa yang tersisa keluar dari rumah, menatap sekeliling dengan wajah heran dan lega.
Raka menatap belati pusaka—bilahnya kini retak dan kusam.
INT. BALAI DESA – PAGIWarga berkumpul.
Beberapa menangis lega, yang lain memeluk keluarga.
Lantang menatap Raka.
LANTANG
Belum selesai.
Poya mungkin terkurung, tapi sumpah leluhur belum sepenuhnya terhapus.
Raka mengangguk, wajahnya lelah namun tegas.
RAKA
Kita akan pastikan ini tidak pernah terjadi lagi.
Pastor Samuel menepuk bahu Raka.
PASTOR SAMUEL
Keberanianmu menyelamatkan banyak jiwa.
Laras menatap Raka dengan mata berkaca-kaca.
LARAS
Terima kasih… karena memilih hidup, bukan darah.
Yohana memegang tangan Raka erat, keduanya saling menatap, kelegaan bercampur rasa gentar.
EXT. DESA TOROLOKO – PAGI CERAH PERTAMAMatahari akhirnya menembus awan.
Kabut merah telah lenyap.
Namun di kejauhan, di atas gunung, Tongkonan Terakhir masih berdiri angkuh.
Sekilas, bayangan Poya terlihat di jendela, lalu menghilang.
Kamera menyorot Raka yang menatap ke arah gunung, wajahnya menunjukkan tekad baru.
FADE OUT.TEKS LAYAR:
Tongkonan Terakhir – Bagian 9 Tamat