Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tongkonan Terakhir
Suka
Favorit
Bagikan
4. Bagian 4 - “Jejak yang Terhapus”
FADE IN:EXT. DESA TOROLOKO – PAGI

Kabut tipis menggantung. Warga bergerak lambat, menyiapkan pasar pagi.

Raka dan Yohana keluar dari penginapan dengan ransel berisi kamera, belati pusaka, dan bekal. Wajah mereka letih, mata sembab.

YOHANA

(khusyuk)

Hari ini kita cari catatan soal pusaka. Lantang bilang jejak keluarga ayahmu disimpan di arsip gereja, kan?

Raka mengangguk, menggenggam kotak pusaka erat.

EXT. GEREJA TUA DESA – PAGI

Gereja kayu berumur puluhan tahun, cat putihnya mengelupas. Di menara lonceng, burung gagak hinggap.

Pendeta PASTOR SAMUEL (60-an) menunggu di depan pintu. Tatapan matanya penuh curiga begitu melihat Raka.

PASTOR SAMUEL

Kalian yang semalam membuat desa tak bisa tidur?

Raka menelan ludah.

RAKA

Kami butuh bantuan. Tentang keluarga Danu, ayah saya.

Pastor menimbang sejenak, lalu memberi isyarat masuk.

INT. GEREJA – RUANG ARSIP – PAGI

Ruangan pengap dengan rak-rak penuh buku tua dan gulungan daun lontar. Cahaya matahari masuk lewat kaca patri berwarna merah, menambah nuansa mistis.

Pastor menurunkan sebuah kotak kayu berdebu.

PASTOR SAMUEL

Ini catatan lama. Beberapa nama pernah dihapus.

(lirih)

Termasuk keluarga Danu.

Raka membuka kotak. Di dalamnya, lembaran-lembaran kertas pudar. Sebuah halaman menampilkan foto hitam putih: ayah Raka muda berdiri di depan Tongkonan, bersama seorang perempuan tua—Poya.

Di bawah foto tertulis:

“Perjanjian Patti’ Tallu – Darah Danu, Poya, dan Arung Lumu.”

Nama Danu dicoret tebal dengan tinta merah.

Yohana menatap kaget.

YOHANA

Tiga darah… apa maksudnya?

Pastor menarik napas panjang.

PASTOR SAMUEL

Dulu ada perjanjian tiga keluarga untuk menjaga pintu leluhur. Satu saja ingkar, arwah penjaga akan murka.

Ia menatap Raka tajam.

PASTOR SAMUEL

Ayahmu memilih menikah di luar adat. Itu memutus rantai perjanjian.

EXT. HALAMAN GEREJA – SIANG

Angin mendadak kencang, menggoyang pohon besar di samping gereja. Lonceng berbunyi sendiri—DONG… DONG…

Burung gagak terbang panik.

Pastor menatap langit yang tiba-tiba gelap.

PASTOR SAMUEL

(berbisik)

Dia mendengar kita.

Raka menggenggam kotak pusaka. Suara bisikan lembut muncul, hanya terdengar oleh Raka.

POYA (V.O.)

Buntu Lumu… sebelum bulan merah.

Raka memejam mata, menahan pusing.

EXT. PASAR DESA – SIANG

Raka dan Yohana berjalan melewati pasar. Warga menatap mereka aneh, sebagian berbisik. Seorang NENEK PENJUAL SIRIH memanggil.

NENEK PENJUAL SIRIH

Kau cucu Danu?

Raka berhenti.

RAKA

Ya.

Nenek itu menunjuk ke arah utara, ke pegunungan.

NENEK PENJUAL SIRIH

Kalau kau naik ke Buntu Lumu, jangan lupa darah pertama. Kalau tidak… gunung akan menelanmu.

Ia menertawakan diri sendiri, tertawa serak yang menimbulkan bulu kuduk berdiri.

EXT. HUTAN BAMBU – SORE

Raka dan Yohana melintasi hutan menuju rumah Lantang. Suara bambu saling beradu seperti ribuan bisikan.

Tiba-tiba Raka berhenti. Di tanah, jejak kaki yang sangat mirip dengan telapak kakinya sendiri, tapi berlumur tanah merah.

YOHANA

Itu… kakimu?

Raka menunduk. Jejak itu lebih panjang, seperti kaki dewasa yang menua.

RAKA

Bukan.

Jejak mengarah ke tebing.

EXT. TEPI TEBING – SENJA

Langit memerah. Jejak berhenti di tepi jurang.

Di seberang jurang, berdiri bayangan lelaki—mirip ayah Raka, Danu—memegang belati yang sama dengan pusaka di tas Raka.

Bayangan itu menatap Raka, lalu melangkah mundur ke kabut dan lenyap.

Angin kencang bertiup. Bambu berderak. Raka hampir kehilangan keseimbangan, tapi Yohana menariknya.

YOHANA

(terengah)

Kita harus kembali sebelum gelap.

Raka menatap tebing yang kini kosong, wajahnya diliputi kebingungan dan rasa kehilangan.

INT. RUMAH LANTANG – MALAM

Lantang menunggu, obor menyala redup.

Raka meletakkan foto dan arsip di meja.

RAKA

Kami menemukan ini di gereja.

Perjanjian tiga darah. Apa sebenarnya itu?

Lantang menatap lama, lalu duduk berat.

LANTANG

Patti’ Tallu. Tiga keluarga: Poya, Arung Lumu, dan Danu. Mereka penjaga gerbang antara dunia orang hidup dan roh.

Kalau satu darah menolak… pintu terbuka, roh berkeliaran.

Yohana menelan ludah.

YOHANA

Dan ayah Raka menolak.

Lantang mengangguk pelan.

LANTANG

Itu sebabnya arwah Poya menuntut.

Besok malam bulan merah. Jika pusaka darah tidak dibawa ke Buntu Lumu, gerbang akan tetap terbuka. Semua jiwa di desa ini bisa lenyap.

EXT. DESA – MALAM

Bulan separuh muncul, dikelilingi lingkaran merah samar. Angin membawa aroma besi seperti bau darah.

Raka menatap langit.

Suara Poya kembali, lembut tapi tegas.

POYA (V.O.)

Darahmu… janji kami… kembalikan.

INT. PENGINAPAN – TENGAH MALAM

Raka tidak bisa tidur. Kotak pusaka terbuka di meja. Belati tua memantulkan cahaya bulan.

Tiba-tiba kamera vlogging menyala sendiri. Layar menampilkan rekaman lama:

Ayah Raka, Danu, menatap kamera dengan mata basah.

DANU (rekaman)

Nak… jika kau melihat ini, aku mungkin sudah tiada.

Aku lari dari mereka, tapi darah tak bisa lari.

Bawa belati itu ke puncak Buntu Lumu saat bulan merah.

Hanya darahmu yang bisa menutup gerbang.

Gambar berkedip, lalu padam.

Raka menunduk, air mata jatuh tanpa disadari.

EXT. JALAN MENUJU BUNTU LUMU – MENJELANG SUBUH

Raka berdiri di depan jalan setapak menuju pegunungan. Kabut tebal menutupi jalur.

Yohana menghampiri, membawa ransel.

YOHANA

Kita berangkat saat matahari terbit.

Raka mengangguk, masih menatap kabut yang bergerak seolah hidup.

EXT. DESA – PAGI

Matahari memantul di puncak gunung. Warga berkumpul, sebagian berdoa. Suara gong pelan terdengar dari kejauhan—irama lambat, menyerupai detak jantung.

Lantang menghampiri Raka dan Yohana.

LANTANG

Kalian tidak sendiri. Leluhur akan menuntun, tapi jangan menoleh ke belakang saat mendaki. Apa pun yang kau dengar… jangan menoleh.

Raka menatap Lantang dengan rasa hormat dan ketakutan yang sama.

EXT. PUNCAK AWAL – SIANG

Mereka mulai mendaki. Pepohonan raksasa menaungi jalur, cahaya matahari hampir tak menembus.

Kadang terdengar tangisan bayi dari arah yang tidak jelas. Yohana menggenggam tangan Raka.

YOHANA

Ingat pesan Lantang. Jangan menoleh.

Raka menelan ludah, terus maju.

MONTAGE – PERJALANAN

Langkah kaki menembus kabut.

Burung hitam melintas cepat.

Bayangan di balik pohon tampak mengikuti.

Belati pusaka bergetar dalam kotak kayu, seolah hidup.

EXT. POS PERHENTIAN BATU – SENJA

Mereka berhenti di batu besar, setengah perjalanan. Langit di atas mulai memerah.

Raka melihat ukiran tua di batu: simbol tiga garis melingkar.

Yohana menyentuh ukiran. Tiba-tiba ukiran memancarkan cahaya merah samar.

RAKA

Apa ini…?

Suara Poya menggema.

POYA (V.O.)

Janji darah… tiga menjadi satu.

Angin mendadak kencang. Batu bergetar. Raka menutup telinga.

Ketika angin reda, cahaya ukiran hilang. Keheningan pekat.

EXT. KEMAH DARURAT – MALAM

Mereka mendirikan kemah kecil. Bulan mulai naik, warnanya semakin merah.

Raka menatap belati pusaka yang kini tampak bersih, karatnya hilang. Mata bilah memantulkan cahaya merah.

YOHANA

Kita hampir sampai.

Raka mengangguk, namun sorot matanya jauh—seperti mendengar sesuatu.

SUARA AYAH (V.O.)

Nak… kau harus siap. Puncak bukan akhir.

Raka menatap gelap hutan, napasnya berat.

FADE OUT.

TEKS LAYAR:

Tongkonan Terakhir – Bagian 4 Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)