Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tongkonan Terakhir
Suka
Favorit
Bagikan
3. Bagian 3 “Bayang Darah”
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator
FADE IN:EXT. DESA TOROLOKO – PAGI

Kabut pagi masih menggantung di antara pegunungan. Raka terbangun di penginapan kecil, wajahnya pucat. Kamera vlogging tergeletak di meja, baterai terisi penuh—padahal semalam hampir habis.

RAKA

(menggerutu)

Aku bahkan nggak nge-charge…

Dia memeriksa memori. Semua rekaman semalam masih utuh: pertemuannya dengan Nenek Poya, pintu terkunci, ritual gendang. Raka menutup mata, menahan gemetar.

Ketukan di pintu.

YOHANA (O.S.)

Raka? Sudah bangun?

Raka membuka pintu. Yohana berdiri dengan termos kopi, rambutnya basah oleh embun.

YOHANA

Kau semalaman nggak tidur, ya?

RAKA

Aku… sulit tidur.

Yohana masuk, menatap kamera yang masih menyala.

YOHANA

Aku sempat mimpi aneh. Seperti ada yang memanggil namamu dari hutan.

Raka menelan ludah, menatap jendela. Dari luar, terdengar bunyi gong pelan—DUM… DUM…—lalu hening.

EXT. HALAMAN PENGINAPAN – SIANG

Matahari seharusnya terik, tetapi langit berwarna abu-abu. Raka menyiapkan peralatan syuting. Ia berusaha bersikap normal, tapi sorot matanya gelisah.

Seorang ANAK DESA berlari mendekat, membawa ukiran kayu kecil berbentuk kerbau.

ANAK DESA

Kakak… ini katanya titipan dari nenek-nenek di rumah ujung.

Anak itu menaruh ukiran di tangan Raka dan pergi tanpa menoleh. Raka memeriksa ukiran: di bagian bawah terukir nama ayahnya, “DANU”.

Tinta merah seperti darah menggores tanda silang di atas nama itu.

INT. PENGINAPAN – KAMAR RAKA – SORÉ

Raka meletakkan ukiran di meja. Yohana memperhatikannya.

YOHANA

Ini… siapa yang ngukir namanya?

RAKA

Itu nama ayahku.

YOHANA

Mungkin ini peringatan.

Raka menatap ukiran lama-lama. Dari ukiran, samar terdengar bisikan lelaki:

SUARA AYAH (V.O.)

Jangan kembali ke rumah itu…

Raka memutar kepala ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa. Yohana hanya menatap cemas.

EXT. HUTAN BAMBU – MENJELANG SENJA

Raka berjalan sendirian. Kamera di tangan. Bambu tinggi berdesir diterpa angin. Sesekali ia mendengar suara langkah di belakangnya, tapi setiap menoleh—kosong.

Di kejauhan, cahaya merah samar seperti obor muncul dan menghilang. Raka mendekat.

INT. GUBUK TUA DI HUTAN – SENJA

Cahaya berasal dari pelita tua yang tergantung. Di dinding gubuk, foto hitam-putih berdebu:

Seorang pria muda mirip Raka, berdiri di depan Tongkonan.Seorang perempuan tua (Nenek Poya) di sampingnya.Tahun tertera: 1979.

Di bawah foto, ukiran lain: “DARAH HARUS KEMBALI.”

Raka menyentuh foto. Seketika ruangan terasa dingin. Pelita berkedip, lalu padam. Hanya cahaya kamera yang tersisa.

FLASH VISION – DALAM PIKIRAN RAKA

Kilasan cepat:

Ayah Raka muda menolak sebuah upacara.

Tetua adat berteriak, “Janji darah tidak boleh diputus!”

Petir menyambar Tongkonan.

Seorang perempuan (Poya) menangis sambil menabur darah babi ke tanah.

KEMBALI KE GUBUK

Raka tersentak. Nafasnya memburu. Dari sudut ruangan, bayangan merah melintas.

Suara Poya bergema.

POYA (V.O.)

Anak darah… dengarkan.

Bayangan menyerupai siluet perempuan, matanya merah menyala. Ia menatap Raka dan menghilang menembus dinding.

EXT. JALAN DESA – MALAM

Yohana menunggu di gerbang desa. Wajahnya panik ketika Raka muncul.

YOHANA

Kau kemana saja? Aku hampir lapor warga.

Raka menunjukan foto dan ukiran. Yohana menatap ngeri.

YOHANA

Kita harus bicara dengan Lantang. Sekarang.

INT. RUMAH LANTANG – MALAM

Lantang duduk di kursi rotan, wajah suram.

LANTANG

Ukiran itu… tanda perjanjian lama. Dulu ayahmu menolak Patti’ Tallu—ikatan tiga darah. Karena itu nama keluargamu disilang.

Raka mengepal tangan.

RAKA

Dia tidak pernah cerita.

Lantang memandangnya dalam.

LANTANG

Arwah Poya tak akan tenang sampai darahmu menggantikan janji yang diputus.

EXT. TONGKONAN TUA – MALAM

Lantang mengantar Raka dan Yohana kembali ke Tongkonan. Obor menyala redup. Udara dingin, angin membawa bau tanah basah.

Di pintu, Raka berhenti. Ukiran kerbau di balok atas terlihat berubah—matanya memerah, seolah meneteskan darah.

YOHANA

Kau lihat itu…?

Obor bergetar. Dari dalam rumah, terdengar tangisan bayi.

Raka melangkah masuk.

INT. TONGKONAN TUA – MALAM

Tangisan berhenti mendadak. Suara gendang mulai pelan, lalu semakin cepat.

Raka menyorot dinding dengan kamera. Bayangan Poya muncul di setiap ukiran, bergerak mengikuti lensa.

POYA (V.O.)

Janji darah… ditebus oleh keturunan.

Bayangan mendadak melompat ke arah kamera. Layar kamera berkedip, mati.

Raka menjatuhkan kamera.

MOMEN SUPRANATURAL

Semua obor padam. Gelap total.

Dari kegelapan, suara ayah Raka:

SUARA AYAH (V.O.)

Maafkan aku, Nak… lari… jangan kembali…

Raka bergetar. Tiba-tiba, cahaya merah menyala dari lantai, membentuk lingkaran darah di sekelilingnya.

Di tengah lingkaran, bayangan Poya semakin jelas: rambut putih terurai, mata merah.

POYA

Jika darah tak kembali… desa ini mati.

Raka mundur, tetapi lingkaran menahannya seperti dinding tak terlihat.

EXT. HALAMAN TONGKONAN – MALAM

Yohana mencoba masuk, tapi pintu menolak terbuka. Ia memukulnya dengan batu.

YOHANA

Raka! Bertahan!

Di dalam terdengar teriakan Raka bercampur dentuman gong.

INT. TONGKONAN TUA – MALAM

Raka menutup telinga. Poya mendekat.

POYA

Pilih: kau atau seluruh darahmu lenyap.

Bayangan ayah Raka muncul di belakang Poya, wajah penuh penyesalan.

BAYANG AYAH

Tebuslah, Nak… atau semua sia-sia.

Raka menatap mereka berdua, air mata jatuh.

RAKA

Apa yang harus kulakukan?!

Poya mendekat hingga wajahnya sejengkal dari Raka.

POYA

Besok malam… purnama penuh.

Bawa pusaka darah ke puncak Buntu Lumu.

Atau semua akan menjadi abu.

Bayangan Poya pecah seperti debu merah. Lingkaran cahaya padam. Pintu terbuka dengan sendirinya.

EXT. TONGKONAN TUA – BERLANJUT

Yohana bergegas masuk. Menemukan Raka terduduk lemas, mata kosong.

YOHANA

Raka! Apa yang dia katakan?

Raka menatapnya, suara nyaris tak terdengar.

RAKA

Besok… purnama… pusaka darah.

EXT. LANGIT DESA – MALAM

Kamera menyorot bulan yang sebagian tertutup awan. Di pinggir awan, cahaya merah samar berkedip.

EXT. HUTAN – PERJALANAN PULANG

Raka dan Yohana berjalan tergesa. Angin menderu, bambu saling beradu menimbulkan suara seperti seribu bisikan.

YOHANA

Pusaka darah? Apa maksudnya?

RAKA

Aku… tidak tahu. Tapi dia bilang… kalau tidak… semua mati.

Yohana menggenggam tangan Raka, menahan gemetar.

INT. PENGINAPAN – MENJELANG SUBUH

Raka membuka tas. Di dasar, ia menemukan kotak kayu kecil yang tidak pernah ia masukkan. Kotak itu berukir motif kerbau, persis seperti di Tongkonan.

Ia membuka perlahan: di dalamnya ada belati tua berhiaskan manik merah, bilahnya berkarat.

Begitu kotak terbuka, lampu kamar berkelip.

SUARA AYAH (V.O.)

Itu pusaka kita… jaga sampai waktunya.

Raka menutup kotak, tubuh gemetar.

EXT. DESA – FAJAR

Langit memerah. Warga desa terlihat gelisah. Seorang tetua menunjuk ke arah gunung Buntu Lumu.

TETUA DESA

Lihat… bulan purnama besok malam akan merah darah.

Semua menatap khawatir.

INT. PENGINAPAN – PAGI

Raka duduk memandangi kotak pusaka. Yohana menyiapkan ransel.

YOHANA

Kalau dia bilang besok malam… berarti kita harus ke Buntu Lumu.

RAKA

Ya… tapi entah apa yang menunggu di sana.

Yohana menatapnya mantap.

YOHANA

Apa pun itu, kita hadapi sama-sama.

Raka menatapnya, sedikit lega, tapi bayangan ketakutan masih jelas.

EXT. PEGUNUNGAN – SIANG

Kamera mengambil pemandangan Buntu Lumu dari kejauhan: puncak terbungkus kabut tebal, seperti menahan rahasia tua.

Dari balik kabut, samar-samar terdengar tangisan panjang yang menggema ke seluruh lembah.

Raka dan Yohana saling pandang. Ketegangan menutup adegan.

FADE OUT.

TEKS LAYAR:

Tongkonan Terakhir – Bagian 3 Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)